Me Rossy mengangguk.
"Bagus! Itu tandanya Sando More yang kita kenal tak pernah mengkhalalkan segala cara untuk meraih kemenangan, mudah-mudahan kelak yang menjadi pemenangnya."
Me Rossy sedikit terhibur dengan perkataan Li Corte. Karena dengan kemenangan Sando More, kehidupan orang-orang Negeri Seribu Gunung diyakininya akan menjadi lebih makmur dan sejahtera. Namun ketika menyaksikan gelagat langit yang pasi meski matahari tak berselubung awan, hati Me Rossy mendadak berdebar-debar.
***
MATAHARI tergelincir di langit barat. Kecuali Tetua Pitre De Cora, orang-orang Pegunungan Bruistagi telah pulang ke rumah sesudah berpesta demokrasi di Balai Desa Soldereo. Seusai memasak buat makam malam, orang-orang berkumpul di tanah lapang yang di tengah-tengahnya berdiri sebuah tugu kemenangan. Di antara mereka, tampak pula Li Corte dan Me Rossy.
Selagi orang-orang Bruistagi menunggu harap-harap cemas atas kabar kemenangan Sando More, Pitre De Cora muncul dari balik rerimbun semak-semak. Dengan wajah kusam, Pitre De Cora mengabarkan pada mereka, kalau quick count yang dirilis pada stasiun-stasiun televisi, enam lembaga survei memenangkan Sando More dan enam lainnya memenangkan Mondra Daido. Mereka pun mendengar dari Pitre De Cora, kalau kedua capres telah mengklaim kemenangannya di hadapan koalisi pendukung dan relawannya.
Bagai api tersiram air; semangat Li Corte, Me Rossy, dan orang-orang Bruistagi untuk mencurahkan kegembiraan atas kemenangan Sando More sebagaimana yang mereka harapkan itu sontak padam. Dengan gerakan lamban, mereka yang dibingungkan dengan lembaga-lembaga survei itu duduk mengelilingi tugu kemenangan dengan wajah tertunduk. Suasana sesenyap kuburan tua yang sekian lama tak terjamah kaki-kaki peziarah!
Suasana senyap mendadak pecah. Ketika orang-orang Bruistagi menyaksikan serempak atas dua matahari di langit sore yang saling memamerkan ketajaman sinarnya. Mereka serasa terlempar ke negeri mimpi, ketika kedua matahari itu bertikai hingga menyatu ke dalam bentuk bola zin-yang. Perhelatan hitam-putih dalam lingkaran perkawinan kosmik.
Tentang Penulis
SRI WINTALA ACHMAD, pernah studi di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Menggubah karya sastra dengan bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literatur, Suara Muhammadiyah, Gong, Artista, Bakti, Kanal, Jayabaya, Mekarsari, Jaka Lodhang, Sempulur, dll.
Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi(1988), Nirmana (1990), Alif-Lam-Mim (1990), Zamrud Katulistiwa (1997), Sastra Kepulauan (1999), Pasar Kembang (2000), Embun Tajali (2000), Lirik Lereng Merapi (2000), Bilah Belati di Depan Cermin (2002), Di Batas Jogja (2002), Code (2005), Musik Puisi Nasional (2006), Malioboro (2008), Perempuan Bermulut Api (2010), Tiga Peluru (2010), Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (2011), Suluk Mataram (2011), Jejak Sajak (2012), 127 Penyair Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Sauk Seloko (2012), Indonesia di Titik 13 (2013), Spring Fiesta[Pesta Musim Semi] (2013), Tifa Nusantara I (2013), Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (2014), Negeri Langit (2014), Rantau Cinta, Rantau Sejarah (2014), Tifa Nusantara II (2015), Pesta Rakyat Sleman (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Jejak Tak Berpasar (2015), Memandang Bekasi (2015), Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku(2016), Ije Lela Tifa Nusantara 3 (2016), Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (2016), Matahari Cinta Samudra Kata (2016), Seratus Puisi Qurani(2016), Kopi Penyair Dunia (2016), Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (2017), Kota Terbayang (2017), Tentang Bogor (2017, Puisi Tentang Masjid (2017), Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017), Langit Senja Jati Gede (2017), dan Jajah Desa Milang Kori (2017).