Tahap terakhir adalah wawancara. Wawancara ini pun biasanya terbagi dari beberapa tahap. Mulai dari manajer sampai direktur. Pada tahap ini, mereka melakukan pendalaman lebih dalam mengenai diri anda melalui wawancara. Selain itu, tahap ini juga melakukan kroscek dari hasil psikotes anda. Pewawancara yang berpengalaman mengetahui apakah anda berbohong atau tidak. Percayalah, tidak selamanya anda dapat melakukan faking terhadap perilaku anda.
Jadi, ketika melakukan psikotes apa yang harus anda persiapkan? Berikut tips ke dua.
TIPS KEDUA - Persiapkan Diri Anda Sebelum Memulai Psikotes
Persiapan seperti apa yang diperlukan untuk menghadapi psikotes? Mudah sekali. Usahakan anda dalam kondisi bugar dan mood yang bahagia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang bahagia memiliki produktivitas yang lebih baik, dan lebih sukses. Perihal penelitian terkait kebahagiaan bisa lihat rangkumannya disini. Buatlah hal-hal yang menyenangkan sehari sebelum anda psikotes, dan usahakan untuk istirahat yang cukup.
TIPS KETIGA - Berdoa
Saya berasumsi bahwa anda memiliki keyakinan beragama. Dekatkan diri kepada Tuhan. Dalam agama saya, yaitu Islam, ada istilah "Kun Fayakun" yang apabila di-Indonesiakan berarti "Jadi, maka terjadilah". Hal ini menunjukkan bahwa bila Allah berkehendak, maka apapun akan terjadi. Sekarang, bila Allah mengkehendaki kamu, hamba yang dicintainya, untuk mendapatkan pekerjaan, manusia mau bilang apa?
Tiga tips sederhana ini bisa mengantarkan anda untuk lolos seleksi. Memang proses seleksi itu tidak mudah, karena anda bersaing dengan ratusan ribu orang lain yang juga mau mencari pekerjaan. Berpikir positif saja apabila belum diterima. Siapa tahu pekerjaan itu tidak cocok untuk anda. Apabila anda bekerja di tempat yang tidak cocok, anda tidak akan bisa maksimal di sana.
Untuk para praktisi psikologi, baik peneliti, dosen, psikolog, mahasiswa, dan lain-lain, ini adalah isu lama yang masih belum terselesaikan. Melihat perkembangan teknologi informasi, hal ini bisa makin menjadi-jadi. Kita perlu bersama-sama memikirkan jalan keluar dari permasalahan pelanggaran kode etik ini. Menuntut untuk meningkatkan kemampuan dalam asesmen hanyalah solusi sementara dari permasalahan ini. Kita perlu sebuah hukum yang legal untuk mengatur kebijakan penggunaan alat tes, sehingga tidak digunakan dan disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H