Seusai menyapu dedaunan beringin kering yang berhamburan di tanah, Nyai Tutur dan Pangripta Lelana meninggalkan kuburan mendiang Ranggawarsita. Melangkahkan kaki beriringan menuju gubug yang tak jauh dari makam itu. Seusai memasuki ruangan depan gubug itu, mereka duduk di ambenan bambu.
"Nak Lana...."
"Ya, Nyai."
"Mandilah dulu di sumur belakang! Biar tubuhmu menjadi segar!"
Pangripta Lelana beranjak dari amben. Keluar dari gubug. Melangkahkan kaki menuju sumur di belakang gubug itu. Seusai menimba tujuh ember air untuk dituang ke dalam kolah yang berpagar rangkaian bleketepe, Pangripta Lelana memasuki kamar mandi. Telanjang. Jongkok di depan kolah. Menyiramkan segayung demi segayung air ke tubuhnya yang terasa lekat dan bau.
Pangripta Lelana telah mengenakan pakaiannya kembali. Dengan tubuh yang terasa segar, Pangripta Lelana keluar dari kamar mandi. Kembali memasuki gubug itu. Duduk di ambenan bambu yang di sampingnya telah tersaji secangkir minuman teh panas dan setambir kecil jagung rebus.
"Silakan dinikmati hidangannya, Nak!"
"Terima kasih, Nyai." Pangripta Lelana meraih gagang cangkir yang berisi teh panas. Seusai meniupnya berulangkali, ia mereguk minuman teh itu. Kehangatan minuman itu perlahan-lahan menghangatkan sekujur badannya. "Oh ya, Nyai. Bukankah Nyai Tutur telah berjanji padaku untuk menceritakan kisah perjalanan hidup sang pujangga Ranggawarsita?"
"Aku tak akan mengingkari janjiku itu, Nak." Nyai Tutur memasukkan lipatan tiga lembar daun suruh yang telah dibubuhi leletan injet dan secuwil gambir ke dalam mulutnya. Mengunyah-ngunyah kinang itu dengan giginya yang masih utuh. "Apakah kau sudah siap menyimak kisah perjalanan hidup sang pujangga?"
"Ya, Nyai." Pangripta Lelana meletakkan cangkirnya yang masih menyisakan separuh minuman teh. "Segeralah bercerita, Nyai! Aku ingin mendengarnya dari awal hingga akhir kisah itu."
Nyai Tutur terdiam sesaat untuk mengatur keluar-masuknya napas. Dalam diam, ia kembali mengenang perjalanan hidup sang pujangga Ranggawarsita yang pernah dikisahkan mendiang ayahnya -- Ki Wiracarita. Seusai meludahkan dubang ke dalam kecohan, ia yang serupa seorang ahli tutur itu memulai kisahnya dengan sepenuh penghayatan. [hak cipta:Â Sri Wintala Achmad]
 Â