Pada dasarnya, pendidikan diselenggarakan untuk tujuan yang mulia. Mungkin salah satu yang terbaik diantara tujuan-tujuan tersebut adalah seperti apa yang telah dikemukakan oleh Tan Malaka, seorang Pahlawan Indonesia yang berjuluk sebagai Bapak Republik, ;
"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan."
Dengan gamblang, Tan Malaka menyebutkan tiga hal yang jadi tujuan dalam diadakannya pendidikan. Secara substansial, memang ini kata-kata Tan Malaka ini yang seharusnya terimplementasi dalam pola pikir masyarakat yang dibangun dan dikembangkan oleh para stack holder atau para pemegang keputusan-keputusan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kenapa memakai kata "seharusnya"?
Karena memang pada nyatanya, terutama setelah dengan melihat secara cermat fenomena sosial dalam masyarakat pada zaman sekarang, pergeseran pola pikir atau mindset yang terjadi di masyarakat semakin nampak. Mindset atau pola pikir apa yang dimaksud?
Yakni, tujuan dari pendidikan itu sendiri. Lebih tepatnya mindset yang salah yang mulai menyebar ke dalam pola pikir masyarakat zaman sekarang.
Pendidikan yang seharusnya punya tujuan pada apa yang telah disebutkan oleh Tan Malaka berubah menjadi alat untuk mencari kepuasan-kepuasan secara materialistik. Pemikiran bahwa sekolah atau kuliah untuk kerja atau suara-suara seperti "kalau ambil jurusan ini saat kuliah, nanti mau kerja apa?" ,seakan sudah sering kita dengar. Dan justru, pemikiran-pemikiran seperti inilah yang berbahaya.
Tentu saja, mempunyai target berupa suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara ekonomi memanglah hal yang dibutuhkan. Akan tetapi, pada beberapa keadaan tertentu, hal ini menjadi semakin berakar secara berlebihan dalam pola pikir masyarakat. Inilah yang harus dihindari.
Dengan pola pikir seperti itu, tujuan pendidikan yang awalnya dan seharusnya menjadi suatu kemulian, kini pelan-pelan berubah ke arah dimana pendidikan itu sendiri selalu diidentikkan dengan pekerjaan atau penghasilan.Â
Pendidikan yang seharusnya tempat dan dunia dimana ilmu, wawasan, pengetahuan, ide dan banyak gagasan baru dibentuk, lama kelamaan menjadi sebuah 'arena pelombaan' dimana yang menjadi incaran utama dalam benak masyarakat adalah tentang mencari uang atau harta benda lainnya. Memperkaya diri menjadi tujuan.Â
Kemudian, kemuliaan ilmu itu sendiri perlahan mulai tak lagi diperhatikan dan berakhir hanya sampai pada kepala, tak meresap ke dalam hati atau jiwa. Atupun tak jarang juga, hanya dipergunakan dan berakhir untuk debat kusir, untuk membuktikan pihak mana yang lebih pintar atau benar. Sekali lagi, bukannya tidak penting, tapi hal-hal semacam ini jika dilakukan secara berlebihan akan sangat membahayakan.
Maka dalam hal ini, dibutuhkan suatu keseimbangan cara berpikir masyarakat dalam menempuh pendidikan. Agar ilmu itu sendiri bisa tetap dipandang sebagai sebuah kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia. Kita memerlukan suatu keseimbangan dalam cara berpikir yang harus mulai ditanam, diajarkan lalu dikembangkan pada masyarakat di berbagai dimensinya. Bukan melulu yang hasilnya adalah untuk mencari pekerjaan, uang, penghasilan atau apapun itu yang secara materialistik dapat berlebihan.Â