Mari kita ingat satu per satu. Bukankah kita pernah bahagia begitu hebat, untuk kemudian sedih begitu parah? Tersenyum bangga dikelilingi teman banyak, didekati, untuk kemudian satu persatu hilang sengaja menjauhi kita?
Ketika kita masih memiliki nama baik, memiliki segalanya, bukankah banyak yang menghargai kita, untuk kemudian jijik ketika kita sudah tak punya apa-apa, bahkan harga diri hilang?
Sungguh, menyakitkan, bukan? Tapi yang memahami segala sesuatu sebagai pengembara akan biasa-biasa saja. Menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Oi, bahkan mereka gengsi untuk bersedih, untuk apa aku disedihkan oleh sebuah keadaan, dikendalikan oleh  sebuah perasaan, hah?
Mereka yang mempunyai pemahaman seperti ini akan selalu percaya bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang abadi. Lenyap pada masanya. Kadaluwarsa pada tanggal dan tahunnya masing-masing. Sedih-bahagia menjadi roda kehidupan. Rumus hukum alam. Kadang di bawah, kadang di atas. Kadang didekati, kadang dijauhi. Kadang nelangsa, kadang semringah. Kadang sayang, kadang membenci.
Karena mereka memahami segalanya sebagai pengembara, yang tidak akan menetap tinggal di satu tempat selamanya, maka mereka biasa-biasa saja atas apa pun yang mereka miliki. Teman mendekat, ya alhamdulillah, setidaknya bisa menjadi teman yang saling menghibur dan menasihati. Teman menjauh, ya alhamdulillah, setidaknya berkurang aktivitas gibah.
Eh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H