tasiun Tulungagung tepat pukul 02.15 dini hari, akan menjadi tempat pemberhentian saya menuju Tulungagung, salah satu kota di Jawa Timur tersebut. Selama lima hari saya akan mengenal lebih dekat dengan kota kecil ini yang memiliki julukan "Kota Marmer" ini.
Apakah perjalanan kali ini saya akan menemukan banyak keajaiban?
Pastinya demikian. Banyak pertanyaan di kepala saya tentang budaya, sejarah, dan denyut nadi ekonominya. Perjalanan singkat penuh makna ini saya rekam melalui kata-kata. Saya berenam dengan teman-teman dari Jakarta, memutuskan cepat-cepat naik kereta api meninggalkan kebisingan kota untuk "pulang" dan rehat sejenak di Tulungagung.
***
Hari kedua  di Tulungagung, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pasar Ngemplak. Pasar gede yang menjadi pusat jujukan warga Tulungagung ini memang lumayan besar. Baik dari skala ukuran bangunan, maupun jumlah pengunjung yang berlalu-lalang di sana. Semua kebutuhan sehari-hari tersedia lengkap. Mulai dari sayur mayur, sandangan (pakaian), sembako, hingga printilan alat rumah tangga semua ada.
Senang sekali rasanya bisa belanja di pasar tradisional seperti ini. Satu hal yang saya rindukan setelah hijrah ke ibu kota. Maklum, selama puluhan tahun tinggal di Jakarta, boleh dibilang baru satu atau dua kali saya menginjakkan kaki dan belanja di pasar tradisional.
Bukan tanpa sebab saya malas ke pasar tradisional di Jakarta. Selain macet dan menghabiskan waktu, saya ini nggak jago tawar menawar. Saya lebih suka belanja barang yang harganya sudah ada. Nggak perlu adu otot untuk menawar barang yang selisih seribu rupiah. Solusi yang paling praktis, ya, belanja daring.
Lain cerita kalau berkunjung ke pasar tradisional di daerah. Saya suka mblusuk ke pasar tradisional sekadar bernostalgia saat masa kecil tinggal di Ngawi. Melihat denyut nadi ekonomi rakyat berputar langsung di depan mata. Merasakan kembali bagaimana almarhum simbah saya dulu berjualan di pasar sebagai pelaku UMKM.
Maklum, rumah saya dulu berada persis di depan pasar besar. Almarhum Bapak saya juga pelaku UMKM yang memproduksi segala jenis kue dan roti. Andai Bapak masih ada, mungkin saya akan disuruh melanjutkan usaha keluarga ini.
Ekonomi tetap Berputar dari Pasar Tradisional
Pasar Ngemplak Tulungagung ini selain mengingatkan banyak hal, juga memberikan saya insight baru tentang bagaimana roda ekonomi rakyat berputar. Bagaimana pelaku UMKM berjuang di masa pandemi agar barang dagangan mereka laku dijual. Selain mengandalkan konsumen lokal, tentu mereka juga harus membuka keran baru dari seluruh pelosok negeri.
Caranya?
Saya sempat berbincang-bincang dengan pedagang lokal di Pasar Ngemplak. Banyak dari mereka yang akhirnya mulai sadar bahwa pasar telah berubah ke arah digital. Poin yang saya suka, mereka tidak menutup diri dengan perubahan zaman. Di tengah terpuruknya ekonomi saat pandemi, mereka mulai memanfaatkan pasar daring.
Ya, meski rerata pedagang pasar tradisional sudah sepuh dan tidak begitu paham dengan dunia digital, mereka dibantu oleh anak-cucu untuk memasarkan dagangannya secara daring. Salah satu pedagang gerabah yang sempat saya temui bercerita bahwa usaha mereka dibantu anaknya untuk berjualan di lokapasar (marketplace).
Untuk pasokan bahan baku sejauh ini mereka tidak ada masalah. Pun untuk distribusi barang ke pelanggan. Mereka hampir tidak menemui kesulitan yang berarti. Andalan mereka cuma satu. Jasa ekspedisi tepercaya seperti JNE yang sudah merambah ke seluruh pelosok negeri.
Bukan tanpa alasan mereka mencari jasa ekspedisi yang bisa diandalkan setiap saat. Ini semata-mata untuk menjaga kepercayaan pelanggan. Mereka sadar bahwa tidak ada transaksi besar tanpa adanya kepercayaan pelanggan yang belum pernah bertatap muka secara langsung layaknya belanja di pasar tradisional.
Transaksi daring mengandalkan sepenuhnya pada jasa ekspedisi. Mencari dan menemukan jasa ekspedisi memang banyak. Tapi yang tepercaya dan bisa diandalkan setiap saat seperti JNE bisa dihitung jari.
Dari pasar tradisional ke pasar daring inilah roda ekonomi rakyat tetap berpurtar. Tanpa jeda, tanpa sekat menembus pasar di penjuru negeri.
Distribusi Batik Tulungagung Merambah Negeri
Pagi itu, langit Tulungagung tampak pucat. Sinar matahari belum terlalu tinggi. Sayang, ia tak mampu menerobos tebalnya awan yang menggelayut di angkasa. Wah, sebentar lagi pasti hujan, nih. Ucap saya dalam hati. Dan benar saja. Begitu masuk mobil untuk melanjutkan perjalanan, hujan deras mengguyur Kota Tulungagung.
Sepagi itu saya bersama teman-teman ingin mengeksplorasi salah satu sentra batik yang cukup terkenal di Tulungagung, yakni Griya Batik Gayatri. Dari namanya kita sudah bisa menebak bahwa sang empu perbatikan ini sangat mengagumi sosok Gayatri.
Tak bisa dimungkiri bahwa jejak-jejak Gayatri Rajapatni---sosok perempuan visioner di balik kejayaan Majapahit---ini begitu melekat di Kota Tulungagung. Salah satu peninggalannya adalah Candi Sanggrahan. Lokasi ini menjadi salah satu tempat singgah (pesanggrahan) rombongan pembawa jenazah mendiang Gayatri.
Konon, dari sana abu jenazah Gayatri akan didharmakan di Candi Gayatri yang letaknya tak jauh dari Candi Sanggrahan. Dari sinilah sosok Gayatri menjadi nama sekaligus ikon Griya Batik Gayatri berasal.
Di sentra batik ini saya belajar banyak hal. Tidak hanya tau bagaimana selembar kain batik diproduksi tapi juga teknik pemasarannya agar terus eksis di kancah negeri. Selain mengandalkan turis lokal yang datang berkunjung, Griya Batik Gayatri juga memasarkan produksinya via daring.
Pemasaran secara daring ini menjadi jawaban agar batik karya anak bangsa tetap lestari. Untuk distribusi, lagi-lagi tidak ada kendala yang berarti. Griya Batik Gayatri selalu mengandalkan jasa ekspedisi terpercaya agar distribusi produknya datang tepat waktu di tangan pembeli.
Beruntungnya, ada JNE yang selalu bisa diandalkan setiap saat. Berkat pengalamannya selama 31 tahun di dunia ekspedisi, JNE hadir memenuhi kebutuhan konsumen. Pelaku UMKM seperti Griya Batik Gayatri tak perlu waswas distribusi produknya terkendala jasa logistik. Bisa dipastikan setiap barang yang dikirim datang tepat waktu.
Dengan begitu, roda ekonomi UMKM seperti Griya Batik Gayatri tidak akan berhenti hanya karena pandemi. Masih ada seribu solusi untuk menjangkau pelanggan di seluruh Nusantara.
Kedai Teh Mbah Djie Layani Pelanggan Daring
UMKM di Tulungagung bukan sekadar sentra batik maupun pasar tradisional. Ada banyak UMKM yang dikelola dengan kreatif oleh anak muda di sana. Mulai dari warung kopi tradisional, hingga kafe-kafe gaul modern yang menjadi andalan anak muda Tulungagung bersosialisasi.
Salah satunya adalah Kedai Teh Tubruk Mbah Djie. Sebagai penggemar minuman teh, saya sangat takjub dengan cita rasa Teh Tubruk Mbah Djie ini. Kebetulan saya berkesempatan mencicipi teh lokal ini saat mengikuti kelas batik di Griya Batik Gayatri. Enak dan nikmat diseruput saat hujan.
Teh Tubruk Mbah Djie ini dikemas dan dipasarkan secara premium melalui lokapasar daring. Sumber tehnya berasal dari kebun teh lokal di Tulungagung. Secara garis besar, ada dua jenis teh lokal Tulungagung, yakni Assamica dan Camelia Sinesis. Assamica memiliki ciri daun yang lebih lebar dan berwarna hijau muda. Daunnya sendiri tidak terlalu tebal. Sebaliknya, Camelia Sinesis berdaun tebal, warnanya lebih tua, dan ujung daunnya lebih runcing.
Saya sempat berbincang-bincang dengan pemiliknya, Mas  Ketut Sunyoto. Beliau mengatakan kalau selama ini lebih banyak menjual produknya melalui pemasaran daring. Menurutnya, pasar daring memiliki peluang yang lebih luas dan bisa menjangkau siapa saja di seluruh pelosok negeri.
Untuk menjangkau semua pelanggannya, Mas Ketut sangat mengandalkan jasa ekspedisi tepercaya seperti JNE. Dengan begini, kepercayaan yang dibangun dengan pelanggannya semakin kuat terikat.
JNE Hadir sebagai Solusi Distribusi Komoditas UMKM
Sebagai salah satu tulang punggung sekaligus penggerak roda ekonomi negeri, UMKM tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk jalur distribusinya. Sudah sejak zaman dulu Nusantara dikenal menjadi bagian jalur sutra yang menghubungkan perdagangan dari Timur ke Barat.
Wilayah Nusantara yang berada di jalur strategis ini, tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaan UMKM yang dianggap sebagai tulang punggung perekonomian juga tak bisa dipisahkan dari jalur distribusinya yang membentang di jalur sutra. Karenanya, harus ada tangan-tangan kreatif yang bekerja keras agar distribusi komoditas UMKM berjalan lancar.
Kehadiran jasa ekspedisi yang tepercaya seperti JNE, menjadi jembatan bagi UMKM dengan pelanggannya yang berada di seluruh pelosok tanah air. Selama 31 tahun pula JNE turut memutar roda perekonomian UMKM. Dari sana semua pasokan kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi dengan baik.
Memang harus diakui, dibandingkan dengan jasa ekspedisi sejenis, JNE ini memiliki beragam keunggulan. Beberapa di antaranya adalah jaringannya sudah tersebar luas di seluruh Indonesia. Bahkan merambah hingga ke luar negeri.Â
Selain itu, tarif yang ditawarkannya juga tidak mahal untuk beberapa jenis layanan. UMKM dan pelanggannya tak harus pusing memikirkan biaya pengiriman yang tak wajar. JNE selama ini selalu menawarkan solusi  menguntungkan untuk semua pihak
Tentunya, ini menjadi solusi utama jika UMKM berkembang menjangkau pasar di seluruh pelosok tanah air. UMKM yang ingin mengirimkan barang bisa dengan mudah menemukan jaringan JNE. Bahkan di kota-kota kecil seperti Tulungagung sekalipun.
Dari sisi pelanggan UMKM juga diuntungkan. Jika ada kendala pengiriman mereka bisa dengan mudah melacak dan mengajukan komplain melalui aplikasi maupun website resmi JNE. Kelebihan ini menjadi jawaban jika ada kekacauan teknis pengiriman. Keduanya saling diuntungkan dengan kehadiran JNE. Simbiosis mutualisme.
Namun, tak ada gading yang tak retak. JNE yang sudah puluhan tahun beroperasi tentunya masih ada kekurangan minor dalam pelayanannya.Â
Misalnya, saking banyaknya outlet JNE yang tersebar di suatu daerah, pasti akan sangat membingungkan jika pelanggan ingin mengambil paketnya secara langsung. Ini bisa menjadi kelebihan sekaligus kekurangan untuk JNE. Jangan sampai terjadi 'inflasi outlet' dan akhirnya saling rebut konsumen dengan cara yang tidak sehat.
Tapi, di balik kekurangan minor tersebut, saya yakin JNE akan terus berbenah. Sebagai perusahaan jasa ekspedisi tepercaya, JNE pastinya akan mendengarkan setiap keluhan konsumen.Â
Ini dibuktikan dengan setumpuk cinta selama 31 tahun jatuh bangun di dunia jasa ekspedisi. Seperti tagline-nya Connecting Happines. Persembahan terbesar JNE untuk mitra-mitranya, khususnya UMKM di Indonesia agar terus tumbuh dan maju bersama JNE.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H