Mohon tunggu...
Achdiar Redy Setiawan
Achdiar Redy Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Long-life learner. Interested in cultural studies, art, pyschology and spirituality-religiosity. Book, music and basketball lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salin Tempel Cari Vs (Pem)budaya(an) Kejujuran

2 November 2020   06:24 Diperbarui: 2 November 2020   07:28 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendapati persoalan yang menggelisahkan sebagaimana paparan di atas, perlu kita renungkan pangkal masalah dan solusi penyelesaian. Itupun jika kita semua menganggapnya sebagai sebuah masalah besar.

Masyarakat Madura sangat terkenal berpegang teguh kepada ajaran agamanya. Banyak nilai-nilai budaya Madura, untuk tidak mengatakan seluruhnya, akarnya bersumber dari nilai-nilai Islam. Ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya dan peradaban Madura (Rifai, 2007:45). 

Budaya Madura yang kental dengan nilai Islami sangat menekankan aspek kejujuran. Salah satu petuah bijaknya berbunyi: oreng jujur bakal pojur, oreng jujur mate ngonjur (orang jujur akan beruntung hidupnya, matinya pun insya Allah husnul khotimah). Kejujuran akan membuahkan keberuntungan, baik semasa hidup maupun saat menjemput ajal nantinya.

Ketika anak sekolah dasar dan menengah (dalam kasus cerita pengantar tulisan di atas) mengangap bahwa fenomena “salin, tempel, cari” adalah lumrah dan lazim, ada pertanyaan besar yang perlu diajukan pada masyarakat Madura seluruhnya.

Persoalan penanaman budaya baik ini bukan melulu tanggung jawab guru dan institusi pendidikan. Keluarga dan masyarakat secara umum adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab jika benar fenomena nir-kejujuran ini dianggap sebagai kebiasaan berterima umum.

Menukik terhadap persoalan kebudayaan, KH. D. Zawawi Imron pernah menguraikan tentang adanya dua konteks kebudayaan. Pertama, budaya idealistik. Ini berisi kumpulan nilai-nilai ideal yang dimiliki dan dianut oleh sebuah kelompok budaya.

Kedua, budaya realistik. Ini bentuk implementasi nyata para manusia terhadap budaya idealistiknya. Apabila telatah nyata manusianya secara riil sama dengan idealistiknya, inilah yang disebut masyarakat yang konsisten terhadap budayanya.

Di sisi lain, terbuka kemungkinan pula bahwa budaya idealistik itu sudah dilupakan, tidak dipakai, atau bahkan tidak diajarkan. Bahkan sangat memungkinkan sesuatu yang ideal itu ditinggalkan warganya.

Begitu cairnya dinamika lingkungan sosial meniscayakan adanya perubahan-perubahan sosial ini. Fenomena nir-kejujuran seperti dinarasikan di atas adalah bentuk tidak berjalannya budaya idealistik dalam tataran realistik. Ada jurang menganga (gap) diantara keduanya.

Maka, langkah pertama yang harus diajukan sebagai solusi adalah menjadikan ini keresahan bersama. Orang tua, guru dan masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa cara-cara instan dalam perolehan nilai pelajaran adalah sebentuk perbuatan tercela.

Penghargaan terhadap proses perlu diletakkan sebagai aspek penting pembelajaran. Apresiasi terhadap pembudayaan kejujuran adalah segala-galanya. Nilai, angka, poin dan capaian akhir apapun dalam segi pembelajaran mesti diraih dengan cara yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun