Mohon tunggu...
Achi Hartoyo
Achi Hartoyo Mohon Tunggu... Editor - https://achihartoyo.com/

https://achihartoyo.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tak Apa Mahzab Pecel Beda, tapi Jangan Abaikan Soal Cita Rasa

22 Februari 2022   10:55 Diperbarui: 23 Februari 2022   01:25 2032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu pecel yang cukup autentik di Jakarta. Harganya cuma sepuluh ribu rupiah. Rasanya enak dan pas (Dokpri)

Sebagai orang yang lahir dari bayi ceprot sampai mengenyam pendidikan SMA di Provinsi Jawa Timur, makan nasi pecel atau orang lokal menyebutnya sega pecel adalah hal yang sangat lumrah. Saat masih kecil, saya biasa makan nasi pecel buat sarapan atau saat makan siang.

Sebelumnya, mari kita sepakati dulu pecel yang saya maksud ini adalah pecel sayur. Bukan pecel lele, pecel wader, atau pecel ayam.

Di kampung halaman saya dulu, Ngawi, ada beberapa penjual nasi pecel yang saat itu (tahun 90an) menjadi langganan saya sekeluarga untuk sarapan. Ada nasi pecel Mak Lami, pecel Yu Kam, pecel Mbah Demes, pecel Mbah Bungkuk, dan lain-lain. Semua pecel yang dijual rasanya enak dan pas di lidah.

Entah bagaimana nasibnya warung pecel langganan keluarga saya tersebut sekarang. Maklum, sejak lulus SMA saya sudah hijrah dan menetap di Ibu Kota Jakarta hingga sekarang.

Kadang, untuk mengobati rasa kangen sarapan sega pecel, saya sering keliling di sekitar Jakarta. Sekadar mencari warung nasi pecel yang memiliki rasa autentik dan tentunya cocok dengan lidah saya.

Dari sekian jumlah warung nasi pecel yang pernah saya singgahi, hanya ada beberapa yang approved sama lidah saya. Mulai dari pecel keliling yang dijajakan ibu-ibu pakai sepeda, sampai pecel warung tenda di kawasan elit yang buka di emperan ruko saat malam hari. Pernah juga nyicipin pecel mewah versi mall.

Ya, kebanyakan nasi pecel yang dijual di Jakarta itu pecel "KTP". Alias ngakunya pecel tapi bentukannya banyak yang melenceng jauh dari pakem perpecelan. Mulai dari yang bumbunya diblender sampai nggak bisa dibedakan, ini jus atau bubur kacang tanah, sampai bumbu pecel yang pakai micin. Semua ada.

Selain sangat barbar dan terkesan iseng, komposisi sayurnya pun hanya sekadar nampang. Nggak serius. Hanya syarat biar dianggap sebagai pecel sayur. Benar-benar sebuah penistaan terhadap pecel. Saya yakin founding fathers pecel bakalan nangis melihat tampilan pecel yang dijual di Jakarta ini.

Sebagai salah satu penikmat cita rasa pecel yang autentik, saya punya standar pecel "RP" yang approved sama lidah. Btw, "RP" yang saya maksud adalah "Received Pecel", bukan "Received Pronunciation" alias standar aksen British, ya.

Mazhab pecel ini pastinya beda-beda tiap orang. Jangankan mazhab pecel pribadi. Tiap daerah aja punya mazhab pecelnya sendiri-sendiri. Meskipun punya mazhab sendiri-sendiri, setidaknya, mbok ya jangan melenceng jauh-jauh dari pakem pecel sayur.

Misalnya nih, pecel madiun yang kepopulerannya sudah dikenal seantero nusantara. Pecel madiun ini pasti punya ingredients alias komposisi standar minimal. Sayurnya lengkap. Mulai dari sayur toge pendek, sampai kondimen yang berupa rempeyek kacang tanah atau teri. Lauk pelengkapnya bisa empal atau sate telur puyuh.

Itu baru soal komposisi. Belum lagi soal kondimen yang membuat rasa pecel semakin nikmat. Tiap daerah pasti beda. Dari kelas rakyat jelata seperti rempeyek, bakwan, tempe kemul, tempe mendoan, sampai kelas borjuis seperti sate-satean, ayam, empal, dan iga bakar. Semua beda, tergantung isi dompet.

Pecel autentik itu menurut versi saya harus punya standar minimal. Pertama, sayur ijo-ijo-nya harus banyak. Boleh pakai daun bayam, daun singkong, daun pepaya, daun kenikir, kacang panjang, kangkung, daun kecipir, daun semanggi, dan daun-daun ijo lainnya.

Semakin banyak daun ijo-nya, menurut saya rasanya semakin nikmat dan autentik. Yang kedua, harus ada capar atau tauge pendek. Selanjutnya, bumbu pecel wajib digiling dan dicairkan dengan air panas saat disajikan. Bumbu pecel seperti ini harus berbentuk blok siap saji.

Bumbu pecel autentik haram hukumnya diblender. Saya nggak suka wujud bumbu pecel yang malah lebih mirip jus atau bubur kacang tanah. Ewww ... sumpah. Saya beberapa kali nemu sambal pecel jenis ini. Rasanya sangat jauh dari pakem bumbu pecel autentik.

Yang bikin saya makin enek, ada bumbu pecel yang menggunakan micin. RIP bumbu pecel pakai micin. Kalian pasti tidak akan dianggap sebagai anggota keluarga besar bumbu pecel. Nama kalian pasti dicoret dari KK.

Fyi, kenapa saya bilang bumbu pecel tidak boleh menggunakan micin?

Sebagai orang yang pernah menjadi koki di sebuah restoran saat kuliah dulu, kita diberitahu dasar-dasar bumbu pecel ini. Rasa kacang tanah ini sudah gurih. Jika ditambahkan micin, cita rasa gurihnya bakal saling bertubrukan. Kombinasi ini sungguh meresahkan.

Intinya, segala jenis masakan yang menggunakan bumbu dasar kacang tanah, haram hukumnya dicampur micin. Nggak cuma pecel tapi juga berlaku untuk gado-gado, lotek, dan masakan sejenis. Pokoknya, hindari perkawinan gurih sedarah antara micin dengan bumbu kacang tanah. Kalau mau dipaksakan ya tanggung sendiri akibatnya. Rasanya pasti jadi aneh. Balik lagi, ini menurut versi mazhab saya pribadi yang saya anut dan yakini hingga sekarang.

Tambahan lagi soal pecel versi "RP" alias "Received Pecel". Pecel yang autentik di lidah saya tuh setidaknya disajikan pakai lembaran daun pisang. Kalau mau lebih 'wow' lagi bisa di-platting dalam pincuk daun jati. Plus diberi siraman sambal tumpang. Aduh! Ini rasanya udah pasti approved sama lidah saya.

Dari sekian jenis pecel yang pernah saya cicipi, pecel di Jakarta itu emang rasanya yang paling melenceng jauh dari pakem-pakem syariat pecel standar minimal. Saya pernah nemu pecel yang komposisi sayurnya minim warna ijo. Komposisi sayurnya sangat pucat. Hanya terdiri dari irisan wortel, kol putih, sawi putih, tauge, dan sejimpit kacang panjang.

Salah satu pecel yang cukup terkenal di Jaksel, tapi menurut saya rasanya
Salah satu pecel yang cukup terkenal di Jaksel, tapi menurut saya rasanya "B" aja. Menang nama.

Sungguh penampilan pecel seperti ini sangat mengganggu dan meresahkan penglihatan saya. Sayur ijo-nya yang cuma kacang panjang hanya sebagai syarat biar dianggap sebagai pecel.

Di lain waktu, saya dan seorang teman dari Jawa Timur pernah hunting pecel di sebuah mall di Jakarta Selatan. Ya, karena waktu itu lagi 'ngidam' pecel, jadilah kita melipir ke food court-nya di lantai paling atas.

Saat pecelnya keluar, kami kaget setengah mati. Tampilannya sangat barbar. Nasinya digiling rata mirip roti tortilla. Di atasnya dikasih sayur ala kadarnya dengan bumbu pecel yang rasanya hambar. Pedas enggak, asin enggak, plus ras gurihnya campur sama micin. Di atasnya dikasih topping telur dadar yang rasanya asin.

Jika dilihat seklilas tampilan pecel ini terlihat sedikit fancy. Ya, maklum. Pecel di dalam mall. Tapi pas dicicipi saya nyerah. Ini pecel "KTP" paling murtad yang pernah saya makan. Ngakunya pecel tapi tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana semestinya pecel. Satu porsi harganya sekitar 38ribu. RIP dompet untuk pecel 'murtad' ini.

Sejujurnya, banyak juga pecel yang menyalahi "kodrat" menurut saya. Tapi kadang, soal rasa masih autentik dan approved sama lidah saya. Di beberapa daerah seperti Solo, saya pernah nemu bubur pecel. Awalnya agak ragu karena saya hanya terbiasa makan pecel dengan nasi atau lontong. Tidak dengan bubur.

Bubur pecel dengan topping sayur di Kota Solo. Meski agak melenceng dari pakem tapi cita rasanya joss.
Bubur pecel dengan topping sayur di Kota Solo. Meski agak melenceng dari pakem tapi cita rasanya joss.

Pas nyoba sekali saya malah jadi ketagihan. Sungguh cita rasanya tidak jauh melenceng dari pakem pecel asli. Emang sih, rerata pecel di daerah Jawa itu tidak pernah salah rasa. Ya, maklum. Pecel sayur ini memang kampung halamannya berasal dari Jawa. Udah gitu, kondimennya juga lumayan mewah. Ada sayur koyor pedas dan dikasih topping taburan petai cina alias mlanding yang sekilas mirip edamame.

Beda rasa jika pecel sayur sudah hijrah ke ibu kota dan mengikuti pergaulan pecel di Jakarta. Banyak pecel sayur di ibu kota jadi salah pergaulan. Demi tampil cantik untuk feed media sosial, komposisi dan tampilan pecel ini disesuaikan dengan kaidah fotografi. Soal rasa. Wis, embuh! Nomor sekian.

Soal pecel sayur ini, salah satu teman saya yang asli Betawi dan sudah bertahun-tahun hijrah di Jawa Timur pernah ngasih pendapat. Jangan pernah memaksakan mazhab perpecelan duniawi ke penjualnya. Masing-masing penjual menganut mazhab dan keyakinnanya sendiri.

Iya sih, saya maklum kalau soal itu. Tapi mbok ya kalau punya mazhab pribadi jangan melenceng jauh-jauh dari syariat pecel aslinya. Utamakan cita rasa biar nggak dianggap pecel "KTP", "pecel murtad", atau "pecel mualaf" yang baru belajar soal cita rasa pecel.

Salam dari penikmat pecel sayur!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun