BAHASA dan diri kita sebagai manusia, ternyata sangat berkaitan erat. Dengan menggunakan bahasa, baik itu bahasa lisan maupun bahasa tertulis, menjadikan kita mampu berinteraksi dengan sesama manusia dan bahkan hewan serta lingkungan sekitar. Kemampuan berbahasa, juga menjadi faktor penentu ihwal kehidupan atau kematian seseorang. Manusia dinyatakan meninggal dunia tatkala dirinya sudah tidak mampu berbahasa, baik secara lisan, tulisan maupun bahasa tubuh (body language). Manusia yang hidup, cenderung mampu berbahasa karena eksistensinya dilengkapi oleh-Nya dengan indra pengucap berupa mulut dan alat bantu berbahasa yakni pendengaran atau telinga serta penglihatan atau mata untuk membaca tulisan.
Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu berbahasa karena tidak sempurna panca indranya atau bisu dan tuli. Kendati begitu, mereka yang dikenal sebagai tuna rungu ini, sesungguhnya memiliki kemampuan berbahasa dalam bentuk lain yaituberbahasa tubuh atau berkomunikasi dengan tubuhnya. Karenanya, orang tuna rungu tetap dapat berinteraksi dengan sesamanya atau masyarakat melalui gerakan bahasa tubuhnya.
Begitu halnya manusia yang terbatas penglihatannya atau tuna netra, ternyata mampu berkomunikasi dengan sesamanya atau orang lain. Upaya komunikasi mereka itu dilakukan dengan memanfaatkan panca indra lainnya yang normal yakni ucapan (mulut), pendengaran (telinga), dan bahasa tubuh sepertimenggerakan tangan atau kaki, menggelengkan kepala, mengangguk-anggukan kepala, dan sejenisnya.
Antara manusia dengan hewan pun kerap terjadi jalinan komunikasi bahasa, seperti yang dapat kita saksikan di Kebon Binatang, lokasi sirkus, kandang pemeliharaan hewan, dan sejenisnya. Betapa tidak, di beberapa perempatan lampu merah di kota-kota besar di Indonesia sering kita menyaksikan ada komunikasi bahasa antara pawang hiburan dengan monyet. Ya, hanya dengan bunyi tabuhan yang dipukul pawang hiburan serta bahasa tubuhnya atau isyarat gerakan tangan, maka monyet menjadi penurut seraya berakting gerakan tertentu. Hal senada bisa kita saksikan di arena sirkus hewan seperti di Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua Kab. Bogor.
Adapun jenis-jenis bahasa di Indonesia, sangat berragam sesuai dengan etnis atau komunitas masyarakat setempat. Keragaman jenis bahasa warga negara Indonesia di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Nusantara ini, menjadi aset penting bagi pembangunan tingkat daerah dan nasional. Bahasa juga menjadi alat mempererat atau menyatukan bangsa Indonesia. Bahasa merupakan faktor penting dalam mensukseskan kehidupan bangsa Indonesia di masa silam tatkala merebut kemerdekaan dari penjajah maupun di masa kini ketika mengisi era kemerdekaan.
Pertanggungjawaban berbahasa
Dalam perspektif historis kemanusiaan, terungkapkan realita bahwa sebenarnya sejak jabang bayi—bayi dalam kandungan perut ibu—sudah terjadi proses berbahasa. Sejumlah hasil penelitian menyebutkan, ada komunikasi antara ibu hamil dengan jabang bayi. Karenanya, ada beberapa rekomendasi dari hasil penelitian yang menyarankan agar ibu hamil hendaknya berkomunikasi secara kualitatif dengan jabang bayinya. Bentuk sarannya pun bermacam-macam, seperti ada yang mengusulkan agar ibu hamil rajin membaca buku atau diperdengarkan lagu tertentu agar anaknya kelak cerdas,ibu hamil hendaknya rajin beribadah sehingga anaknya sholeh atau sholehah, dan sejensinya.
Proses berbahasa seorang anak manusia pun dapat kita ketahui tatkala bayi yang baru lahir—setela ditepuk pantatnya oleh bidan atau tim medis—terdengar menangis. Sebaliknya, jika bayi yang bersangkutan tidak bisa menangis, maka hal itu dinyatakan sebagai bayi yang kurang sempurna. Nah, proses berbahasa selanjutnya dapat kita ketahui di kala bayi yang makin tumbuh dan berkembang mampu menangis tatkala berkomunikasi atau berinteraksi dengan orangtuanya atau orang di sekitarnya.
Tuhan Yang Maha Esa pun memberi kemampuan unik pada seorang bayi tatkala dirinya merasa haus. Misalnya, dengan cara menangis atau menggerak-gerakan bibirnya. Namun apabila ibunya tetap tidak memberi ASI (Air Susu Ibu), maka Tuhan Yang Maha Esa memberinya inspirasi pada bayi berupa kesengajaannya menangis dengan suara keras diiringi tubuhnya yang berguling-guling.Tatkala hal itu terjadi, pasti ibunya tanpa berpikir panjang langsung mendekap bayi yang bersangkutan dan memberinya ASI.
Stimulus dari-Nya untuk kian cerdas berbahasa, sesungguhnya terus berlanjut pada diri manusia. Fenomena ini bisa dicermati dari mulai fase kehidupan bayi usia di bawah tiga tahun (batita), bayi usia di bawah lima tahun (balita), anak-anak, remaja, dewasa, hingga fase orang tua. Dalam konteks inilah, kita menyaksikan adanya sejumlah manusia yang mampu berbahasa di luar etnis atau komunitasnya. Misalnya, ada warganegara Indonesia yang bisa berbahasa Sunda, Jawa, Aceh, dan lainnya. Bahkan ada yang selain pintar berbahasa Indonesia, juga mampu fasih berbahasa Arab, Inggris, Mandarin, Jepang, Belanda, dan lainnya.
Adapun hal esensial yang luput dicermati adalah bagaimanakah pertanggungjawaban kita tatkala berbahasa. Ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban secara spiritual dan non-spiritual. Maksudnya, kita dituntut mampu berbahasa—Indonesia-- secara baik dan benar, sekaligus bisa mempertanggungjawabkannya secara spiritual dan non-spiritual. Sebab, kesalahan dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis, di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan-keamanan (ipoleksosbudpenhankam), maka bisa berakibat terjadinya permusuhan di antara sesama manusia.
Betapa tidak, banyak fakta menunjukkan faktor penyebab terjadinya peperangan di sejumlah negara di dunia, karena kekeliruan dalam berbahasa baik secara sengaja maupun tak sengaja. Contohnya, ketika Amerika Serikat (AS) dan sekutunya sengaja berbahasa secara keliru dengan menyebutkan adanya senjata pemusnah massal di Irak, maka negeri Irak pun akhirnya diperangi. Penulis pernah bertugas melakukan peliputan di Irak pada tahun 2001,ternyata tidak ada fakta tentang senjata pemusnah massal sebagaimana yang diungkapkan oleh AS dan sekutunya. Hingga kini pun AS dan sekutunya tidak bisa mempertanggungjawabkan bahasanya yang menyebutkan di Irak ada senjata pemusnah massal pada saat rezim Saddam Husein berkuasa.
Begitu halnya konflik antaretnis maupun pemberontakan di berbagai negara di dunia, selalu memunculkan fenomena adanya peran bahasa. Ini termanifestasikan dari munculnya peran juru runding, diplomat, penengah dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sejenisnya. Sungguh, kehidupan di dunia diwarnai dengan realita interaksi antarmanusia di berbagai bidang seperti ipoleksosbudpenhankam. Selain itu, manusia di dunia juga dituntut mampu berbahasa dengan baik dan benar dalam kemasan eksistensinya selaku hamba Tuhan Yang Maha Esa. Ya, itulah berbahasa dalam koridor kehidupan spiritual atau komunikasi transendental kepada-Nya.
Ironisnya, fakta menunjukkan terjadi krisis pertanggungjawaban manusia dalam berbahasa, baik secara spiritual maupun non-spiritual. Banyak manusia kurang menyadari bahwa aktivitas berbahasanya dimintai pertanggungjawaban, baik saat kehidupan di dunia maupun ketika di akherat kelak oleh-Nya. Akibatnya, mereka berbahasa secara tidak baik dan tidak benar sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif pada kehidupan manusia, dan bahkan hewan dan lingkungan sekitarnya.
Krisis pertanggungjawaban
Fakta rendahnya kesadaran pertanggungjawaban berbahasa manusia, bisa tampak dari adanya sejumlah fenomena yang penulis cermati berikut ini:
Pertama, sejak kecil anak-anak kita cenderung dikenalkan dengan bahasa yang tidak edukatif-transendental seperti orang tua yang menakut-nakuti anaknya dengan kata-kata ”awas ada hantu”, ”awas ada setan”, ”awas ada polisi”, ”awas ada tentara”, ”awas ada penculik”, ”awas ada guru”, ”awas ada mama”, ”awas ada papa”, dan sejenisnya.Akibatnya, sejak dini anak-anak kurang perhatian terhadap adanya atmosfer spiritual atau kurang terstimulus untuk mengimani adanya eksistensi dan peran malaikat-Nya. Karenanya, ketika sekolah pun anak-anak kita tidak merasa ada malaikat-Nya yang mengawasi perbuatan baik atau buruknya sehingga menyontek pun menjadi kebiasaan yang notabene merupakan benih-benih perilaku korupsi kelak di masa dewasa.
Kedua, ketika hidup sebagai remaja dan bahkan dewasa, maka eksistensi dan perilaku malaikat-Nya pun terpinggirkan lantaran kata-kata ”awas...” dan ”awas....” tersebut telah bersemayam di bawah sadarnya. Akibatnya, tatkala tidak ada subjek ”awas...” yang disebutkan seperti saat tidak ada guru, tidak ada orang lain dan sejenisnya, maka muncullah turunan kata-kata buruk lainnya serta perilaku bernuansa seksual yang sebenarnya haram dilakukan.
Ketiga, banyak orang tua yangkeliru berbahasa tatkala mengetahui bahasa anak-anak maupun perilakunya tidak sesuai harapannya. Misalnya, orang tua berkata yang nuansanya ancaman ”awas kualat...”, ”awas.....” dan kata-kata sejenisnya tanpa mampu memberi penjelasan yang edukatif-transendental. Kebiasaan bahasa pelarangan secara lisan yang kerap diiringi dengan bahasa tubuh orang tua yang mengintimidasi cenderung menjadikan anak-anak kurang sehat kepribadiannya. Dalam kasus keluarga Muslim, umpamanya, anak-anakbanyak yang kurang bisa memahami logika pelarangan berkata ”uffin” atau ”ah” kepada orang tua maupun kata-kata ”selang pergaulan seperti anjing, monyet, dllnya”, karena keterbatasan pemahaman keislaman dan kemampuan logikaorang tua.
Ketiga, tatkala akan memasuki kehidupan berrumahtangga, maka banyak manusia yang rendah kesadaran mempertanggungjawabkan bahasanya saat ijab-qabul atau janji pernikahan. Ya, seolah-olah bahasanya dalam berijab-qabul itu sekadar formalitas belaka atau tradisi pesta pernikahan alias tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Akibatnya, muncullah fenomena perselingkuhan, perceraian,kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sejenisnya.
Keempat, saat bekerja atau menjalani profesi tertentu, banyak manusia yang rendah kesadaran pertanggungjawaban berbahasa ”sumpah jabatan”-nya. Mereka—sebagaimana kasus bahasa ijab-qabul pernikahan—melakukan sumpah jabatan dengan asumsi sekadar formalitas belaka. Mereka kurang atau tidak menyadari bahasa sumpah jabatannya kelak dimintai pertanggungjawabannya secara hukum positif di dunia maupun di akherat kelak. Akibatnya, muncullah fenomena kesengajaan berbuat kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), baik dalam skala kecil atau besar maupun individu atau berjemaah.
Kelima,perbuatan dan perilaku beribadah saat ini cenderung menjadi rutinitas dan formalitas. Akibatnya, banyak orang yang beribadahnya tidak berdampak positif pada perilaku kehidupan sehari-hari. Bahasa lisan maupun tertulis serta perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang diamalkannya. Misalnya, ketika beribadah terucap bahasa doa memohon hidup sehat dan dipanjangkan usia oleh-Nya. Namun, seusai berdoa justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan bahasa doanya, seperti sengaja memasukkan nikotin asap rokok ke dalam paru-paru, sengaja memakan dan meminum yang mengandung zat pengawet, zat penyedap, zat pewarna, zat pengembang, dan zat adiktif lain yang notabene merugikan kesehatannya. Tatkala beribadah, banyak manusia berdoa mohon rezeki yang halal dan baik dari-Nya. Tapi, seusai berbahasa doa justru sengaja memburu rezeki yang tidak halal dan tidak baik cara mendapatkannya seperti menuliskan kata-kata atau data angka bersifat fiktif dalam kaitannya dengan dana.
Perspektif ilmiah bahasa
Sungguh, kelima aspek yang penulis ungkapkan tersebut merupakan potret krisis pertanggungjawaban berbahasa di Indonesia. Ya, potret yang bernuansa krisis multi dimensi di negeri yang konon beragama ini. Lalu, bagaimanakah kita bisa memahami secara logika bahwa bahasa kita itu dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya kelak?
Nara sumber penulis yakni seorang peneliti asal kampus Unisba, Ir. H. Bambang Pranggono, M.BA. menyebutkan, bahasa lisan yang diucapkan seperti saat ijab qabul atau sumpah jabatan, itu sesungguhnya bertaburan di udara dan hinggap di dinding atau angkasa dan pada saatnya kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Uji cobanya adalah dengan ucapkan kata-kata memanggil seseorang di mulut goa, lalu rekan kita menunggunya di ujung goa lainnya. Suara panggilan tidak langsung terdengar di telinga rekan kita, karena butuh waktu beberapa detik. Kenapa? Karena, bahasa kata-kata panggilan itu merembet melalui dinding goa.
Logika inilah yang juga terjadi pada fakta ilmiah seluran telefon. Dulu, ketika anak-anak, sering bermain telefon-telefonan dengan peralatan dua kaleng dan benang panjang. Kini, logika merembetnya bahasa kata-kata sudah kian maju yakni setelah adanya saluran telefon menggunakan kabel tiang dari rumah ke rumah, berubah memanfaatkan kecanggihan satelit di angkasa sehingga muncullah fakta telefon satelit, ponsel, dan sejenisnya.
Keajaiban dan dahsyatnya bahasa, juga diungkapkan peneliti air asal Jepang yang bernama Dr. Masaru Emoto. Dia melakukan tes dengan mengucapkan kata-kata baik dan buruk terhadap air. Akibatnya, ternyata ada perbedaan bentuk kristal air antara air yang diberi kalimat baik dan buruk. Ihwal ini, juga pernah diujicobakan oleh mubalig, Aa Gym terhadap nasi. Konon, nasi yang disimpan di toples lalu diberi ucapan kata-kata baik dan buruk akan menghasilkan nasibasi yang warnanya berbeda. Nasi basi warna putih itu yang diberi kata-kata baik, sedangkan nasi basi warna hitam adalah yang diberi ucapan buruk. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang guru besar dari kampus Unisba yaitu Prof. Dr. Engkus K. Disebutkannya, bahasa ucapan itu mengandung hado yang berdampak memengaruhi orang atau barang tertentu.
Lalu, bagaimanakah kita bisa mengetahui kebohongan bahasa seseorang? Berdasarkan pencermatan, ternyata alat uji kebohongan yang biasa dipakai oleh Polri dan instansi terkait hanya mampu mengungkap fenomena seseorang itu bohong. Tapi, konten atau isi bahasa kebohongannya sulit diketahui. Nah, satu-satunya solusi atas problem untuk mengetahui bahasa kebohongan adalah dengan metode hipnosis. Dari beberapa kali praktek hipnosis, penulis dapat mengetahui isi bahasa kebohongan seseorang. Tentu hal ini sangat layak diaplikasikan kepada para tersangka koruptor atau pelaku kriminal lainnya. Ya, dengan menerapkan metode hipnosis, maka kita bisa mengetahui apakah bahasa yang dipakai seseorang itu baik dan benar sebagaimana aturan dalam hukum positif maupun agama. Mari, kita berbahasa Indonesia dengan baik dan benar serta diiringi kesadaran mempertanggungjawabkannya. (Achmad Setiyaji)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H