Berkaitan dengan proses kreatif dalam penciptaan novel, sebelum karya novel ditulis, Abidah selalu melakukan riset. Riset bukan sekadar membaca buku, namun pula observasi dan interview. Sebagai contoh, ketika mencipta novel Perempuan Berkalung Sorban, ia melakukan observasi dan interview di beberapa pesantren selama 3 bulan.
Ketika mencipta novel Nirzona, ia mengeluarkan banyak energi untuk mengumpulkan data-data. Sebelum menulis novel Akulah Istri Teroris, ia harus berkeliling di Poso dengan rasa takut untuk melakukan wawancara dengan beberapa mantan istri terduga teroris selama dua minggu. Dengan melakukan riset dan mengumpulkan data-data, ia memeroleh informasi sebanyak-banyaknya. Hasilnya, ia dapat menentukan ide, gagasan, atau tema yang menarik untuk diangkat ke dalam novelnya.
Sesudah tema dan ide ditemukan melalui riset pustaka, Abidah mulai menulis novel. Biasanya, ia menulis novel selama dua jam setiap hari, terutama pagi hari sesudah sembayang subuh. Selama proses penulisan novel, ia mengikuti rambu-rambu dan menjaga kedisiplinan. Sesudah novel dirampungkan, ia rehat untuk menghirup udara segar selama beberapa minggu.
Ketika rasa, imajinasi, intuisi, dan logikanya kembali segar, Abidah membaca ulang karya novelnya dan melakukan perbaikan dengan seksama. Dalam proses perbaikan, banyak sekali informasi dan data baru yang perlu ditambahkan, khusunya yang berkaitan dengan unsur sejarah, budaya, dan latar sosial tokoh maupun peristiwanya. Sungguh pada proses tersebut, ia merasa menyerap banyak energi. Hal itu harus dilakukannya dengan baik agar draft novelnya benar-benar mencapai kesempurnaan ketika ditawarkan pada penerbit.
Abidah pernah mendapat pengalaman menarik selama berproses kreatif di bidang penciptaan novel. Sesudah novelnya yang bertajuk Nirzona terbit, ia selalu merasakan dibuntuti intel ketika keluar dari rumah. Karena novel itu mengandung banyak kritik yang berkaitan dengan pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketika novelnya yang bertajuk Akulah Istri Teroris menjadi kontroversi, trending topic di sosial media, dan berita utama di BBC, detak jantungnya sering berdebar-debar.
Pengalaman menarik lainnya, sesudah novelnya yang bertajuk Perempuan Berkalung Surban difilmkan dan menjadi kontroversi, Abidah banyak sekali menerima undangan untuk membahas novel tersebut. Dalam acara bedah novel di suatu pesantren di Jawa Timur, ia pernah mendapatkan caci maki dan umpatan. Ia merasakan jantungnya berdegup hebat ketika seorang kiai menganggapnya sebagai antek komunis. Karena isi dalam novel tersebut dianggap menyeleweng dari ayat-ayat suci al-Quran.
Karena kontroversi film Perempuan Berkalung Sorban, Abidah sering dianggap dan dituduh sebagai agen liberalisme, fundamentalis, feminis rasis, feminis radikal, dan lain sebagainya. Sungguh pun tuduhan demi tuduhan terus mengalir deras, namun ia senantiasa mengendapkannya sebagai energi baru untuk tetap berkarya, menulis dan menulis.
Aku menulis karena aku perempuan
Berkaitan dengan kredo, Abidah kiranya belum memikirkannya. Namun yang berkaitan dengan visi misi kepengarangannya, ia sering mengaitkan dengan pernyataannya, "Aku menulis, karena aku perempuan." Artinya, unsur-unsur dominan yang tertulis dalam karya-karya novelnya selalu berkelindan dengan tema, masalah, dan isu keperempuanan. Hal itu disadari sepenuhnya, karena ia seorang perempuan. Pengertian lain, seandainya ia adalah laki-laki, maka tidak mungkin untuk menyelami masalah-masalah perempuan yang paling inti, seperti hak-hak reproduksi dan perasaan-perasan khas seorang ibu saat hamil, melahirkan, atau menyusui.