Terdapat suatu pendapat bahwa menulis itu mudah. Namun pendapat ini disangkal dengan pendapat lain yang mengatakan, bahwa menulis itu gampang-gampang susah. Artinya, kegiatan menulis bisa dikatakan mudah bagi yang sudah mahir. Sementara bagi seorang yang masih belajar, kegiatan menulis tetap dianggap sulit. Karena selain mencari dan menuangkan ide, orang tersebut harus dapat menulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menulis dengan berpedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).
Sesungguhnya tidak hanya bagi seorang yang masih belajar menulis, persoalan menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pula terkadang dialami para penulis senior. Sebagai bukti yang tidak dapat disangkal bahwa mereka terkadang merasa kerepotan di dalam menggunakan huruf kapital serta kata yang dicetak miring, kata serapan, kosa kata, dan tanda baca yang benar (baku). Hal ini disebabkan mereka tidak mau belajar bagaimana menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta berpedoman pada EYD.
Bagi seorang yang ingin menjadi penulis harus memiliki bekal yang cukup. Bukan sekadar semangat, namun pengetahuan terhadap cara menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta berpedoman pada EYD harus dikuasai. Sehingga karya yang dihasilkan akan terlepas dari penilaian buruk karena penggunaan bahasanya sudah tidak belepotan di sana-sini. Dengan demikian, pengetahuan terhadap EYD memiliki peran penting bagi setiap orang yang ingin menjadi penulis profesional. Di samping itu, pengetahuan terhadap EYD sangat berguna bagi seorang redaktur koran atau editor buku.
Peran EYD bagi Penulis Karya non-Fiksi
Ada dua kelompok penulis, yakni penulis non-fiksi dan penulis fiksi. Penulis non-fiksi biasanya menulis naskah berupa karya ilmiah, opini, esai, berita, profil, dan resensi. Sementara penulis fiksi biasanya menulis naskah berupa puisi, prosa lirik, cerpen, novelet, novel, dan roman.
Cara kerja antara penulis non-fiksi dan fiksi pun memiliki perbedaan. Di dalam menulis naskah, penulis non-fiksi lebih mendahulukan kekuatan logika dan kemudian baru mengerahkan kekuatan imajinasi, intuisi, dan rasa sewaktu melakukan penyuntingan. Pengerahan kekuatan imaji, intuisi, dan rasa saat melakukan penyuntingan dimaksudkan agar naskah tetap faktual dan logis tanpa memberikan kesan teramat formal, kaku, dan kering. Sementara penulis fiksi akan lebih mendahulukan kekuatan imajinasi, intuisi, dan rasa sebelum mengerahkan kekuatan logika saat melakukan penyuntingan. Hal ini dimaksudkan agar naskah tersebut tetap logis sekalipun bersifat fiktif dan terlahir dari rekaan semata.
Memahami cara kerja yang benar dalam penulisan naskah non-fiksi kiranya belum cukup bagi penulis. Hal lain yang perlu dipahami oleh penulis non-fiksi adalah bagaimana dapat menuangkan gagasannya ke dalam karya tulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta tetap berpedoman pada EYD. Sehingga tidak ada penggunaan huruf kapital dan huruf miring serta penggunaan kata, unsur serapan, dan tanda baca yang salah. Sebab kesalahan di dalam penggunaan akan mengurangi kesempurnaan karya tulis.
Bagi seorang penulis non-fiksi yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta berpedoman pada EYD akan meningkatkan citra penulis itu sendiri. Di mana penulis akan mendapat predikat dari sidang pembaca sebagai penulis Indonesia sejati yang memahami kaidah-kaidah dalam penulisan naskah dengan menggunakan bahasa nasionalnya. Dengan demikian, EYD memiliki peran penting bagi penulis non-fiksi dalam membantu melahirkan karya tulis yang sempurna serta meningkatkan citranya.
Peran EYD bagi Penulis Karya Fiksi
Karya fiksi yang terdiri dari puisi, prosa lirik, novelet, novel, dan roman merupakan karya rekaan murni dari pengarangnya. Pengertian lain karya fiksi tidak seperti karya non-fiksi yang cenderung mengungkapkan suatu peristiwa (kejadian) nyata atau berdasarkan fakta-fakta. Sungguhpun, gagasan yang dituangkan ke dalam karya fiksi dapat terinspirasi dari suatu peristiwa nyata. Sehingga di dalam proses menulis karya fiksi, seorang kreator lebih mengutamakan kekuatan imajinasi, intuisi, dan rasa. Kekuatan logika baru digunakan sewaktu sang kreator melakukan penyuntingan karya.
Sebagaimana penulis non-fiksi, penulis fiksi sewaktu melakukan penyuntingan karya harus merevisi huruf kapital dan kata yang dicetak miring, unsur serapan, kosa kata, dan tanda baca yang menyimpang dari Pedoman EYD. Sehingga karya yang mencapai kesempurnaan di dalam penulisan tersebut berpeluang besar untuk dimuat di suatu media massa atau penerbit. Mengingat redaktur koran atau editor penerbitan tidak direpotkan atas penulisan karya yang masih banyak melanggar Pedoman EYD.