NILAI-NILAI kearifan orang-orang Jawa tidak sekadar terkandung pada serat-serat yang cenderung ditulis dengan karya Macapat, namun pula tersirat dalam lelagon baik gagrak lawas (gaya lama) maupun gagrak anyar (gaya baru).
Dalam menangkap nilai-nilai kearifan orang Jawa melalui lelagon, kita perlu memahami lambang-lambang yang disematkan pada syairnya. Tanpa mengetahuinya, kita tidak akan mampu mendedah nilai-nilai kearifan itu sendiri. Bahkan lelagon itu sendiri merefleksikan kearifan orang Jawa di dalam menyampaikan pesan dengan cara ketimuran. Lembut dan bijaksana.
Sesungguhnya banyak lelagon Jawa yang bukan sekadar menjadi hiburan, namun memuat pesan-pesan moral yang dapat memberikan pencerahan bagi manusia, di antaranya: Padhang Bulan karya Sunan Giri, Tamba Ati karya Sunan Bonang, Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga, dan Tangise Wong Wedi Mati. Lelagon dolanan karya Ki Hadi Sukatno semisal Bang-Bang Wis Rahina dan Gumregah; serta lelagondolanan lainnya semisal Gundhul-Gundhul Pacul dan Menthok-Menthok pula mengandung nilai-nilai kearifan orang Jawa yang cukup tinggi.
Padhang Bulan
LELAGON Padhang Bulan merupakan karya Sunan Giri, salah satu sunan yang tergabung dalam lembaga Wali Sanga. Syair Padhang Bulan yang hanya terdiri dari lima kalimat dalam satu bait itu tertulis sebagai berikut: //Padhang-padhang bulan/Ayo gage dha dolanan/Dolanane na ing latar/Ngalap berkah gilar-gilar/Nundhung begog hangethikar//.[1]
Melalui lelagonPadhang Bulan yang diciptkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik di muka, kita dapat memetik maknanya. Di mana setiap manusia yang dapat mensyukuri atas karunia kegembiraan hati dari Tuhan, niscaya hidupnya akan mampu mengusir kedukaan. Suatu kegelapan yang bersemayam di dalam hati itu sendiri. Dengan terusirnya kedukaan, maka manusia tidak hanya mendapatkan kebahagiaan yang terefleksikan pada wajah, namun pula akan mendapatkan kesehatan raganya.
Tamba Ati
LELAGON Tamba Ati adalah karya masterpiece Sunan Bonang (Syekh Maulana Makhdum Ibrahim) yang merupakan putra Sunan Ampel (Sayyid Ali Rahmatullah) dengan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila). Lelagon Tamba Ati yang sarat dengan pesan moral dan masih sering terdengar di telinga kita sampai kini itu tertulis sebagai berikut: //Tamba ati iku lima perkarane/Kaping pisan maca Qur'an samaknane/Kaping pindho sholat wengi lakonana/Kaping telu wong kang soleh kumpulana/Kaping papat kudu weteng ingkang luwe/Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe/Salah sawijine sapa isa anglakoni/Mugi-mugi Gusti Allah Ngijabahi//.[2]
Dari lelagonTamba Ati yang cenderung bernuansa religius, kita akan dapat mencerap nilai-nilai kearifan yang dapat memberikan obat bagi hati. Berpijak pada syair di muka, maka manusia yang ingin mendapatkan obat bagi hati harus melaksanakan 5 (lima) perkara, antara lain:
- Membaca Al-Qur'an harus disertai dengan pemahaman akan maknanya. Sesudah dipahami, maka manusia harus pula mengamalkan ajaran-ajaran yang tersurat atau tersirat di dalam kitab itu.
- Melaksanakan sholat malam. Kenapa harus sholat malam? Karena sholat malam yang dilaksanakan sesudah bangun tidur itu terasa lebih khusyuk. Dengan kekhusyukan hati, maka permohonan mansuia pada Tuhan akan berpeluang besar untuk dikabulkannya.
- Bisa diibaratkan bahwa manusia sholeh itu seperti sendang dengan air jernih. Dengan kejernihan hatinya, maka manusia sholeh akan senantiasa memancarkan kedamaian pada orang lain. Karena itu, bila Anda ingin menjadi manusia sholeh dengan hati yang jernih, berkumpullah pada orang sholeh. Niscaya manusia akan menjadi sholeh pula.
- Bila manusia ingin terbebas dari penyakit hati, maka hendaklah melaksanakan puasa baik wajib maupun sunah. Hanya dengan melakukan puasa yang selalu disertai dengan pengendalian hawa nafsu (amarah, mutmainah, aluamah, dan amarah); maka manusia akan mendapatkan kebahagiaan sejati.
- Ibarat tetes-tetes air pada batu karang, maka dzikir yang diucapkan dengan lama dan dihayati dengan hati akan mampu menghancurkan tembok karang yang menutup hati dai cahaya Ilahi.
Ilir-Ilir
ILIR-ILIRmerupakan lelagon gubahan Sunan Kalijaga. Lelagon yang sarat ungkapan-ungkapan simbolik ini mengajarkan tentang tugas dan kewajiban manusia selama masih bernapas di permukaan bumi. LelagonIlir-Ilir yang akan bernuansa magis bila dilantunkan itu tertulis secara lengkap, sebagai berikut: //Lir-ilir, lir-ilir/Tandure wus ngalilir/Tak ijo royo-royo/Tak sengguh penganten anyar//Cah angon, cah angon/Penekna blimbing kuwi/Lunyu-lunyu penekna/Kanggo masuh dodotira//Dodotira, dodotira/Kumitir bedhah ing pinggir/Domana, jlumatana/Kanggo seba mengko sore//Mumpung gedhe rembulane/Mumpung jembar kalangane/Ayo surak.../Surak, iyo//.[3]
Dari lelagon Ilir-Ilir tersebut, kita dapat menangkap pesan moral yang tersirat di dalamnya. Adapun pesan moral yang ingin disampaikan oleh Sunan Kalijaga, antara lain:
- Selagi berusia muda, hendaklah manusia selalu melaksanakan ajaran agama (Islam). Agar dapat melaksanakan agama dengan benar, maka manusia harus melaksanakan rukun Islam, yakni: membaca sahadat, melakukan sholat, melakukan puasa, membayar zakat, dan naik haji bila kuasa.
- Bila telah mampu melaksanakan rukun Islam dengan baik, maka manusia akan dapat membasuh segala dosa yang menodai jiwanya.
- Hanya dengan jiwa yang telah terbebas dari dosa, manusia akan diperkenankan menghadap Tuhan sesudah tiba masa kematiannya. Selain itu, manusia diperkenankan untuk singgah di alam kebahagiaan abadi yang bernama surga.
Tangise Wong Wedi Mati
SAMPAI detik ini, penulis belum mendapatkan salah satu sumber terpercaya tentang siapa nama kreator lelagonTangise Wong Wedi Mati. Adapun syair dari lelagon yang pernah dibawakan oleh Kris Biantoro dan sangat bernuansa magis bila dilantunkan itu tertulis lengkap sebagai berikut: Gedhongana, kuncenana/Tangise wong wedi mati/Hala hela, he wong mati/Mangsa balia//.[4]
Melalui lelagonTangise Wong Wedi Mati itu, kita dapat menangkap bahwa terdapat kodrat-kodrat yang tidak bisa diwiradat. Salah satu kodrat yang tidak bisa diwiradat adalah kematian. Bila kodrat kematian seseorang telah tiba, maka ia tidak akan dapat mengelak. Sekalipun ia menangis iba agar Tuhan mencabut kodratnya. Sekalipun ia bersembunyi di dalam gedung dengan pintu terkunci, agar malaikat maut tidak dapat menyentuhnya. Kematian adalah keputusan mutlak Tuhan pada seluruh umat manusia di permukaan bumi.
Bang-Bang Wis Rahina
LELAGON dolananBang-Bang Wis Rahina merupakan karya Ki Hadi Sukatno yang sangat populer di zaman dahulu. Karena popularitasnya, lelagon dolanan yang melukiskan tentang suasana indah di saat pagi hari itu dirilis kembali oleh Swarawarti dan Kiai Kanjeng. Adapun syair lelagon dolananBang-Bang Wis Rahina tertulis lengkap sebagai berikut: //Bang-bang wis rahina/Srengengene muncul-muncul/Sunar sumamburat/Cit-cit-cuit-cuit/ Cit-cit-cuit-cuit cit-cuit/Rame swara ceh ocehan//Krengket kerat-keret/Krengket kerat-keret/Nimba aneng sumur, sumur, sumur/Adus gebyar-gebyur/Segere kepati segere kepati/Kepati, dimen bagas kuwarasan//.[5]
Bila dikaji lebih dalam, lelagon dolananBang-Bang Wis Rahina bukan sekadar melukiskan suasana indah di pagi hari, namun pula memberikan ajaran kepada anak-anak untuk gemar mandi pada saat matahari terbit di langit timur. Sebab dengan mandi di pagi hari, tubuh akan menjadi sehat. Dengan tubuh yang sehat, pikiran menjadi segar. Sehingga saat mengikuti pelajaran di sekolah, anak-anak dapat mengikuti pelajaran dengan baik.Â
Gumregah
LELAGON dolananGumregah merupakan karya Ki Hadi Sukatno. Lelagon dolanan yang hanya terdiri dari empat baris dalam satu bait ini sangat menarik bila dilantunkan bersama oleh anak-anak saat pagi hari. Adapun lirik lelagon dolananGumregah adalah sebagai berikut: //Gumegrah gumregah ndang tangi/Lah aja pijer ndheg tumoleh/Cek cekat-ceket ditandangi/Ndang-ndang rampung migunani//.[6]
Kalau menilik liriknya, lelagon dolananGumregah ini memberikan ajaran kepada anak-anak untuk segera bangun saat pagi tiba. Bangun bukan sekadar untuk duduk santai, namun bangun untuk segera membantu orang tua dalam pekerjaan. Di dalam melakukan pekerjaan tersebut, anak-anak hendaklah tidak ragu-ragu. Namun dengan sepenuh keyakinan, agar pekerjaan tersebut cepat terselesaikan dan hasilnya dapat bermanfaat bagi seluruh anggota keluarga.
Gundhul-Gundhul Pacul  Â
DI MASA silam, lelagon Gundhul-Gundhul Pacul selalu dinyanyikan oleh anak-anak saat berkumpul di halaman. Saat lelagon itu dilantunkan, ada seorang atau dua bocah lelaki melangkahkan kaki sambil menari di halaman dengan kepala dan kedua tapak tangan di samping telinga yang bergerak-gerak.
Selain itu, lelagonGundhul-Gundhul Pacul juga sering dilantunkan oleh seseorang anak untuk mengejek anak lain yang habis dipotong gundul. Meskipun pengertian gundhul pacul adalah potongan berkuncung. Potongan yang masih menyisakan rambut di bagian muka berbentuk cangkul.
Adapun lelagonGundhul-Gundhul Pacul yang menyiratkan nilai-nilai kearifan orang Jawa tersebut tertulis sebagai berikut: //Gundhul-gundhul pacul-cul/Gembelengan/Nyunggi-nyunggi wakul-kul/gembelengan/Wakul glimpang/Segane dadi salatar/Wakul glimpang/Segane dadi salatar//[7]
Lelagon Gundhul-Gundhul Paculyang diungkapkan secara simbolik tersebut mengimplikasikan tentang pesan moral agar manusia tidak menjadi takabur. Karena ketakaburan dapat menjadikan seseorang tidak akan pernah mensyukuri terhadap apa yang menjadi harta-bendanya. Sehingga harta-bendanya bagaikan nasi yang tumpah di halaman. Tidak memiliki makna bagi kemaslahatan.
Menthok-Menthok
SEBAGAIMANA lelagonGundhul-Gundhul Pacul, lelagon Menthok-Mentok pula sering dilantunkan oleh anak-anak masa silam dengan disertai tarian di halaman. Syair dari lelagon Menthok-Menthok yang terkadang menimbulkan gelak tawa bagi pendengarnya itu tertulis sebagai berikut: //Menthok-menthok, tak kandhani/Mung rupamu angisin-isini/Mbok ya aja ngetok/Ana kandhang wae/Enak-enak ngorok/Ora nyambut gawe/Menthok-menthok mung lakumu/Megal-megol gawe guyu//.[8]
Lelagon Menthok-Menthok sesungguhnya menyiratkan pesan moral yang sangat luar biasa. Sekalipun memiliki wajah buruk dan jalan yang membuat ketawa, namun menthok tetap menunaikan tugasnya sebagai makhluk hidup. Bekerja dan tidak hanya mendengkur di dalam kandang. Bila kita ingin menjadi manusia sejati, teladani kehidupan menthok. Jangan menjadikan kekurangan fisik sebagai penghalang untuk mendapatkan hidup dengan bekerja keras. [Sri Wintala Achmad, pemerhati budaya Jawa]
Catatan Kaki:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H