NUT jaman kelakone (menyelaraskan zaman). Demikian ungkapan para sesepuh Jawa yang sering penulis dengar saat memberikan saran kepada generasinya atas perkembangan zaman. Diibaratkan seorang biduan, generasi yang berhasil di dalam membawakan lagu kehidupan hingga nada terakhir (kematian)-nya harus mampu menyesuaikan irama zaman. Laikkah ungkapan semacam itu dijadikan orientasi oleh setiap manusia selama menjalani profesinya?
Persepsi tersebut selanjutnya akan penulis jadikan rujukan untuk menilik kehidupan sastrawan Indonesia selama menjalani profesinya di bidang sastra. Tidak hanya kaum novelis atau cerpenis. Melainkan pula penyair yang puisi-puisinya kian hari dianaktirikan media massa dan penerbit mayor.
Para sastrawan boleh bangga manakala kehidupan sastra tidak hanya ditopang oleh banyak media massa. Para pengusaha penerbitan pun mulai membuka tangan untuk memublikasikan karya sastra, terutama yang berbau pop dan pasar. Lantaran karya-karya yang cenderung bersifat rekreatif tersebut amat diminati publik. Sebagaimana sinetron, lawak, atau entertainment lain yang ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi nasional atau lokal di Indonesia.
Lebih membanggakan lagi, karya sastra tidak melulu ditulis oleh para sastrawan. Fakta menunjukkan banyak orang dari berbagai latar belakang profesi mencipta karya sastra. Hingga kesan yang muncul, kehidupan sastra di Indonesia menghirukpikuk sebagaimana lalu-lalang kendaraan di era kridit motor murah. Para penulis sastra pun saling berburu untuk mendahului. Demi ambisi mengambil posisi di garis depan. Meskipun hal itu harus ditempuh melalui jalan pintas yang sangat insant.
Fenomena banyaknya sastrawan dan penulis sastra  di dalam menggairahkan kehidupan sastra pop yang berbau pasar sejatinya bukan masalah. Mengingat zaman yang sarat persoalan politik, ekonomi, dan bahkan bencana alam; sastra pop berpotensi sebagai angin segar buat mengendorkan syaraf kepala para konsumennya. Ketika mereka semakin membutuhkan rekreasi dan mimpi baru untuk mengalpakan segala persoalan. Sungguhpun hanya sejenak.
Kemelut krisis politik, ekonomi, dan bencana alam yang melanda kehidupan manusia telah ditangkap para penulis sastra pop sebagai peluang emas di dalam memeroleh eksistensi dan sekaligus penghasilan. Mumpung banyak penerbit di Indonesia membutuhkan karya-karya semacam itu. Karenanya, jangan heran sewaktu kita memasuki toko buku, melihat ribuan karya pop mendominasi rak sastra!
Jenang, Jeneng, dan Idealisme
Larisnya karya-karya pop di pasaran seharusnya tidak perlu membuat para sastrawan idealis iri hati. Sebaliknya para sastrawan idealis menghargai bahwa larisnya karya-karya pop tersebut merupakan upah mereka yang mampu membaca peluang pasar. Sungguhpun demikian, terdapat sesuatu yang menarik untuk diketahui yakni tentang motivasi para penulis di dalam menciptakan karya sastra pop? Jenang (kebutuhan ekonomis)? Jeneng (popularitas)? Keduanya? Atau motivasi lain yang tidak mampu penulis tangkap?
Suatu pertanyaan membutuhkan jawaban. Sekalipun penulis sadar bahwa terdapat pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Lantaran pertanyaan sudah mengandung jawabannya. Sembari menangguhkan datangnya jawaban yang tepat, penulis akan menguraikan tiga motivasi dasar yang melatarbelakangi seorang sastrawan melahirkan karya-karyanya, yakni: pertama, jenang (kebutuhan ekonomis).Â
Motivasi ini menjadi pemicu sastrawan di dalam menciptakan karya-karyanya manakala kebutuhan ekonomi diposisikan lebih tinggi dari ambisi popularitas dan nilai kualitatif karya. Karenanya, sastrawan tersebut harus jeli di dalam menyesuaikan tema karya dengan selera pasar. Alhasil, karya yang diciptakan tidak sekadar sebagai penghuni manis di laci, melainkan rak-rak sastra di toko buku. Di sana, sastrawan berharap karya-karya yang diterbitkan dengan kemasan cover dan judul memikat tersebut berhasil dibeli dan dibaca konsumennya.
Kedua, jeneng (popularitas). Motivasi ini biasanya melatarbelakangi para sastrawan yang lebih berorientasi pada faktor popularitas ketimbang ekonomi atau idealisme. Mengingat kebutuhan ekonomis mereka sudah tercukupi. Bahkan untuk menopang pemublikasian karya yang diharapkan mampu melejitkan popularitas namanya di ruang publik, mereka tidak tanggung-tanggung merogoh kocek sendiri.