Sesudah mengambil pistol itu, Sansan kembali ke ruang belajar. Ia berpikir bagaimana cara mendapatkan peluru tanpa meminta atau membelinya dari oknum tentara. Karena, ia tak ingin diconangi sebagai pembunuh, sebelum berhasil membantai sekawanan cicak itu.
Bertepatan kedua jarum jam bertemu di angka 12, Sansan menutup pintu dan sepasang tingkap matanya di kursi di dalam kamar belajarnya. Ia tertidur. Dalam mimpi, ia membantai cicak-cicak itu dengan pistol di tangan.
Menjelang subuh, Sansan terbangun. Mengemasi buku-bukunya. Mengambil korek api di meja tamu dekat asbak marmar yang penuh puntung rokok ayahnya. Menuju kebun belakang rumah. Menyentikkan sebatang korek api. Membakar satu per satu buku pelajarannya. Lumat menjadi abu. Berterbangan ditiup mulutnya yang mungil. Ia tertawa kecil. Tingkahnya berlagak seperti anak yang cerdas.
Tanpa menunggu ibunya terbangun untuk membuat sarapan, ia sudah mandi. Mengenakan seragam sekolah. Menyisir rambut. Memasukkan pistol yang masih tergeletak di meja belajar ke dalam tas sekolah.
Pintu ruang belajar Sansan kembali terbuka. Ibu Eliana yang rambutnya masih acak-acakan memasuki ruang belajar itu dengan membawa tongkat bambu. Serupa nyonya besar yang akan mengusir budaknya. "Kenapa kau belum pergi dari rumah ini?"
"Bukankah Ibu lihat, aku akan pergi ke sekolah."
"Tak perlu. Bagiku sekolah harus mendidikmu sebagai ilmuwan. Bukan pahlawan."
"Aku tak bermimpi menjadi pahlawan lagi."
"Benarkah?"
"Ya. Aku ingin jadi ilmuwan."
"Ilmuwan yang ahli di bidang apa, anakku?"