BUKIT menyingkap selimut kabut. Hingga tubuh bukit yang masih basah embun itu tampak kehijau-biruan di naungan pendar sinar matahari. Burung-burung saling memamerkan kicauan emasnya di dahan-dahan pepohonan. Sekawanan kupu berebut menghinggapi bunga wijen yang menyerupai terompet. Capung-capung berkejaran serupa anak-anak bermain jethungan.
Aliran sungai yang membelah bentangan sawah bertingkat-tingkat di kaki bukit serupa arus waktu. Membuka-tutup hari dengan kunci matahari. Tanda yang mengisyaratkan petani untuk berhelat dengan tanah garapan. Sejak fajar hingga ambang siang. Sejak lepas dluhur hingga ambang senja.
"Betapa agung! Banyumas serupa cuwilan surga." Begitu bisik Raden Ngabehi Cakradimeja seusai mengelilingi wilayah pedesaan di bawah kuasa Tumenggung Cakrawedana ayahnya. Dalam hati, ia merasa kebahagiaannya mengalir bersama darah dan napas saat menyaksikan kesuburan tanah dan kemakmuran hidup kawula Banyumas. Namun, ia yang hanya terlahir dari selir harus merelakan bila bumi Banyumas tidak terengkuh tangannya.
Benar kata orang bijak. Manusia berada di antara suara Tuhan di sisi kanan dan bisikan iblis di sisi kiri. Semakin Cakradimeja ingin merelakan bumi Banyumas, semakin ingin menguasainya. Merebut dari tangan pewarisnya. Putra sulung Cakrawedana yang lahir dari garwa padmi.
Hasrat untuk merebut bumi Banyumas itu disampaikan Cakradimeja pada kedua abdinya -- Dipayuda dan Singayuda. Mendengar rencana Cakradimeja, kedua abdi itu bersilang pendapat. Dipayuda yang menghamba pada laku utama itu menentangnya. Sebaliknya, Singadjaya yang suka memboroskan waktu di arena sabung jago, permainan dadu, dan pertunjukan lengger itu mendukungnya. Dengan harapan, ia kelak diangkat sebagai pejabat tinggi yang berkubang uang.
Tanpa sepengetahuan Cakradimeja dan Singayuda, Dipayuda menghadap Tumenggung Cakrawedana. Di dalam ruangan tertutup, ia melaporkan rencana Cakradimeja. Sontak wajah penguasa Banyumas itu serupa piringan tembaga terbakar. "Dipayuda! Apa yang kamu laporkan itu dapat aku percaya?"
"Bila berbohong, leher hamba menjadi taruhannya."
Cakrawedana menggeram serupa singa murka. "Tangkap Cakradimeja! Hadapkan padaku! Dasar anak tidak tahu diri. Ia pantas mati."
"Seribu ampun, Â Gusti Nggung!" Dipayuda menghaturkan sembah dengan setangkup telapak tangan bergetar. "Apakah hamba diperkenankan untuk mengajukan pendapat?"
"Asal baik, aku terima."
"Terima kasih." Dipayuda menenangkan pikiran dan rasanya. "Sebaiknya Gusti Nggung tidak menjatuhkan hukuman mati pada Denmas Cakradimeja. Sungguhpun rencana Denmas Cakradimeja terbilang jahat, beliau masih darah daging Gusti sendiri. Memberi hukuman mati pada Denmas Cakradimeja, artinya memberi hukuman mati pada bagian tubuh Gusti sendiri."
Mencerna penuturan Dipayuda, murka Tumenggung Cakrawedana serupa kobaran api unggun yang padam di bawah langit menderaskan hujan. Ia tertunduk lemas. Dadanya yang bidang berbulu lebat itu naik-turun. "Lantas, hukuman apa yang pantas aku jatuhkan pada Dipayuda?"
"Bukan hukuman, Gusti Nggung. Tetapi, anugerah yang berupa sebagian kecil wilayah Banyumas untuk dijadikan pedukuhan Denmas Cakradimeja. Dengan menjauhkan Denmas Cakradimeja dari kebijakan ndalem katumenggungan Cakrawedanan, Banyumas akan tetap aman. Jauh dari perselisihan keluarga. Terbebas dari pertumpahan darah."
"Pendapatmu sungguh cerdas!" Wajah Tumenggung Cakrawedana senampak purnama seusai melepaskan cadar awan. "Sekarang, panggilkan Cakradimeja! Aku ingin bicara dengannya."
Dipayuda keluar dari ruangan. Menuju ndalem Cakradimejan. Tanpa Singayuda, ia membawa Cakradimeja ke hadapan Cakrawedana. Ia kembali memasuki ruangan. Dimana, penguasa Banyumas itu masih duduk di kursi kayu jati berukir. Berprada emas.
"Cakradimeja." Cakrawedana membuka pembicaraan. "Sudah waktunya kamu pikirkan masa depanmu. Masa depan yang harus kamu perjuangkan dengan sepenuh daya. Agar di hari tuamu kelak, kamu dapat mendapatkan kamulyan yang tidak akan habis tujuh turunan."
"Maaf, ayahnda. Apa maksud di balik petuah itu?"
"Sebagai orang tua, selayaknya aku berbuat bijak. Tidak membiarkan keturunanku kelak hidup dalam kesengsaraan. Karenanya, anakku. Sebelum terbit matahari, tinggalkan Banyumas! Pergilah ke Cilacap! Bukalah hutan Donan sebagai pedukuhanmu!"
"Bukankah ayahnda sedang mengusirku, agar jauh dari urusan politik di ndalem katumenggungan Cakrawedanan?"
"Bukan itu maksudku." Cakrawedana berpikir keras untuk memberikan jawaban yang tepat. "Tidak ada maksud apa pun, selain aku ingin mempersiapkan masa depanmu. Apakah kamu pernah belajar pada seekor kekupu? Sebelum mengisap sari bunga, ia berprihatin sebagai ulat. Bertapa sebagai kepompong?"
"Sekarang, aku tahu maksud ayahnda. Karenanya, ananda mohon pamit. Memenuhi perintah ayahnda. Membuka hutan Donan."
"Tunggu sebentar!" Cakrawedana melemparkan pandang ke arah Dipayuda sebelum menyampaikan pesan terakhir pada Cakradimeja. "Anakku! Hendaklah kepergianmu ke Donan tidak seorang diri. Bawalah Dipayuda dan Singayuda! Ajak serta pamanmu Singawedana! Aku percaya, ia akan menjadi penasihat saat kamu menghadapi rintangan. Ingat! Hutan Donan bukan sembarang hutan. Satwa liar dan bangsa bekasakan masih tinggal berdampingan di sana."
"Pesan ayahnda akan ananda penuhi."
Cakrawedana beranjak dari kursi kayu jati berprada emas. Mengantarkan Cakradimeja dan Dipayuda sampai di luar pintu ruangan. Seusai kedua sosok itu lenyap di balik pintu gerbang taman, Cakrawedana memasuki ruang tidur. Dalam mimpi, ia menyaksikan semburat cahaya di langit Donan. [Bersambung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H