Mohon tunggu...
Achdiar Redy Setiawan
Achdiar Redy Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Long-life learner. Interested in cultural studies, art, pyschology and spirituality-religiosity. Book, music and basketball lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Ucapan Selamat dan Doa Copas

2 Juni 2022   07:13 Diperbarui: 2 Juni 2022   07:26 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SENTUHAN PRIBADI DAN UCAPAN SELAMAT & DOA COPAS*

**Achdiar Redy Setiawan

Tausiyah guru saya, Prof Dr Muhammad Syukri Salleh pada Pengajian Selasa Petang ISDEV (9/5) lalu sungguh relevan dengan apa yang melintas dalam pikiran saya beberapa tahun terakhir. 

Prof Syukri, demikian beliau karib disapa, menguraikan tentang hal kecil nan penting namun sering terlupakan dalam konteks hablum min an naas kiwari: sentuhan pribadi (personal touch). Sentuhan pribadi adalah sebentuk tindakan-tindakan sederhana yang melibatkan seluruh pikir, gerak, rasa dan jiwa seseorang untuk menyapa dan berhubungan dengan manusia lain yang berdimensi personal.

Bentuk sentuhan pribadi dapat berupa sentuhan fisikal dan sentuhan spiritual. Sentuhan fisikal dapat berupa jabatan tangan dan sapaan yang hangat ketika bersua, mengingat dan menyebut nama ketika bersitatap, memberi selamat secara personal tatkala ada kebahagiaan dan seterusnya. 

Adapun sentuhan spiritual lebih ke aspek rasa, seperti menunjukkan senyum dan wajah ramah kepada siapapun, empati tinggi, dan segala tindak tanduk yang menyamankan siapapun yang berada di dekatnya.

Sentuhan pribadi, lanjut Prof Syukri, perlu terus dipupuk untuk meneguhkan pertautan hati. Silaturahmi dan kerjasama yang kuat antar persona agak susah dicapai jika antar diri tidak saling tersentuh aspek personalnya. Hal ini disebakan adanya sentuhan pribadi yang bersifat unik dan khas setiap persona akan menyentuh sisi humanitas terdalam dari manusia yang dituju.

Peringatan sederhana terkait sentuhan pribadi ini menyembul atas fenomena yang kerap kali kita jumpai sehari-hari. Dalam hal komunikasi, di zaman yang orang sebut modern ini, hal-hal bersifat sentuhan pribadi ini kerap kali terabaikan. Era modernitas bercirikan utilitas teknologi informasi dan komunikasi yang serba mudah dan cepat. Kemudahan dan kecepatan ini kerap kali meninggalkan residu kurangnya aspek rasa dilibatkan. Aspek menjaga dan menyentuh rasa orang lain ini dianggap sepele oleh manusia-manusia modern.

Fenomena yang paling mengganjal dan menjadi kerisauan saya adalah tentang bagaimana kita berkomunikasi di media virtual. Media komunikasi di dunia maya sangat beragam. Media bertukar pesan seperti platform Whatsapp (WA) dan Telegram adalah salah satu aplikasi paling diminati. Berikutnya adalah media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook dan lainnya. Banyak sekali cara dan pilihan berkomunikasi di media virtual ini yang tidak mengindahkan sentuhan pribadi.

Salah satu yang paling sering saya amati adalah tentang bagaimana kita menyampaikan ucapan selamat atau tahniah dan doa kepada seseorang di momen hari tertentu. Seperti pernah saya tulis di akun media sosial sekitar lima tahun silam, banyak sekali ucapan selamat dan doa yang tidak disampaikan secara sungguh-sungguh bernuansa sentuhan personal. 

Di beberapa kesempatan, bahkan kalimat yang ditelurkan dari jemari pada gawai itu menyalin saja dari ucapan teman dan kolega lainnya (kalau yang begini sering saya baca di Grup WA dan kolom komentar media sosial).

Mungkin bagi sebagian besar orang, keresahan ini berlebihan, lewah dan klise. Di zaman instanisme era teknologi canggih ini, fenomena berucap selamat di dunia maya yang notabene media ramai, menjadi sangat mekanis dengan kebiasaan copy paste (copas). Celakanya, kejadian copas-copas begitu menjadi kebiasaan (yang seakan-akan) berterima umum. 

Mulai hari berbahagia (milad, pernikahan, kelahiran dst), peringatan hari besar agama, hingga yang (astaghfirullah) ucapan belasungkawa plus doanya hanya berbekal kecepatan jemari di atas tombol ponsel. Untuk yang terakhir ini, sungguh jika saya yang menerimanya, ada rasa tersinggung menyeruak. Terkesan tidak simpati sama sekali. Tanpa keseriusan. Tanpa rasa. Tanpa jiwa.

Dalam hati kecil, saya memilih tidak memberikan ucapan selamat/tahniah (dan doa yang mengiringinya) jika hanya copas semacam itu. Ini tidak sekadar tentang plagiasme dan semacamnya yang celakanya juga dikampanyekan secara masif di dunia akademis. Namun ada hal yang lebih substansial: sesuatu yang ditulis tidak dengan hati ada baiknya tidak disampaikan. 

Kalaupun sedang malas menulis kalimat panjang nan berbunga-bunga, menulis "Amin, Ya Robb" itu sudah sangat jauh lebih baik (jika hanya takut dianggap nir-sosial dalam komunitas grup atau pertemanan).

Mungkin saja ada yang beralibi, "yang penting kan niatnya". Bagi yang berpandangan demikian, silakan saja. Memang maksud hati tak ada yang tahu, selain diri dan Tuhannya. Tapi percayalah, sesuatu yang tidak berasal dari hati tidak akan pernah tiba di hati penerimanya. Selain tak elok, juga tak bernyawa.

Kerisauan tentang tradisi berucap selamat (dan doa) di media sosial ini perlu saya ungkapkan lebih karena relevan dengan bab sentuhan pribadi di atas. 

Maksud dan niat baik untuk berempati dan mengapresiasi manusia lainnya perlu diletakkan dalam koridor menyentuh rasa sang penerima pesan. Tulisan ini hanyalah sebentuk penuangan keresahan lama atas fenomena ini semata mata diniatkan sebagai pengingat diri dan sesama. Tawasau bil haqq wa tawasau bis shobr.

Waba'du, coretan ringan ini sekaligus saya tujukan untuk memohon maaf kepada siapa saja yang sedang merayakan kebahagiaan dan saya belum menuliskan selamat serta doa tulus dalam bentuk tulisan di ruang publik (grup WA, FB, IG dan media sosial lainnya). 

Pun juga belum membalas pesan ucapan yang saya rasakan tidak benar-benar ditujukan pada saya karena bersifat generalis, satu pesan untuk semua. Namun percayalah, insya Allah di ruang privat (dalam otak dan hati) saya senantiasa mengaminkan semua doa kebaikan. Mari kita hidupkan (kepekaan) rasa di era serba tergesa ini. Mengasah etika. Merawat estetika.

*Artikel ini telah dipublikasikan pada kolom Taneyan Jawa Pos Radar Madura edisi Ahad 29 Mei 2022

**Penulis sedang menempuh studi di ISDEV (Center for Islamic Development Management Studies), Universiti Sains Malaysia, tinggal di IG dan Twitter: @achdiar_redy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun