Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matahari Kembar di Langit Bruistagi

23 Februari 2018   00:33 Diperbarui: 23 Februari 2018   00:51 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SELAGI matahari baru saja lahir dari rahim malam, orang-orang Pegunungan Bruistagi telah meninggalkan rumah. Dengan kaki telanjang, mereka meniti jalanan berbatu yang kiri-kanannya jurang menganga. Menuju TPS di Balai Desa Soldereo yang ditempuh selama hampir dua jam tanpa menghentikan langkah. Sepanjang perjalanan yang terbersit di benak mereka, selain hendak memilih capres dengan ujung paku paling hati.

Di depan Balai Desa Soldereo, orang-orang Pegunungan Bruistagi berbaur dengan orang-orang Ngarai Salsaldora yang telah mengenal televisi sejak listrik masuk desa setahun silam. Mimik orang-orang Bruistagi hanya terbengong-bengong seperti si udik di kota, ketika mendengar orang-orang Salsaldora memperbincangkan capres Sando More yang dituding oleh ketua timses capres Mondra Daido sebagai mantan anggota partai politik terlarang di jaman orba.

Mendengar perbincangan orang-orang Salsaldora, orang-orang Bruistagi yang menjagokan calon pemimpin pengabdi rakyat -- Sando More -- mulai goyah. Mengingat antek-antek partai politik terlarang di jaman orba telah meluluhlantakkan leluhur-leluhur Bruistagi yang dikenal sebagai anggota militan dari partai tertentu. Betapa kebiadaban mereka melampaui kebiadaban serdadu Israel pada penduduk sipil Palestina.

"Jangan goyah!" Tetua Pitre De Cora mengingatkan pada orang-orang Bruistagi dengan perkataan setengah berbisik. "Orang-orang Salsaldora tengah berusaha mempengaruhi kita agar tidak memilih Sando More. Ketahuilah! Kubu Mondra Daido suka menebar fitnah. Istilah kerennya, black campaign. Sesungguhnya merekalah sendiri para pencuri yang suka teriak 'pencuri' pada kubu lain. Percayalah kepadaku!"

"Sungguhkah, Tetua?" tanya Li Corte, perempuan limapuluhan tahun yang sangat mendambakan Sando More sebagai presiden. Calon pemimpin berjiwa rakyat yang pernah menyambanginya untuk membicarakan hasil ladang dan cara memasarkannya. "Kalau benar perkataan Tetua, Sando More tentunya bukan anggota partai terlarang di jaman orba?"

Belum sempat mendengar jawaban dari Tetua Pitre De Cora, nama Li Corte dipanggil oleh petugas TPS. Sesudah mendapatkan lipatan kertas bergambar dua pasang Capres-Cawapres, Li Corte memasuki bilik. Dengan ujung paku, Li Corte mencoblos gambar Sando More tepat di keningnya. Tak lama kemudian, Li Corte keluar dari dalam area TPS dengan wajah sebinar matahari yang memancarkan sinarnya di langit lepas.

***

TANPA menunggu orang-orang Bruistagi yang masih mengantri di ruang tunggu TPS untuk memberikan suara; Li Corte dan Me Rossy tetangganya yang selesai mencoblos itu pulang beriringan. Sepanjang perjalanan, keduanya menggantang harapan agar Sando More terpilih sebagai presiden. Menggantikan San Poeleo. Presiden lama yang namanya mulai dilupakan oleh sebagian besar rakyat negeri Seribu Gunung.

"Semoga, Sando More terpilih sebagai presiden!" Li Corte membuka pembicaraan pada Me Rossy ketika hampir sampai di rumah mereka. "Dengan terpilihnya Sando More, aku percaya Negeri Seribu Gunung akan terbebas dari tikus-tikus yang menggerogoti uang negara."

"Tapi...." Me Rossy menghela napas untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumbat sebongkah batu. "Kenapa aku tiba-tiba merasa pesimis. Aku dengar, kalau fitnah yang digencarkan terus-menerus dari kubu Mondra Daido pada Sando More sudah dianggap kebenaran oleh banyak orang. Tidak hanya oleh seluruh warga Desa Soldereo, namun juga oleh sebagian besar orang yang masih menghirup udara Negeri Seribu Gunung."

"Kau percaya pada Tuhan, Rossy?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun