Sekurang-kurangnya dalam hidup, kita pasti pernah membenci seseorang tanpa ada alasan yang jelas. Karena konteksnya kampus, kurang lebih pasti kita pernah membenci seorang dosen tanpa sebab, atau hanya sekadar ikut-ikutan karena dari satu mulut ke mulut yang tidak bertanggung jawab, itulah yang tengah saya rasakan.
Secara dipikir lebih jauh, ternyata ada yang salah dari hal tersebut, untuk apa kita membenci sesuatu tanpa alasan, atau jangan-jangan berita yang kita dengar itu hanya kabar burung hanya untuk menjatuhkan sebuah nama? Sangat tidak mahasiswa sekali rasanya ketika kita terpapar kebencian tanpa alasan seperti ini. Bodoh. Buang-buang waktu mengurusi hal yang tidak penting. Masih banyak urusan kuliah yang lebih penting, bukan?
Yang menjadi momok permasalahan tak kunjung selesai adalah ketika memang karakter yang menjengkelkan tersebut memang ada dalam diri sang dosen, secara manusia memang tidak ada yang sempurna sih, tapi kalau secara nilai dan prinsip bertolak belakang dengan seorang pendidik rasa-rasanya ini perlu dipertimbangkan ulang sih. Apa iya kita harus diam saja kalau mereka ada salah, menjadi seketika buta ketika mereka menggelapkan uang? Wah, wah, wah.
Rasanya secara blak-blakan pasti kita tidak suka terhadap siapa pun ketika dia menyalahgunakan hak yang berhubungan dengan kita, apalagi ini soal uang, pasti sensitif sekali. Meski tidak bisa dipungkiri, secara idealnya kita tidak boleh membenci orangnya, tetapi kepada perilakunya yang tidak terhormat. Apa pun itu yang menjengkelkan adalah, mengapa kita yang mengungkap kebenaran malah menjadi sosok yang seolah paling berdosa, bukankah yang jahat itu tindakan mereka, mengapa kita yang seolah-olah menjadi tai dalam peristiwa ini?
Bungkam adalah jawaban ketika kita ingin main aman. Ada penggelapan dana beasiswa, kita diam saja, yang penting cair. Ada pembengkakan iuran kegiatan, kita diam saja, toh yang penting nilai aman. Ada pemalsuan dalam pembayaran, kita pura-pura tidak paham, yang penting kuliah lancar. Benar, diam adalah emas. Kamu mendapat emas. Atasanmu yang korupsi mendapat berliannya. Kita yang protes? Dapat tai dan caci maki. Sendiri. Dikucilkan. Dijauhi. Hus, hus, sana. Jangan dekat-dekat. Nilaiku nanti jelek.
Belum selesai, ada yang lebih menyebalkan. Mereka tahu kalau kampusnya tukang korup. Mereka koar-koar dan rasan-rasan dengan tongkrongan dan sirkelnya masing-masing. Tapi setelah berhadapan dengan yang mereka kritik, tiba-tiba mulutnya ganti template. Bukan lagi lagu-lagu perjuangan yang disetel, tapi lagu-lagu pujian menjilat pantat-pantat atasan mereka. Bermuka manis. Memasang wajah paling tidak berdosa. Menjadi mahasiswa paling budiman dan sopan santun bin alim sejagat raya. Kritik rasan-rasannya hilang, mulutnya tiba-tiba kelu di hadapan atasan.
Pengecut almamater. Mungkin ini dua kata paling sederhana untuk mendefinisikan mahasiswa-mahasiswa berwajah paling manis itu. Skincare rasanya tidak perlu. Mereka lebih rupawan dibanding selebgram. Dan kau, Kawan. Tinggalkan mulut-mulut dan tulisan kritikanmu itu. Untuk apa? Biar kau dikatakan keren, hebat, pahlawan? Alah, di mana-mana kau tak akan dianggap. Kamu hanya tai, pemberontak, suka melawan. Mana akan sukses hidupmu. Lebih baik kau diam saja. Tidak usah komentar. Serahkan segalanya pada kampusmu. Mereka itu patriot-patriot hebat, guru-guru bangsa. Mana mungkin mereka mau mengkorupsi uang-uang mahasiswa. Sorry. Justru mereka itu dermawan. Jujur. Jijik sekali dengan tindakan-tindakan koruptor. Tangan mereka suci, wangi, dan mulus. Dijaga mulutnya, ya. Tidak usah sok kritis. Urus saja nilaimu di perkuliahan, dasar mahasiswa tidak penting!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H