Di sebuah sore yang cerah, tiba-tiba Fagi Fakaubun merangkul saya. "Hei Dhuro, yo opo kabarmu. Nggak carok tak iye", demikian sapaannya mengawali percakapan. Ia mengajak saya berbincang layaknya kawan yang telah mengenal lama. Padahal itu persamuhan kami kali pertama. Entah dari siapa ia mengenal latar belakang saya yang pendatang baru di komisariat ekonomi.
Bajunya necis. Sepatunya sporty. Dibalut celana jeans biru, ia tampak trendi. Rambutnya klimis dengan semburan gel yang pekat membuat sisirannya tak bergeming diterpa angin.
Seluruh tampilan wadak nan memuda yang coba ia kesankan tak mampu menutupi latar belakangnya. Aksen bahasa Jawa-nya khas. Mata, rahang dan bentuk wajah juga menampilkan penilaian yang sama. Ia pastilah datang dari Indonesia bagian timur. Sejurus kemudian, barulah saya mendapat informasi bahwa pemuda ini adalah berasal dari Maluku.
Hari-hari berikutnya menjadi sejarah dalam hidup saya dan teman-teman aktivis di Universitas Brawijaya (UB) awal 2000-an. Bang Fagi (BF), demikian kami para juniornya menyapa, adalah kakak dan senior yang hatinya penuh dengan kehangatan dan kebaikan. Ia tidak pernah membuat jarak dengan adik-adiknya. Bahkan, saking dekatnya, tak jarang BF menjadi bahan ledekan kami yang usianya lebih muda. Urusan gaya busana, asmara hingga hal ikhwal ke-Ambon-an adalah amunisi "perundungan" kami atasnya. Dan ia tak pernah marah atas hal itu.
---
Perjalanan hidup BF sungguhlah tidak mudah. Ia adalah salah satu "korban" konflik antaragama di Maluku sekitar tahun 1999. Konflik yang sebagian besar berpusat di kota Ambon itu menurut data menewaskan ribuan orang hingga terciptanya perdamaian sekitar tahun 2002. Penduduk Ambon yang awalnya hidup damai tenteram terbelah diametral antara penganut Islam dan Kristen saat mencuat konflik kekerasan kala itu.
Salah satu yang terdampak kekerasan "atas nama" agama adalah para pelajar. Untuk menyelamatkan diri, Pemerintah Provinsi Maluku memberikan kesempatan dan membiayai mahasiswa yang berkuliah di kota Ambon untuk pindah kuliah. Beberapa perguruan tinggi negeri di Jawa dan Sulawesi menjadi destinasi. BFi akhirnya memutuskan berlabuh di Jurusan Manajemen FEB UB Malang.
Proses perpindahan ini tidak semulus yang diperkirakan. Banyak mata kuliahnya saat di Universitas Pattimura yang tidak diakui di UB. Dia terpaksa mengulang banyak mata kuliah yang sesungguhnya telah ditempuh. Kenyataan itu dihadapi BF dengan tabah. BF kerap bertutur, dia menemukan gairah baru saat hijrah ke Malang. Selain dapat keluar dari pusaran konflik yang menggiriskan hati, ia menemukan saudara dan sahabat baru di kota apel. Pelbagai aktivitas kemahasiswaan dia ikuti, di dalam dan luar kampus. Jejaring dengan dosen dan profesi lainnya ia bangun.
---
Kecintaannya kepada Malang ia buktikan dengan betahnya bermukim di sana. Saat lulus sebagai sarjana S1 tahun 2002, BF memilih tetap tinggal di Malang. Kecintaannya kepada dunia akademik dan pemberdayaan sosial kemasyarakatan menjadikan BF berkecimpung di area itu dalam periode waktu yang lumayan panjang. Mengikut dosen dan beberapa koleganya, ia terjun ke beberapa proyek sosial dan pemerintahan. Isu-isu sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat mewarnai hari-hari pasca lepas dari kampus.
Passion yang tinggi pada dunia akademik ia wujudkan dengan menempuh studi magister pada 2007. Masih di kampus almamaternya dahulu: Departemen Ilmu Manajemen UB. Saya yang juga kembali bersekolah S2 di Malang pada 2010 kembali intens berinteraksi dengan BF. Bermain futsal bersama, pergi ke warung kopi terdekat hingga membuat beberapa "kenakalan" kecil sering kami lakukan dengan BF. Dia masih sama seperti dulu, berlagak "bos besar" bagi kami adik-adiknya. Tatkala meriung bersamanya, tak akan pernah ada kesedihan, kekalutan ataupun kekhawatiran tentang hidup. Aura dan vibe tentang kebahagiaan saja yang dia senantiasa pancarkan.
Oh ya, masih tentang warna keriaan hidup ini, ada cerita yang masih membekas tentang BF. Semasa kuliah S1, BF sering mentraktir kami makan saat kiriman uang anak-anak kost seperti saya mulai menipis. Biasanya, setiap kali dia mendapat rezeki nomplok, dia akan kumpulkan kami adik-adiknya ini untuk sekadar makan agak berkelas (baca: enak dan agak mahal begitu). Bahkan BF pula yang membayari kami masuk ke diskotik yang tiket masuknya tak terjangkau mahasiswa kere macam saya dan beberapa kawan lain. Itupun setelah kami agak mengiba dan bercerita padanya, kayak apa sih dunia malam itu. Semacam penasaran saja apa yang berlaku di arena gemerlap itu. Di dalamnya, kami hanya melihat dan memperhatikan saja manusia-manusia yang sedang trance. Sebab hanya penasaran saja apa yang terjadi di dalamnya.
---