Perjalanan, darat, laut, udara, tentu saja mempunyai sensasi yang berbeda. Saya pribadi lebih menyukai perjalanan darat yang panjang, atau sering disebut road trip. Bagi saya, perasaan yang muncul saat road trip adalah sesuatu yang magis, yang tidak saya dapatkan ketika saya menempuh perjalanan laut atau udara. Saya dapat bebas mengeksplorasi apa yang ada disekitar saya di sepanjang perjalanan.
Flores, adalah salah satu tempat yang berada di urutan tertinggi pada bucket list saya. Dan akhirnya, setelah mengidam-idamkannya selama bertahun-tahun, saya diberi kesempatan untuk bertandang ke sepotong surga di timur Indonesia ini.
Juli 2016, saya melakukan perjalanan darat menyusuri Flores, dari Ende menuju Labuan Bajo. Beberapa tempat yang tak saya rencanakan justru menjadi bagian paling menarik dari road trip kali ini. Di antaranya adalah Desa Wologai. Desa yang saya sambangi di sepanjang jalan transflores sepulang dari desa Moni, Kelimutu. Desa adat Wologai terletak di timur kota Ende, tepatnya di kecamatan Detusoko.
Sebenarnya, tujuan saya dan tiga orang kawan hanya ingin menemui kepala sekolah SD Wologai untuk menyerahkan titipan alat tulis dan beberapa buku dari teman-teman di Jakarta. Namun tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke kompleks perkampungan adat. Saya diantar Om Jo dan bapak pengurus SD Wologai menemui kepala suku di perkampungan adat.Â
Menuju kompleks, saya menemui beberapa orang mama dan anak gadis memikul sebuah wadah anyaman besar di kepala mereka. Wanita-wanita ini terlihat sangat manis mengenakan kain tenun khas Flores di tubuhnya. Bapak pengurus SD bercerita, mama-mama sedang menyiapkan pesta pernikahan untuk besok. Pantas saja, tak terlihat anak SD berkeliaran karena sekolah diliburkan menjelang pesta. Perayaan pernikahan Flores, sesuatu yang ingin saya saksikan secara langsung, sayangnya saya harus berangkat ke Ruteng malam harinya.
Terdapat 24 rumah adat di Desa Wologai, yang saya perhatikan rumah-rumah ini terbuat dari kayu dan memiliki atap kerucut yang terbuat dari alang-alang kering. Rumah-rumah ini dibuat mengelilingi Tubu Kanga, tempat ritual adat dilaksanakan. Ritual adat biasanya dilakukan saat musim panen dan pernikahan.Â
Adat istiadat tidak memaksa orang Wologai untuk berdiam diri di kampung, dengan syarat mereka harus kembali ke kampung ataupun mengabdi dalam bentuk lain. Ternyata orang Wologai tak sekaku yang saya kira. Mereka berprinsip untuk memegang adat istiadat dimanapun mereka berada, namun tetap terbuka dengan duni luar.
Papa Aloy mempersilakan saya masuk ke rumahnya, dan mulai bercerita mengenai filosofi bangunan adat Wologai. Papa Aloy menunjukkan ukiran-ukiran dengan lambang wanita, atau di Flores disebut "Mama" di rumah bagian depan. Tak hanya rumah Papa Aloy, dia bilang hampir semua rumah memiliki ukiran dengan lambang "Mama". Sepanjang percakapan, tak henti-hentinya Papa Aloy memuji kaum "Mama" dan membanggakan istrinya. Luar biasa sekali bapak ini.
Â
Wologai, Detusoko, Juli 2016.
---
Tulisan ini dimuat dalam blog pribadi Astri Maya Blog .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H