Mohon tunggu...
Adriezky Suryatama
Adriezky Suryatama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Porkas: Akal-Akalan Judi Legal

5 Agustus 2022   19:55 Diperbarui: 5 Agustus 2022   20:47 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) melakukan pemblokiran terhadap beberapa platform yang tak segera daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Hal ini menimbulkan protes dari masyarakat lantaran platform yang dicoret oleh Kemkominfo adalah platform yang lazim digunakan.

Namun, hal yang menarik perhatian adalah situs dan aplikasi perjudian daring yang mendapat tempat di podium platform yang diizinkan oleh pemerintah. Padahal, praktik judi dilarang di Indonesia, tetapi pemerintah tetap berdalih kalau platform yang diizinkan sekadar permainan kartu.

Ini bukan kali pertama praktik judi bisa menyalip masuk dan beroperasi di Indonesia. Pada era pemerintahan Orde Baru, kita mengenal istilah Porkas. Porkas merupakan akronim dari Pekan Olahraga dan Ketangkasan, ajang pengundian dengan menerka hasil pertandingan olahraga. Olahraga yang paling populer tentu saja sepakbola. Porkas juga merupakan plesetan dari praktik serupa yang dilakukan di Inggris, forecast. 

Porkas bukan sekadar usul yang asal, presiden Soeharto kala itu mengutus Menteri Sosial Mintaredja berangkat ke Inggris untuk mempelajari sistem perjudian dan lotre di sana. Selama dua tahun, Mensos Mintaredja melakukan "studi banding" terhadap praktik dan sistem forecast. Tujuannya, agar praktik forecast van Nusantara yang ada di Indonesia kelak tidak kentara betul judinya dan untuk menyempurnakan sistem yang pernah ada. Barulah pada 1985, porkas resmi diluncurkan sebagai praktik pengundian di Indonesia melalui regulasi UU Nomor 2 Tahun 1954 Tentang Undian dan Surat Keterangan Menteri Sosial tahun 1985. 

Cara bermainnya pun mudah dan dapat diakses oleh siapapun. Pemain hanya perlu membeli kupon, menulis tebakan hasil pertandingan--menang, imbang, atau kalah--dari 14 tim yang bermain di liga utama sepakbola nasional, dan hasilnya akan diundi. Mudah bukan? Setidaknya, itu lah yang ada di pikiran masyarakat Indonesia kala itu. Padahal, peluang memenangkan porkas adalah 1:10 juta. Artinya, pemain harus membeli 10 juta kupon yang diisi dengan 10 juta kemungkinan berbeda untuk bisa mendapatkan hadiah utama secara mutlak. 

Menurut Ahmed Soeriawidjaja, staf ahli di Kementerian Sosial kala itu, sistem porkas dibuat sulit untuk dimenangkan agar tak lekas merugi. Sebab, tujuan utama diciptakannya porkas adalah sebagai sumber pemasukan baru bagi negara. Hasil dari porkas digunakan untuk kepentingan pembangunan dan untuk mendukung pendanaan acara olahraga nasional.

Praktik porkas memberikan ilusi kemenangan kepada para pemainnya, mereka yang berharap mukjizat akan terjadi di depan hidungnya karena "mendadak kaya" dari porkas, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Mereka malah terjebak dalam gaya hidup yang berfokus pada harapan memenangi porkas, pada judi. Di sisi lainnya, porkas memberi kemenangan yang mutlak bagi penyelenggaranya, yaitu pemerintah dan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang dikelola oleh Robby Sumampow. Sistem pembagiannya adalah 50 persen untuk penyelenggara, 30 persen untuk negara, dan sisanya diberikan kepada pemenang--sonder pajak atau potongan lainnya. Sepanjang tahun 1987, porkas mendapatkan dana sebesar 221,2 miliar dari pemainnya (Lumaksono, 2014).

Praktik porkas ini mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya dari kelompok agama Islam. MUI dan organisasi keagamaan masyarakat lainnya menilai porkas sebagai judi jadi-jadian alias judi terselubung. Namun, pemerintah berdalih porkas adalah praktik pengundian, bukan judi. Masyarakat kembali melakukan protesnya dengan demonstrasi di beberapa titik. Tak ketinggalan, Rhoma Irama juga menciptakan lagu yang berjudul "Judi" sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap keberadaan praktik judi di Indonesia, serta memberikan awareness kepada para pendengarnya bahwa judi dapat meracuni kehidupan dan meracuni keimanan. Akhirnya, pada tahun 1993 praktik perjudian di balik undian ini dihentikan, meskipun masih terdapat praktik judi bawah tanah lainnya yang berlangsung.

Kenapa Judi Masih Eksis di Masa Kini? 

Praktik judi masih ada hingga kini. Tak jauh berbeda dari porkas, praktik judi yang marak dilakukan kini adalah menebak hasil skor pertandingan, khususnya sepakbola. Namun, praktik dan sistemnya kini berubah, judi bergeser ke situs-situs daring yang dapat menjangkau lebih banyak orang, meskipun kini judi adalah hal yang ilegal. Larangan dari pemerintah pun hanya seperti suara motor matic yang knalpotnya sudah dirombak. Mengganggu, tetapi bisa dihindari dan hanya lewat beberapa kali.

Situs-situs judi ini menggunakan server yang berasal dari luar negeri, sehingga menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menutup atau memblokir situsnya karena setiap negara mengadopsi judi secara berbeda, tak semua negara menganakharamkan judi. Situs judi ini juga bersembunyi di balik nama situs yang tak nampak seperti situs perjudian. Jika berhasil ditutup pun situs baru siap untuk dibuat. 

Lalu, mengapa orang bermain judi? Alasannya adalah ilusi akan kemenangan yang dialami oleh pemain. Mereka merasa bisa mendapatkan hadiah besar yang dijanjikan dengan modal yang tak sebanding (Griffiths & Wood, 2001). Mereka merasa kemenangan yang diperoleh dapat mengubah nasib mereka, setidaknya dalam periode singkat. Motif ingin mendapatkan keuntungan juga dapat menjadi penyebabnya. Dalam kasus "judi bola online", fanatisme terhadap klub dapat menjadi salah satu motifnya. Rasa percaya dan bangga klub favoritnya akan menang dapat menjadi motivasi untuk berjudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun