"Aku baru saja menelepon seorang kawan lama yang sudah lama tinggal di Tunisia. Aku tidak akan menyebutkan siapa orang ini, yang pasti aku sudah lama mengenalnya dan ia adalah orang yang dapat dipercaya. Aku bertanya mengenai desas-desus yang selama ini berkembang tentang sebuah tipuan yang ditujukan untuk pemerintah Israel apakah itu benar adanya? Ia menjawab: itu benar. Akan ada sebuah tipuan yang akan dilancarkan. Untuk waktu, tempat, dan bagaimana tipuan itu dilaksanakan ia tidak tahu dan tidak bisa memastikannya."
  Aku susah payah menelan ludahku. Informasi ini sangat sensitif dan bisa merubah jalannya operasi yang sedang berjalan. Aku harus mengambil sebuah keputusan penting serta risiko yang akan terjadi jika semua ini tidak berjalan dengan semestinya dan ternyata semua ini hanyalah kabar burung yang biasa digunakan dalam dunia intelijen untuk tujuan disinformasi. Aku membutuhkan waktu serta ketenangan untuk mengambil keputusan penting ini. Aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengannya dengan alasan ada sesuatu yang mendesak yang harus segera aku selesaikan.
  "Biarlah aku yang membayar semuanya," ujarku kepadanya dengan senyum ramah. Aku segera meletakkan beberapa pecahan uang dolar di atas meja lalu berjabat tangan dengannya bagai seorang kawan lama yang akan berpisah. "Terima kasih banyak, pertemuan ini sungguh berkesan," imbuhku sambil melepas jabat tanganku.
  "Sama-sama," jawabnya. "Semoga di lain kesempatan kita bisa bertemu kembali dan membahas mengenai bisnis." Ia kembali tersenyum kepadaku dengan ramah.
  "Aku pergi dulu dan silakan menikmati hidanganmu," ujarku dengan kedipan sebelah mata. Aku segera bangkit dari tempat dudukku, tak lupa menghabiskan sisa minumanku dan meletakkan kembali gelas kosong di atas meja. Aku segera berjalan menuju ke pintu keluar restoran dan langsung menuju hotel yang tempatnya tidak jauh dari restoran yang baru saja aku kunjungi. Di ujung jalan aku dapat melihat pintu masuk hotel tempatku menginap yang saat itu terlihat ramai dengan para wisatawan yang sepertinya baru saja tiba. Ketika aku telah sampai di depan pintu masuk hotel, seorang petugas hotel dengan cekatan membukakan pintu untukku. Aku segera masuk ke dalam hotel dengan menganggukkan kepala sebagai ucapan terima kasih kepada petugas yang sedang berjaga di pintu masuk hotel.
  Di lobi hotel tempatku menginap terlihat para wisatawan yang berlalu-lalang dan sebagian lagi sedang duduk bersantai sambil membaca koran serta menikmati hidangan kecil. Aku segera berjalan menuju ke sebuah lift yang berada di tengah ruangan, menekan tombolnya lalu masuk ke dalamnya setelah pintu terbuka. Aku segera menekan angka delepan tempat di mana kamarku berada. Lift segera berjalan ke atas dengan hening menuju ke lantai delapan. Setelah sampai di lantai delapan, pintu lift secara otomatis terbuka dan aku segera berjalan menuju ke kamarku yang berada tepat di ujung lorong. Aku segera membuka kunci pintu kamarku dengan menggesekkan kartu dan masuk ke dalamnya. Di dalam kamar hotel yang tidak terlalu luas ini, aku segera duduk di sebuah kursi santai yang berada di samping jendela kamar. Aku segera membuka tirai jendela supaya dapat melihat pemandangan yang ada di luar. Dari dalam kamarku yang berada di lantai delapan, aku dapat melihat dengan jelas birunya air laut yang berpadu dengan hamparan pasir berwarna coklat terlihat begitu indah dengan kontras warna yang saling melengkapi. Keindahan bentang alam yang terbentang di bawah sana seolah sirna dengan kabut yang tengah meliputi pikiranku. Semakin aku merenungi cerita yang disampaikan oleh seorang pebisnis arab yang baru saja tiba dari Tunisia, aku semakin merasa gelisah bahwa sesuatu yang buruk tidak lama lagi akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H