Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pancabudaya Penyelamat Wayang Wong Yogya

13 Februari 2018   18:54 Diperbarui: 13 Februari 2018   19:27 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak seni tradisi mengalami mati suri, karena tergerus orientasi dari generasi baru yang cenderung menggandrungi produk budaya modern (baca: budaya barat). Sehingga banyak seni tradisi, semisal: Wayang Beber, Kentrung, Dhadhung Awuk, atau Srandul yang bisa dikatakan mati itu tidak lagi mereka kenal; sekalipun namanya masih sering didengar. Disamping beberapa seni tradisi tersebut, terdapat beberapa seni tradisi lain yang masih mereka kenal namun sudah mengalami sentuhan garapan baru di sana-sini, antara lain: Kudalumping (Jathilan), Angguk, Kethoprak, Wayang Kulit, dan Wayang Wong.

Terutama Seni Wayang Wong (gagrak Surakarta) yang menurut sejarah digubah oleh KGPAA Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa/RM Said (1757-1795) hingga mencapai puncak kejayaan semasa pemerintahan KGPAA Mangkunegara V alias RM Samekto (1881-1896) dan dikembangkan di luar istana Mangkunegaran oleh Gam Kang (1895) melalui Grup Kesenian Wayang Wong Sriwedari itu belum mencapai usia tigaratusan tahun, akan tetapi kesenian yang kemudian mendapatkan perhatian dari Pakualam VII alias BRMH Surarjo (1916-1944) tersebut perlahan-lahan mengalami masa surut di ambang datangnya era milenium. Akibatnya, Seni Wayang Wong baik gagrak Surakarta maupun Yogyakarta mengalmi nasib buruk, yakni: mati suri.

Panca Budaya

Bila dibandingkan dengan Seni Wayang Kulit yang justru semakin eksis sesudah mendapatkan sentuhan-sentuhan kreasi baru dari para dalang kondang, semisal: Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Seno Nugroho, Ki Warseno Slenk, Ki Joko Edan, Ki Bayu Aji Pamungkas, dan beberapa dalang lainnya; Seni Wayang Wong cenderung menunjukkan nasib kesuramannya. Fakta ini dapat ditunjukkan melalui kelompok-kelompok Seni Wayang Wong yang tetep setia dengan pakem (sepi dari sentuhan kreasi baru) itu mengalami gulung tikar sesudah tidak mendapatkan perhatian atau ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Tanggap akan nasib suram yang mendera Seni Wayang Wong, maka para seniman yang mendapatkan dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersepakat untuk membentuk Grup (Kelompok) Wayang Wong Panca Budaya pada bulan November 2012.

Grup Wayang Wong Panca Budaya merupakan salah satu kelompok kesenian tradisional yang semula di bawah kepemimpinan Hari Leo (sekarang: di bawah koordinasi Agus Setyawan) memiliki komitmen yakni membangkitkan Seni Wayang Wong dari mati surinya dan selanjutnya mengembangkannya di seluruh wilayah DIY (Kota, Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul) melalui pementasan demi pementasan yang dapat disaksikan oleh masyarakat secara cuma-cuma. Pementasan-pementasan non-ticketing tersebut dimaksudkan, agar masyarakat kembali mengenal dan mencintai Seni Wayang Wong.

Kerja seni yang dilakukan oleh Panca Budaya di dalam mengembangkan Seni Wayang Wong di wilayah DIY sungguh membawa hasil positif dan sangat menggembirakan. Terbukti semenjak berdirinya hingga sekarang, Panca Budaya telah memproduksi enambelas lakon dan mementaskannya di hadapan publik Yogyakarta dari berbagai lapisan usia dan kelas sosial. Adapun lakon-lakon yang telah diproduksi (dipentaskan) oleh Panca Budaya, antara lain: Irawan Palakrama, Sumantri Gugah, Semar Dadi Dhalang, Werkudara Dadi Ratu, Gathotkaca Krama, Parta Krama, Gathotkaca Kembar, Anoman Obong, dll.

Tentu saja, hasil positif yang dicapai oleh Panca Budaya senantiasa ditopang secara pro-aktif dari beberapa person seniman yang memiliki komitmen di dalam menyelamatkan dan mengembangkan Seni Wayang Wong di Yogyakarta. Selain Hari Leo (almarhum) dan Agus Setyawan, penyelamatan dan pengembangan Seni Wayang Wong melalui grup Panca Budaya tidak dapat dilepaskan dengan beberapa nama seniman lainnya, antara lain: Tukiran (Sutradara), Widodo Kusnantyo (Penata Tari), Agus Leyloor (Penata Artistik), Eko Purnomo (Penata Iringan), serta Cak Kandar (Produksi).

Harapan

Perihal dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pemerintah Provinsi DIY terhadap terbentuknya Grup Wayang Wong Panca Budaya layak mendapatkan apresiasi positif. Namun, dukungan itu kiranya belum cukup untuk menyemarakkan perkembangan Seni Wayang Wong di Yogyakarta. Mengingat masih banyak seniman Wayang Wong berpotensi yang membutuhkan wadah untuk mengekspresikan karyanya. Dengan demikian, pembentukan dan pembinaan grup-grup Seni Wayang Wong yang baru perlu dilakukan.

Disamping itu, Dinas Kebudayaan dan Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan kegiatan berupa Festival (Lomba) Wayang Wong secara tahunan yang melibatkan lima daerah di Yogyakarta. Hal ini sangatlah penting untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kualitatif dari grup-grup Seni Wayang Wong yang telah dibentuk serta dibina sebelumnya.

Apabila Yogyakarta telah menjadi titik awal kebangkitan Seni Wayang Wong, maka diharapkan mampu memberikan motivasi bagi daerah-daerah lain untuk turut melakukan upaya yang sama, yakni menggugah Seni Wayang Wong dari kematian surinya dan selanjutnya berusaha untuk mengembangkannya dengan langkah-langkah lebih cerdas. 

Mengingat selain sebagai produk budaya leluhur Jawa yang pantas untuk diselamatkan dan dikembangkan, Seni Wayang Wong dapat dijadikan sebagai media rekreasi dan edukasi bagi generasi sekarang. Terutama pembelajaran mengenai kisah di dalam Mahabarata dan Ramayana, serta nilai-nilai estetika dan etika orang Jawa yang tersirat di dalam pertunjukan Seni Wayang Wong. [srI wintala Achmad]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun