Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sastra di Tengah Zaman yang Sakit

21 Februari 2018   04:30 Diperbarui: 21 Februari 2018   08:31 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Ketiga, idealialisme. Motivasi ini biasanya dimiliki oleh sastrawan idealis yang cenderung memerjuangkan nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatif karya ketimbang nilai nominal atau pencapaian popularitas. Bagi mereka, karya sastra merupakan prasasti yang bernilai edukatif di tengah kesemrawutan lalu-lalang kehidupan yang cenderung memanjakan kepuasan fisikal ketimbang spiritual.

Sastrawan Idealis

Selain sebagai media ekspresi atas pengalaman empirik, karya sastra dapat dijadikan media pencapaian jeneng, jenang, atau idealisme seorang sastrawan. Hingga pendapat orang yang menyatakan bahwa karya sastra tidak sekudus ayat-ayat kitab suci dapat dibenarkan. Sekalipun demikian, penulis tetap menghargai motivasi sastrawan idealis yang menciptakan karya-karyanya senantiasa berorientasi untuk memerjuangkan nilai-nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatifnya.

Sikap penulis yang menghargai sastrawan idealis tersebut seyogianya tidak diartikan dengan menafikan jerih payah para penulis sastra pop. Mengingat para sastrawan idealis telah berjuang secara konsisten di dalam menjaga kemurnian peran sastra sebagai media edukatif bagi publik. Spirit perjuangan yang terus berkobar di dalam jiwa mereka senantiasa diposisikan lebih tinggi ketimbang pencapaian popularitas dan ekonomi.

Para sastrawan idealis bukan sekelompok pahlawan yang wajib dicatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah tokoh dunia, nasional, atau regional. Namun dari mereka kita termotivasi untuk tetap menjaga darah dan napas penciptaan karya sastra yang abadi. Dari mereka, kita dapat menentukan motivasi yang layak dipilih selama menekuni proses kreatif di bidang sastra.

Melalui spirit perjuangan mereka, kita dapat menentukan sikap yang musti mengarahkan karya sastra sebagai guru dan bukan korban zaman (selera pasar). Sikap ini seyogianya ditempuh, kalau sastrawan tidak mau diklaim sebagai produsen (pabrikan) karya sastra. Akan tetapi, kreator yang senantiasa menciptakan karya-karyanya dengan motivasi untuk melukiskan interpretasi baru terhadap pengalaman empirik dan gagasan kreatifnya. Hal ini yang selayaknya diberikan kepada publik manakala zaman dalam kondisi sakit.

Sekadar Harpan

Irama zaman belum berakhir. Lagu kehidupan manusia masih bergaung. Karya sastra yang dicipta para sastrawan masih turut mewarnai di dalamnya. Sebagaimana di dalam taman bunga, karya sastra diibaratkan setangkai kembang yang semustinya bukan sekadar menyegarkan saat dinikmati. Karya sastra harus menjadi medium inpirasi edukatif bagi publik. Sekelompok kekupu atau kumbang yang berterbangan merindu madu bunga sastra.

Apa yang penulis sampaikan ini sekadar harapan. Agar sastrawan tulen tetap kokoh pada prinsip sebagai ibu kandung sang guru zaman. Bukan korban zaman yang turut memanjakan publik ke dalam bilik harapan atau mimpi indah di siang bolong. Bukan penuang alkohol memabukkan bagi publik. Sekelompok insan yang seharusnya tidak diajarkan lari dari realitas, tertawa dengan air mata, atau membusungkan dada dengan jiwa yang terkoyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun