Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bah

11 Februari 2018   03:48 Diperbarui: 11 Februari 2018   05:55 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ENTAH sejak kapan, perempuan paruh baya itu selalu menghabiskan waktunya di ambang senja. Duduk di balik jendela ruangan depan lantai ketiga rumah yang baru dibangun tiga bulan silam oleh Bram menantunya. Si pemilik pabrik tekstil dekat hulu sungai yang mengalir tak jauh dari tumah itu.

Perempuan paruh baya yang dipanggil Uti Putri oleh Vico dan Nico cucunya itu sesekali mengarahkan pandangnya ke luar. Menyaksikan sungai anyir kecoklatan yang mengalir tersendat-sendat dari balik jendela terbuka. Sungai yang membawa sampah bercampur limbah. Sungai yang selalu meluapkan bah hingga membenamkan rumah-rumah ketika musim hujan.

Bila menyaksikan sungai itu, Uti Putri ingin kembali ke kampung. Tinggal di tengah keperawanan desa yang jauh dari bah, sampah, dan limbah. Hidup dalam suasana hangat dan persahabatan, meskipun hari-hari serasa sunyi. Karena hidup tanpa suami yang telah meninggal setahun silam. Tanpa anak-anak yang telah memisahkan diri untuk hidup bersama pasangannya.

Di luar, lampu-lampu mulai menyala. Uti Putri belum beranjak dari kursi. Perhatiannya masih tercurah pada sungai yang mengalir kecoklatan itu. Sungai yang serasa mengisyaratkan bahwa petaka segera tiba. Uti Putri tersentak, saat onggokan-onggokan sampah yang mengalir tersendat di sungai itu tampak serupa mayat-mayat bayi, anak-anak, dan perempuan atau lelaki dewasa.

Karena ketakutan, Uti Putri menutup jendela berikut kordennya dengan gemetar. Belum sempat menekan saklar lampu untuk memberikan pencahayaan pada ruangan itu, Uti Putri dipanggil Yan anak sulungnya dari ruang makan di lantai dua rumah itu. "Bu! Makan dulu. Mas Bram, Vico, dan Nico sudah menunggu."

Uti Putri meninggalkan ruangan yang dibiarkan gelap. Menuruni tangga kayu coklat tua. Melangkah ke meja makan yang dipenuhi hidangan. Menyantap sedikit nasi, sayuran, dan sesiung jeruk; karena tak berselera makan saat teringat sungai yang mengalirkan onggokan-onggokan sampah senampak mayat-mayat manusia itu.

Perut Uti Putri mendadak mual. Tanpa mengucap sepatah kata, Uti Putri menuju toilet. Memuntahkan seluruh isi perut. Karena kepala terasa dipilin-pilin, Uti Putri memasuki kamarnya. Berangkat tidur hingga mimpi buruk. Sungai yang disaksikan pada ambang senja tadi meluapkan banjir darah. Membenamkan rumah milik Bram yang kini disinggahinya.

***

SEBELUM matahari terbit, penghuni di rumah Bram itu tinggal menyisakan Uti Putri dan pelayan yang masih berusia muda. Bram meninjau pabrik tekstilnya. Yan mengantarkan Vico dan Nico ke sekolahnya sebelum pergi ke mini marketnya di bilangan pusat kota.

Kepada Uti Putri yang masih mengurung di kamar tidurnya, pelayan itu memberanikan diri untuk menemuinya. Mengetuk pintu berulang kali. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dari dalam bersama munculnya Uti Putri dengan wajah senampak matahari yang terbalut awan tipis.

"Ada apa pelayan, kamu ketuk-ketuk pintu kamarku?" tanya Uti Putri. "Adakah sesuatu yang penting untuk kamu sampaikan padaku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun