Pelan tapi pasti kelima bandara baru yang baru saja dibuka untuk umum mulai mengalami masalah yang hampir sama. Mulai dari sepi serta tidak adanya penumpang, tidak adanya maskapai penerbangan yang beroperasi, serta membengkaknya biaya operasional bandara setiap bulannya. Fenomena yang terjadi saat ini akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan "Apa penyebab banyaknya bandara hantu di Pulau Jawa?"
Pertama, letak dari bandara baru ini bisa dibilang kurang strategis dan akses untuk menjangkaunya juga terbilang sulit. Kita bisa ambil contoh Bandara Kertajati di Majalengka yang biaya investasinya menelan dana hingga 2,6 triliun rupiah. Dan saat ini Bandara Kertajati hanya digunakan sebagai Maintanance Repair Overhaul (MRO) pesawat. Kenapa bisa terjadi seperti ini? Karena Bandara Kertajati tidak memiliki akses jalan bagi para calon penumpang pesawat.
Saat ini akses jalan menuju ke Bandara Kertajati masih dalam proses pembangunan, yakni jalur tol Cisumdawu. Harapannya Bandara Kertajati bisa beroperasi kembali manakala pembangunan tol Cisumdawu telah selesai dikerjakan.
Kedua, kurangnya daya tarik ekonomi atau tidak adanya potensi pariwisata. Pemerintah dalam membangun bandara baru seakan mengabaikan faktor pendukung agar bandara dapat beroperasi secara berkelanjutan. Namun kenyataannya, lokasi di mana bandara baru itu dibangun malah tidak memiliki daya tarik ekonomi maupun pariwisata yang dapat menarik para wisatawan untuk datang berkunjung.
Seperti Bandara Ngloram di Blora dan Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya yang mana di kedua wilayah tersebut belum memiliki daya tarik pariwisata. Ditambah lagi kedua daerah tersebut juga bukan pusat bisnis maupun ekonomi yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu untuk melakukan perjalanan.Â
Sedangkan masyarakat yang ada di kedua wilayah tersebut mayoritas berprofesi sebagai petani. Yang mana, agak sulit rasanya membayangkan mereka akan menggunakan pesawat terbang untuk pergi menuju ke daerah lain.
Ketiga, Feasibility Study (FS) yang mana dalam tahap ini pemerintah seperti tidak melakukan sebuah analisa yang matang dan mendalam dalam menilai kelayakan pada sebuah proyek yang akan dibangun.Â
Dalam banyak kasus bandara hantu di Pulau Jawa, dapat dengan mudah terlihat jika semua pembangunan bandara baru tersebut belum melalui Feasibility Study yang matang dan mendalam.
Seperti contoh Bandara JB Soedirman di Purbalingga yang mati suri akibat tidak ada calon penumpang dan maskapai yang beroperasi di sana. Semua ini terjadi karena Bandara JB Soedirman diapit oleh dua bandara besar yang lebih menguntungkan dan memiliki rute gemuk setiap harinya.
Dua bandara besar itu adalah Bandara Ahmad Yani di Semarang dan Bandara Adi Soemarmo di Solo. Sedangkan Bandara JB Soedirman lokasinya berada di tengah kedua wilayah tersebut serta jarak dari kedua bandara besar tadi tidak sampai 200 km.Â
Dari sini bisa dipastikan jika masyarakat akan lebih memilih bandara yang ada di Kota Solo maupun Semarang untuk melakukan perjalan udara daripada menggunakan Bandara JB Soedirman di Purbalingga.