Pertengahan Februari lalu, bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke media masa menyita perhatian publik. Kebocoran itu persis bersamaan dengan desas-desus akan ditetapkannya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi tersangka dalam kasus Hambalang. Alhasil, publik pun telah menakar Anas akan menjadi tersangka sebelum KPK menetapkannya.
Khalayak umum tidak terlalu ngeh dengan belum lengkapnya tanda tangan anggota KPK dalam Sprindik bocor itu. Dugaan publik logis dan sejalan dengan pemberitaan media masa sebelumnya, yang memuat pernyataan Abraham Samad tentang peningkatan status Anas menjadi tersangka belum sempat ditandatangani oleh seluruh Pimpinan KPK, karena sedang berada di luar kota. Berdasarkan kejadian itu, publik tentu saja boleh berasumsi soal apa yang terjadi waktu itu, sangat sederhana. Hanya soal waktu saja.
Berbeda dengan pandangan publik, Anas Urbaningrum ternyata memiliki catatan-catatan sendiri soal rangkaian kejadian itu. Bagi Anas, "Srindik bocor" hanyalah satu keping puzzle dari satu rencana besar yang berusaha menarik keterlibatan dirinya dalam kasus hambalang ke wilayah hukum.
Pantaslah jika dari awal Anas melalui pengacaranya Firman Wijaya, selalu mempermasalahkan soal kebocoran sprindik KPK yang menyangkut nasibnya itu. Pertanyaan dasarnya, bisa saja seputar siapakah pembocor sprindik ? dan yang paling penting, adakah motif khusus dibalik aksi pembocoran Sprindik yang menyangkut nasib Anas itu ?
Dalam logika yang terbuka, Bocornya Sprindik KPK soal Anas bisa saja bentuk lain dari tekanan pada pimpinan KPK khususnya yang belum menandatangani. Pertanyaan turunanan dari itu akan lebih mudah ditebak. Mengapa tidak tanda tangan? Belum sempatkah ? atau Belum sepakat dengan penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka ?
Tanpa terkait dengan pertanyaan-pertanyaan diatas, hingga hari ini Komisi Etik KPK masih terus berupaya melakukan investigasi menjawab misteri pembocoran sprindik. Namun dalam memperhatikan persoalan ini, tentu publik tidak boleh "salah kamar" dalam memandang kasus yang melibatkan Politisi sekelas Anas Urbaningrum.
Mahfud MD, sebagai tokoh yang terkenal punya integritas dalam penegakkan hukum sempat menegaskan, bocor atau tidaknya sebuah sprindik KPK, secara hukum Anas tetap tersangka. Sebab menurutnya, soal ditetapkannya Anas menjadi tersangka dalam kasus Hambalang, Mahfud sendiri sudah mengetahuinya sejak bulan Oktober 2012.
Artinya antara Kasus Hambalang dan Bocornya Sprindik, memiliki 'kamar' masing-masing yang tidak bisa dicampur adukkan dalam sebuah peristiwa hukum. Yang satu menyangkut kasus hukum, yang satu nya lagi merupakan kasus pelanggaran etik.
Sungguh aneh jika hari ini Anas meminta penyidikan kasusnya di KPK ditunda, karena Komisi Etik yang sedang bekerja menginvestigasi "Sprindik Bocor".
Pasca ditetapkan KPK menjadi tersangka, memang lumrah jika seorang Politisi sekelas Anas Urbaningrum berupaya bermanuver ria dengan treathment politik yang memang menjadi keahliannya. Mulai dari istilah : Halaman Pertama, Bayi yang kelahirannya tidak diharapkan, hingga rentetan kejadian yang dianggapnya sebagai rangkaian kejadian yang utuh dan saling terkait. Kemudian dilanjutkan dengan sentilan Anas seputar kejadian "gebrak meja" yang bermaksud menyeret Ibas kedalam pusaran Hambalang. Seluruh aksi Anas itu jelas politis. Perlawanan Politik itu jelas akan menimbulkan perlawanan balik yang besifat politik pula dari lawan-lawannya.
Tokoh hukum seperti Mahfud MD dan beberapa pengamat lainnya telah mengisaratkan agar Anas melakukan perlawanan secara hukum. Namun menyampur adukkan proses penyidikan kasus Hambalang dengan Pelanggaran Etik dalam internal KPK, sepertinya tidak terlalu relevan mengubah nasib Anas di mata Hukum. Sebab substansi dari perkara yang menjerat Anas sepenuhnya menyangkut keterlibatannya dalam Mega Kasus Hambalang.
Kalau boleh berseloroh, dulu Anas pernah menegaskan agar KPK tidak usah repot-repot mengurusi kasus Hambalang karena itu berasal dari ilusi dan ocehan seorang Nazar saja. Tapi KPK ngeyel dan malah menetapkan Anas menjadi tersangka. Tentu boleh pula jika publik menegaskan pada Anas agar tidak usah repot-repot mengurusi bocornya Spindik KPK, karena itu hanya Pelanggaran Etik. Apa karena KPK kemaren repot-repot urus Hambalang, Anas balik repot-repot mengurusi pelanggaran etik di internal KPK ?
Jika KPK kali ini malah mendengar permintaan Anas, rakyat pantas khawatir, bisa jadi serangan-serangan Politik Anas makin mendapat porsi waktu yang panjang. Dampaknya, tentu bisa makin menggedor pertahanan KPK, mengingat tidak sedikit orang-orang besar di dunia politik, diduga terlibat dalam kasus Hambalang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H