Tahun 2017 yang baru saja menginjak bulan kedua, sepertinya telah menyuguhkan banyak kejutan bagi masyarakat. Setelah kasus dugaan penistaan agama berlalu, gonjang-ganjing panggung politik Indonesia menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih belum usai, dan kasus berita-berita hoax di media massa belum tuntas tertangani, kini muncul pemberitaan yang lebih membuat panas di telinga masyarakat yaitu kasus pelesir narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin. Berita ini menjadi viral semenjak tim investigasi salah satu media pers terkemuka di Indonesia membeberkan hasil investigasinya selama beberapa pekan terakhir.
Dalam tajuk berita “Investigasi Tamasya Napi Sukamiskin” tersebut menyebutkan Anggoro, seorang narapidana kasus korupsi pengadaan proyek radiokom terpadu Departemen Kehutanan, dapat secara bebas keluar masuk lapas Sukamiskin dengan alasan berobat ke rumah sakit. Padahal kenyataannya Anggoro tidak sedang berobat melainkan mengunjungi salah satu apartemen yang berjarak 3,5 kilometer dari penjara tersebut, hal ini merupakan keempat kalinya tim investigasi memergokinya keluar masuk apartemen dengan ditemani seorang wanita muda yang diduga sebagai istri muda Anggoro.
Kemudian berita tentang narapidana lainnya yaitu mantan Wali Kota Bogor, Rachmat Yasin yang sedang menginap di rumah sewaannya di Panorama Alam Parahyangan Bandung. Temuan lainnya yaitu mantan Wali Kota Palembang, Romi Herton, tersangka kasus penyuapan hakim Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar yang bebas keluar masuk lapas tanpa pengawalan. Roni tertangkap media sedang menjenguk sang istri di rumah sakit Santosa Bandung tanpa pengawalan petugas sipir ataupun polisi, bahkan dengan mudahnya ia sering mengunjungi rumah dikawasan Antapani dengan wanita yang setelah diselidiki lebih lanjut merupakan istri mudanya.
Bukan Kasus yang Pertama Kali..
Kasus narapidana pelesiran ke luar penjara di lapas Sukamiskin ini rupanya bukan yang pertama kali. Kasus ini merupakan yang kali ke sekian semenjak narapidana kasus penggelapan pajak, pencucian uang, penyuapan, dan pemalsuan dokumen Gayus Haloman Tambunan menjadi sorotan publik. Dalam pemberitaan tersebut Gayus kepergok media bersama dengan dua orang wanita di sebuah restoran tanpa pengawalan petugas, berita lainnya yaitu Gayus dapat keluar lapas hanya untuk menonton turnamen tenis di Nusa Dua Bali, hingga yang lebih mengejutkan lagi yaitu soal aktivitas pelesirnya ke luar negeri menggunakan bantuan calo. Tidak hanya Gayus, pada beberapa tahun sebelumnya seorang mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad kedapatan makan malam bersama kolega di salah satu restoran di Jakarta Selatan dengan alasan untuk mengikuti program asimilasi. Kemudian Nazaruddin yang dilaporkan oleh mantan anak buahnya yang mengatakan bahwa Nazaruddin seringkali keluar penjara untuk memimpin rapat perusahaan, di mana saat berita tersebut dikonfirmasi dengan pihak terkait Edi Kurniadi, selaku kepala Lapas Sukamiskin pada saat itu membantahnya.
Perlu kita ketahui bahwa sejak Desember 2012, penjara Sukamiskin telah dijadikan bui untuk narapidana pelaku korupsi. Semenjak hasil investigasi tersebut terkuak, publik menjadi semakin mengetahui adanya perlakuan istimewa bagi narapidana seperti menerima kunjungan melebihi jam besuk, diperbolehkannya memegang telepon seluler, memesan makanan langsung, membayar tahanan lain untuk membersihkan kamar, jasa mencuci-setrika pakaian, hingga menggelar pesta. Sepertinya bukanlah suatu hal yang tabu mengenai realita penjara ini yang tak ubahnya sebagai hotel dengan berbagai fasilitas mewah yang melayani para koruptor kelas kakap. Terulangnya kembali kasus pelesir narapidana di lapas Sukamiskin ini menimbulkan pertanyaan besar “apakah aparat penegak hukum masih belum belajar lebih banyak dari berbagai pengalaman sebelumnya?” atau “apakah hal ini telah menjadi budaya turun temurun yang sudah menjadi rahasia umum dilapas Sukamiskin?”
Ketika Penegak Hukum dijatuhi Hukuman
Kasus narapidana di lapas Sukamiskin menimbulkan tanda tanya publik, bagaimana sistem penegakan hukum di Indonesia? Apakah hukuman pidana tak lagi efektif untuk menjerakan mereka yang secara sah terbukti bersalah? Sebelum kita bertanya lebih jauh lagi, mari berkaca pada kasus tertangkapnya Patrialis Akbar, seorang hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi jual beli putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Januari 2017 yang lalu. Patrialis diputuskan bersalah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebab telah menerima suap yang diberikan Direktur utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman, agar permohonan uji materi UU No. 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kasus tersebut semakin mencoreng ranah hukum di tanah air. Masyarakat tidak hanya ragu akan kredibilitas lembaga hukum di Indonesia, melainkan sangat kecewa terhadap para pemegang kuasa di negeri yang konon katanya sangat menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Bagaimana mungkin suatu profesi hakim, yang menjadi tumpuan akhir dalam setiap kasus di pengadilan, malah menyalahgunakan kewenangannya sebagai penegak hukum hanya demi tergiur akan lembaran kertas yang menguntungkan kepentingan pribadi.
Seperti menambal lubang pada ban yang terlanjur tertancap paku di setiap sisi, Indonesia sempat berbangga hati mempublikasikan hasil Corruption Perseption Index (CIP) yang naik satu peringkat dari tahun sebelumnya. Indeks tersebut dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) untuk memetakan risiko korupsi di berbagai negara. Skor CPI Indonesia pada tahun 2016 yakni 37 dari rentang 0-100, meningkat satu peringkat dari tahun 2015 yang hanya pada peringkat ke 36, sedangkan pada tahun 2014 peringkat Indonesia hanya berada di angka 34 saja. Semakin tinggi skor CPI maka semakin rendah pula tingkat risiko korupsinya. Kenaikan peringkat ini menandakan masih berlanjutnya tren positif pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski Indonesia masih belum mampu menyaingi skor CPI negara tetangga seperti Malaysia (49poin), Brunei (58 poin), dan Singapura (85 poin), sepertinya peningkatan satu peringkat tersebut cukup dikatakan sebagai ‘prestasi’ yang membanggakan bagi Indonesia.
Saatnya Pers Bersuara..
Definisi yang cukup dominan dalam pemberantasan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi. Sedangkan korupsi sama halnya dengan monopoli ditambah dengan kewenangan tetapi minus akuntabilitas. Maka program pemberantasan korupsi dirancang untuk mengurangi monopoli kekuasaan dan kewenangan serta meningkatkan akuntabilitas. Melalui pengawasan yang ketat bersama dengan lembaga pengawas yang tepat, maka tindakan kriminal korupsi dapat terkurangi. Namun, jika kita mengacu pada definisi pemberantasan korupsi di atas, apakah dengan bertambahnya skor CPI Indonesia telah relevan dengan realita yang ada? Sebagaimana kita ketahui,meningkatnya skor CPI Indonesia berarti menandakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia telah menunjukkan tren yang positif, sesuaikah dengan kenyataan yang ada di sekitar kita?