Pemerintah Mughal secara Administratif dan struktural terdiri dari kekuasaan pusat, propinsi (subah), kabupaten (sarkar), dan kecamatan (perganah). Kekuasaan pusat adalah kekuasaan yang dipegang secara mutlak oleh seorang raja yang biasa disebut dengan Padsyah. Padsyah merupakan penguasa mutlak dalam dinasti Mughal di India. Padsyah berasal dari Bahasa Persia yaitu, “Pad” berarti kekuasaan mutlak. Dengan demikian, padsyah adalah seorang penguasa mutlak yang tidak bisa digantikan oleh siapapun selama dia hidup. Dinasti Mughal memiliki system kekuasaan pusat yang dikendalikan oleh seorang Raja yang Pusatnya berada di Delhi. Undang-undang atau peraturan yang ditegakkan oleh para raja memang bergam menurut keinginan raja. Babur dan Humayun misalnya, memerintah menurut undang-undang Islam.
Sementara itu, Sultan Akbar menciptakan din-illahi. Sedangkan Jahangir, Syah jehan, Aurangzeb Alamgir memerintah menurut undang-undang Islam. Meskipun demikian, keanekaragaman undang-undang yang diberlakukan tidak berarti bahwa kekuasaan raja menjadi berkurang. Pemberlakukan yang lain yakni dibentuk lembaga-lembaga dan ada penanggung jawab msaing-masing yaitu, gubernur yang dibantu oleh wakil gubernur, Pembagi gaji tentara dan pegawai, kepala tentara, kepala polisi, jaksa, pejabat agama, bendahara, pengumpul pajak, pemeriksa atau muhtasibamil, dan juru tulis peristiwa atau berita, pengadilan jaksa tinggi untuk daerah yang terdiri dari pengadilan jaksa daerah, pengadilan pejabat tinggi daerah dan pengadilan agama daerah. Pemberlakuan itu terbentuk dan berjalan sesuai dengan bidang nya masing-masing.
Berdasarkan struktur dan sistem administrasi yang diterapkan di dinasti Mughal diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwan pemerintahan telah ditata dengan cukup baik, hal ini merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan tentang administrasi telah berjalan di dinasti tersebut. Memang terdapat banyak pendapat yang menerangkan bahwa sistem pemerintahan yang digunakan atau dijalankan pada dinasti Mughal ini adalah kelanjutan dari periode Delhi yang lebih dahulu memerintah. Namun sudah barang tentu ada kebijakan pemerintah yang dikembangkan pada periode dinasti ini misalnya kebijakan raja Akbar yang terkenal dengan sebutan din illahi tentu sangat sarat akan pemikiran tentang pluralitas keberagamaan pada saat tersebut. Dari struktur dan sistem administrasi ini pula berkembang pengetahuan tentang kemiliteran dan politik. Militer dinasti Mughal terkenal solid dan sangat kuat dalam kata lain Pada zaman baru, kerajaan Mughal merupakan kerajaan militer kelas tinggi.
Dalam bidang bangunan dan arsitektur, ciri yang paling menonjol adalah pemakaian marmer yang timbul dengan kombinasi warna-warni. Peninggalan yang paling mengagumkan adalah tajmahal di Agra. Istana ini merupakan salah satu kejaiban dunia, di bangun oleh Shah Jehan khusus untuk tempat pemakaman permaisuri yang sangat dicintainya. Bangunan lain yang bermotif sama adalah Masjid Raya Delhi dan sebuah istana di Lahore. Dari kedua kemajuan ini dapat kita renungkan bersama, bahwa telah berkembang ilmu pengatahuan serta teknologi yang maju, hal ini dibuktikan dengan tingkat keindahanan arsitektur bangunan yang telah dikembangkan oleh dinasti Mughal ini.
Pada penghujung puncak kejayaan Dinasti Mughal yang telah berdiri selama setengah Abad lamanya, mulai lah mengalami kemerosotan dalam pemerintahan. Hal ini terjadi Ketika tampuk kekuasaan berada di bawah kepemimpinan Aurangzeb yang mana beberapa konflik sudah mulai tampak seperti, kekuasaan politik yang juga mulai merosot, suksesi kepemimpinan di pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh dibelahan Utara dan Islam di bagian Timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu para pedagang Inggris yang diijinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanisme nya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya. Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore, karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.
Puncaknya terjadi ketika persoalan perusahaan Ingris (EIC), sejak kepemimpinan Akbar II (1806-1837 M). Pada masa pemerintahannya Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan. Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut.
Pada waktu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak dan mereka diusir dari kota Delhi. Rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan Dinasti Mughal di daratan India dan tinggallah disana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
....
Semoga bermanfaat.