Mohon tunggu...
Achmad Hid. Alsair
Achmad Hid. Alsair Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa semester akhir, #GGMU @Man_Utd, ISFJ, hobi baca buku bertema sejarah, jatuh cinta dengan sastra dan gemar diskusi isu-isu internasional.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fasisme Bukan Nasionalisme

24 Oktober 2014   23:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fasisme, belakangan ini kita sering mendengar hal ini di linimasa sebuah jejaring sosial. Fasisme, begitu kata orang menyebut sebuah gerakan nasionalisme ekstrim. Fasisme, begitu banyak orang yang memakai pakaian atau jaket dengan lambang Swastika sebagai penghias namun tak tahu apa arti dibaliknya. Fasisme, mereka butuh untuk disadarkan.

Fasisme pada dasarnya adalah sebuah gerakan nasionalis yang ekstrim, dimana paham nasionalisme ini dianut oleh sebuah golongan tertentu. Mereka menganggap golongannya sebagai kaum paling mulia di atas semua golongan, dan menganggap golongan lain kedudukannya lebih rendah. Golongan ini bahkan menganggap golongan lain yang tidak setara adalah wabah yang harus disingkirkan dan kalau perlu dilenyapkan dari muka bumi ini, agar kemurnian ras dan golongannya bisa terjaga.

Sejarah mencatat, fasisme pernah tumbuh di bumi ini. Tumbuh dengan subur sehingga melahirkan diktator-diktator nan bengis. Benito Mussolini di Italia, berkuasa Desember tahun 1925 hingga musim panas 1943. Serta Adolf Hitler di Jerman dari Agustus 1934 hingga April 1945. Semua fasisme akan berujung dengan kediktatoran, bentuk pemerintahan semena-mena dimana orang-orang yang tidak sepaham ataupun tidak sama golongan akan dihapuskan.

Dan saat menjelang Pilpres lalu, kita dihadapkan oleh masalah yang dihubung-hubungkan dengan fasisme. Seruan nasionalisme yang dibawa seorang calon oleh sebagian pihak dianggap menyerempet ideologi terlarang tersebut. Saya berpendapat bahwa tak ada salahnya seorang kandidat pemimpin negara dimana pun mengangkat isu nasionalisme. Rakyat tentunya punya rasa nasionalisme, rasa cinta terhadap tanah air tempatnya dilahirkan. Ada saat-saat tertentu dimana rasa nasionalisme digugah, seperti saat kita medengar lagu nasional kita diperdengarkan di ajang-ajang internasional.

Nasionalisme adalah hal yang otomatis melekat dengan diri setiap warga negara manapun, dan inilah rasa yang mampu mempersatukan seluruh warga negara, entah dia dari ras atau golongan apapun. Seringkali kita mendapati hal ini diangkat dalam kampanye seorang calon pemimpin di negara manapun, bahkan di Indonesia hal ini sudah diangkat sejak dulu. Semangat nasionalisme itu kemudian ingin ditularkan dalam hal pembangunan negara dan memajukan seluruh sendi kehidupan sebuah negara.

Namun baru kali ini kita melihat sebuah ajang Pilpres dimana isu fasisme pun didengungkan sangat hebat. Mengisyaratkan bahwa Indonesia tengah dihantam ombak ideologi nasionalis ekstrim sama seperti yang melanda Eropa sekarang? Saya harap tidak. Negara ini terdiri atas berbagai suku bangsa yang bermacam-macam dan ribuan jumlahnya. Kita adalah bangsa yang majemuk, dan bahkan Presiden Pertama Soekarno pun menyadari ini sejak beliau masih muda. Beliau menginginkan agar perbedaan tersebut menjadi sebuah kekuatan besar yang disatukan oleh sebuah identitas yang amat besar; Indonesia.

Harusnya kita belajar dari sejarah, bagaimana fasisme yang memuja-muja kemurnian dan kemuliaan sebuah rasa atau golongan lenyap sampai habis tak bersisa. Harusnya kita belajar dari sejarah, bagaimana pemimpin pemerintahan diktator yang berlandaskan fasisme berakhir hidupnya dengan tragis. Benito Mussolini tewas ditangan rakyat yang dulu ditindas dengan tangannya, dan Adolf Hitler tak ingin bertemu wajah dengan kejatuhannya sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Kita harusnya belajar dari sejarah, bahwa setiap ideologi yang merendahkan dan mendiskriminasi golongan minoritas akan lenyap seiring waktu. Tuhan menciptakan kita menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal dan menghargai, bukan untuk saling berperang dan mengangkat senjata. Dan kita sebagai Indonesia, harus memelihara perbedaan yang telah ada di bumi nusantara sejak ribuan tahun yang lalu. Yakinlah bahwa fasisme tak akan pernah tumbuh di sini. Namun jika melihat benih-benih fasisme yang nyata tumbuh di sekitar kita, hanya ada satu kata: Lawan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun