Ketiga, idealialisme. Motivasi ini biasanya dimiliki oleh sastrawan idealis yang cenderung memerjuangkan nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatif karya ketimbang nilai nominal atau pencapaian popularitas. Bagi mereka, karya sastra merupakan prasasti yang bernilai edukatif di tengah kesemrawutan lalu-lalang kehidupan yang cenderung memanjakan kepuasan fisikal ketimbang spiritual.
Sastrawan Idealis
Selain sebagai media ekspresi atas pengalaman empirik, karya sastra dapat dijadikan media pencapaian jeneng, jenang, atau idealisme seorang sastrawan. Hingga pendapat orang yang menyatakan bahwa karya sastra tidak sekudus ayat-ayat kitab suci dapat dibenarkan. Sekalipun demikian, penulis tetap menghargai motivasi sastrawan idealis yang menciptakan karya-karyanya senantiasa berorientasi untuk memerjuangkan nilai-nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatifnya.
Sikap penulis yang menghargai sastrawan idealis tersebut seyogianya tidak diartikan dengan menafikan jerih payah para penulis sastra pop. Mengingat para sastrawan idealis telah berjuang secara konsisten di dalam menjaga kemurnian peran sastra sebagai media edukatif bagi publik. Spirit perjuangan yang terus berkobar di dalam jiwa mereka senantiasa diposisikan lebih tinggi ketimbang pencapaian popularitas dan ekonomi.
Para sastrawan idealis bukan sekelompok pahlawan yang wajib dicatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah tokoh dunia, nasional, atau regional. Namun dari mereka kita termotivasi untuk tetap menjaga darah dan napas penciptaan karya sastra yang abadi. Dari mereka, kita dapat menentukan motivasi yang layak dipilih selama menekuni proses kreatif di bidang sastra.
Melalui spirit perjuangan mereka, kita dapat menentukan sikap yang musti mengarahkan karya sastra sebagai guru dan bukan korban zaman (selera pasar). Sikap ini seyogianya ditempuh, kalau sastrawan tidak mau diklaim sebagai produsen (pabrikan) karya sastra. Akan tetapi, kreator yang senantiasa menciptakan karya-karyanya dengan motivasi untuk melukiskan interpretasi baru terhadap pengalaman empirik dan gagasan kreatifnya. Hal ini yang selayaknya diberikan kepada publik manakala zaman dalam kondisi sakit.
Sekadar Harpan
Irama zaman belum berakhir. Lagu kehidupan manusia masih bergaung. Karya sastra yang dicipta para sastrawan masih turut mewarnai di dalamnya. Sebagaimana di dalam taman bunga, karya sastra diibaratkan setangkai kembang yang semustinya bukan sekadar menyegarkan saat dinikmati. Karya sastra harus menjadi medium inpirasi edukatif bagi publik. Sekelompok kekupu atau kumbang yang berterbangan merindu madu bunga sastra.
Apa yang penulis sampaikan ini sekadar harapan. Agar sastrawan tulen tetap kokoh pada prinsip sebagai ibu kandung sang guru zaman. Bukan korban zaman yang turut memanjakan publik ke dalam bilik harapan atau mimpi indah di siang bolong. Bukan penuang alkohol memabukkan bagi publik. Sekelompok insan yang seharusnya tidak diajarkan lari dari realitas, tertawa dengan air mata, atau membusungkan dada dengan jiwa yang terkoyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H