Pagi itu seperti kebanyakan anak seusianya, Jono pamit kepada ibunya untuk pergi berangkat ke Sekolah. Jono merupakan anak dari seorang ibu yang berprofesi sebagai penjahit. Penghasilannya pun hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bapaknya, sudah 3 tahun ini berpisah dengan ibunya.
Karena itulah, Jono kekurangan perhatian di usia menjelang produktifnya tersebut. Sehingga semasa SMP ini Jono sering bergaul dengan anak-anak yang badung, sering kali dia mangkir dari tujuannya ke Sekolah. Waktunya habis digunakan untuk nongkrong-nongkrong tidak jelas di warung dekat sekolahnya. Padahal sekarang sudah mendekati waktu dilaksanakannya ujian nasional.
Sebenarnya dia paham betul bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Tapi lingkungannya selalu mengatakan tidak untuk kebenaran yang sudah nyata dibenaknya. Selain mendapat kesan jelek dari para gurunya, Jono juga sadar kalau perilakunya itu menyakiti hati ibunya.
Walau begitu, ibarat hamparan gurun pasir yang gersang pasti ada secercah oase yang dapat menyejukkan mata. Ya, setiap dia berangkat menuju sekolah dia melewati sebuah pesantren tradisional yang terkenal dengan santrinya yang selalu memakai sarung. Karena para santri tersebut mempunyai budi pekerti yang baik, maka kesan dari orang yang memakai sarung juga menjadi baik. Itulah keinginan Jono,
"Suatu saat nanti pasti aku bisa seperti mereka" Harap Jono di dalam hati.
Memang sejak kecil Jono kurang mendapatkan pendidikan akan agamanya. Karena orang tuanya pun juga awam terhadap apa itu yang namanya agama. Bahkan tata cara sholatpun mereka belum memahaminya.
Tak terasa, akhirnya ujian nasional telah terlaksana dan hasilnya sudah bisa ditebak. Jono mendapat nilai dibawah teman-temannya. Tidak ada rasa kaget sedikitpun di raut muka Jono ketika mengetahui hasil nilai ujiannya itu. Tapi sekali lagi Jono membuat ibunya sedih. Betapa tidak, uang hasil jerih payah menjahit pakaian setiap hari dialokasikan untuk pendidikan Jono. Namun apa yang didapat selain rasa sedih dan kecewa?
Malam harinya Jono merenung dalam diam dalam gelapnya malam. Dia terngiang-ngiang dengan para santri bersarung yang hampir setiap hari dilihatnya ketika berangkat ke Sekolah. Dia ingin sekali ketika SMA nanti berkumpul dengan orang-orang yang perilakunya berkebalikan dengan teman nongkrongnya di SMP.
Tibalah saat dimana masa orientasi siswa SMA. Seperti masa orientasi pada umumnya, siswa baru dikenalkan dengan seluk beluk SMA tersebut. Mulai dari denah sekolah sampai berbagai macam ekstrakurikuler yang terdapat disana.
Ketika Rohis, Kerohanian Islam, yang merupakan organisasi siswa berbasis keagamaan presentasi didepan para peserta orientasi, mata Jono langsung terbelalak dan berkata dalam hati
"Mungkin ini jalan yang harus aku tempuh untuk memperbaiki diri"
Berkumpul dengan orang-orang sholeh memang menjadi cara tercepat untuk bisa menjadi sholeh juga. Sudah beberapa kali Jono mengikuti bimbingan yang diadakan oleh kakak-kakak senior di Rohis. Dan benar saja, cara pandang hidupnya pun ikut berubah menjadi seperti anak Rohis kebanyakan. Jono menjadi rajin Sholat, rajin mendatangi kajian dan lebih bisa menjaga tutur katanya.
Tapi satu yang belum bisa dilakukannya. Bukan malas, tapi lebih tepatnya dia belum percaya diri untuk Sholat berjamaah di masjid dekat rumahnya. Disaat yang lain memakai sarung untuk sholat, Jono sendirian memakai celana panjang jika sholat di Masjid itu. Bukannya tidak sah, tapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sekitarnya jika memakai sarung kesannya lebih sopan dan beradab. Seperti para santri yang sering dilihat Jono sewaktu SMP.
Karena memang Jono berasal dari keluarga yang serba cukup, sarung sehelai pun dia tidak punya. Celana yang dia pakai untuk sholat pun itu-itu saja. Sampai akhirnya Jono memutuskan menghadap ibunya untuk membicarakan sesuatu yang itu bisa membuat Jono lebih bersemangat lagi dalam memperbaiki diri dalam dekapan agama.
"Bu, aku mau ngomong sebentar boleh?" Tanya Jono kepada ibunya yang sedang menjahit.
"Bolehlah, tumben nggk kayak biasanya. Ada apa?" Jawab ibunya sambil mematikan sejenak mesin jahit-nya.
"SMA ini, aku sudah punya niatan kuat untuk memperbaiki diri bu. Aku sadar selama ini aku jauh dari Tuhan dan aku tidak ingin membuat ibu terus-terusan kecewa. Untuk itu, boleh tidak aku..." Kata Jono terputus
"Iya, ibu sudah lihat kok. Ibu bangga padamu nak. Terus kamu mau apa?" Sahut ibunya
"Boleh tidak aku dibuatkan sarung?" Pinta Jono sambil memelas
"Iya nak iya, ibu buatkan ya" Jawab ibunya sambil menahan air mata
Setelah ibunya membuatkan beberapa sarung untuk Jono, Jono tambah semangat aktif di Masjid dekat rumahnya. Dia menerapkan apa-apa yang didapatnya ketika bimbingan Rohis. Sampai pada akhirnya ketika dia berada di bangku kelas 3 SMA, dia diberi amanah menjadi salah satu imam di Masjid dekat rumahnya tersebut.
Bayangkan jika tidak ada sarung yang membuatnya bersemangat, mungkin Jono belum bisa sampai pada titik yang telah dicapainya seperti sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H