Konsumsi telah menjadi fenomena sosial yang sangat menarik untuk ditelisik lebih jauh oleh berbagai kalangan, baik di forum-forum akademis, kalangan politisi, pebisnis hingga meja redaksi media massa. Istilah konsumsi masa kini tidak lagi sekadar menyangkut pemenuhan hajat biologis dan fisiologis seseorang. Telah terjadi pergeseran makna konsumsi pada masyarakat saat ini, yaitu lebih mengimajinasikan ikhtiar seseorang untuk menunjukkan kelas sosial mereka. Kelas sosial yang sebenarnya dapat dikatakan absurd bahkan cenderung menjadi identitas semu bagi mereka yang ingin eksistensinya diakui oleh lingkungan sekitar.
Membicarakan kelas sosial, masyarakat dalam konteks sosial-ekonomi dipisahkan dalam tiga kelas, yaitu kelas atas, menengah, dan bawah. Akhir-akhir ini kelas sosial dari kalangan menengah tengah menjadi perbincangan hangat. Hal tersebut tidak terlepas dari keunikannya yang berbeda dengan kelas sosial atas maupun bawah. Mengapa dikatakan berbeda? Sebab kelas sosial yang satu ini memiliki keunikannya tersendiri yang tidak dapat diklarifikasikan dalam kelompok kelas atas atau kelas bawah.
Bank dunia mengklasifikasikan masyarakat kelas menengah melalui ukuran konsumsi mereka, yaitu mereka yang memiliki pengeluaran sebesar 6-20 dollar AS per hari. Namun, bila mengacu pada teori Marxisme klasik, kita tidak akan mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai siapa itu kelas tengah. Dalam struktur kelas Marxis yang didasarkan pada penguasaan atas faktor-faktor produksi, hanya ada dua kelas, yaitu pemilik faktor produksi (kelas borjuis) dan pemilik tenaga kerja (buruh) yang saling bertarung. Tidak ada pihak ketiga dalam kontestasi ini. Namun, seiring perkembangan sosial-ekonomi dalam kapitalisme lanjut (late capitalism), kelompok sosial baru yang agak susah diklasifikasikan ke dalam dua kelompok tersebut, secara empiris berjumlah kian banyak dan terus bertambah.
Menurut data yang dilansir dari World Bank, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, dari 0% penduduk pada tahun 1999 menjadi 6,5% pada tahun 2011 atau setara dengan lebih dari 130.000.000 orang. Pada tahun 2030, jumlah kelas menengah diperkirakan akan melesat menjadi 141.000.000 orang. Peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah yang cukup signifikan tersebut digadang-gadang mampu membawa angin perubahan baru dalam perekonomian di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari anggapan kalangan tertentu yang berpikiran bahwa peningkatan kuantitas masyarakat kelas tengah merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara.
Idealnya jika suatu negara bertambah kesejahteraannya, konsumsi masyarakat juga akan meningkat. Peningkatan konsumsi yang terjadi di masyarakat selaras mengikuti peningkatan pendapatan ekonomi mereka. Seperti yang dinyatakan oleh Keynes dalam teori konsumsinya yang dikenal dengan hipotesis pendapatan absolut (Absolute Income Hypotesis), intinya menyatakan bahwa konsumsi seseorang secara absolut ditentukan oleh tingkat pendapatan. Asumsi ini menjelaskan pada saat pendapatan seseorang semakin tinggi, maka semakin tinggi pula konsumsi dan tabungannya.
Karakter Kelas Menengah di Indonesia
Mengupas fenomena konsumsi yang terjadi di masyarakat memang serasa tidak ada habisnya, khususnya fenomena konsumsi pada masyarakat kelas menengah. Konsumen dari kelas ini umumnya menjadikan konsumsi sebagai identitas semu mereka. Konsumsi tidak lagi dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan fisiologis dan biologis seseorang, melainkan ajang untuk menunjukkan eksistensi kelas sosial mereka.
Pakaian misalnya, kebutuhan berpakaian tidak sekadar untuk melindungi anggota tubuh ataupun menutup bagian intim manusia. Lebih daripada itu, pakaian memberikan ruang tafsir yang lebih semacam identifikasi tentang apa dan siapa jati diri pemakainya. Mulai dari jenis pakaian, gaya, bentuk dan kualitas bahan pakaian memiliki nilai yang dianggap lebih sekaligus menjadi penentu status dan kelas sosial seseorang.
Penentuan kelas sosial, itulah yang menjadi spirit seseorang dalam berlomba-lomba berpacu pada tren mode terkini. Fenomena konsumsi berikutnya yaitu menyangkut lifestyle. Berbagai pusat perbelanjaan yang dikemas dalam bentuk gedung pencakar langit di lingkungan perkotaan, menjamurnya restoran dan cafe yang mampu meningkatkan prestise bagi konsumennya, adalah sebagian kecil dari gaya hidup yang berusaha mereka tampilkan. Pemisahan kelas secara ekonomi begitu mencolok, seolah ingin memunculkan tafsir bahwa dia adalah “orang kaya” dan terpandang.
Akumulasi karakter semacam ini dipandang positif bagi pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi di negeri ini. Peranan kelas tengah dalam perekonomian mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi dan mendongkrak pertumbuhan. Hal tersebut tak terlepas dari budaya konsumtif yang melekat erat pada diri mereka, inilah yang sering disebut-sebut sebagai berkah dan menjadi awal penanda kemakmuran negeri ini. Namun, jika kita cermati lebih lanjut, benarkah hal tersebut menjadi suatu “keberkahan” bagi negeri? Apakah mampu dijadikan indikator membaiknya kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara dan membawa perubahan yang berarti bagi Indonesia?
Keberkahan dan Tonggak Revolusi?
Perilaku konsumsi memang baik kaitannya dalam perekonomian untuk menunjang kegiatan ekonomi secara keseluruhan, namun jika perilaku konsumsi telah bergeser pada perilaku konsumtif atau konsumerisme, hal tersebut perlu untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Logika konsumsi mereka tidak lagi untuk mencukupi kebutuhan, namun lebih kepada logika consume ergo sum, yang artinya “dengan belanja maka aku ada”.
Perilaku konsumtif lebih menekankan upaya identifikasi diri bagi individu tertentu untuk mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan untuk mencapai kepuasan maksimal mereka, dalam hal ini hanya sebagai penunjang prestise yang bersangkutan. Sebab kuantitas dan kualitas produk yang mereka belanjakan akan menentukan di mana letak kelas sosial mereka.
Harapannya dengan menunjukkan kelas sosial tersebut, pihak yang bersangkutan akan dengan mudah diterima dalam sosialisasi dan pergaulan dengan kaum elite. Tidak dapat dipungkiri bahwa hasrat konsumsi juga dipengaruhi oleh keinginan untuk bersosialisasi dengan kalangan yang mereka anggap setara dengan kelas sosialnya.
Sayangnya, peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia hanya sebatas fatamorgana statistik di atas kertas saja mengingat kesadaran akan posisi kelas mereka dikatakan nihil. Mereka tidak merasa sebagai kelas tengah dan sadar akan tanggung jawabnya terhadap kelas bawah. Bukankah untuk memulai suatu perubahan diawali dari bawah terlebih dahulu? Suatu bangunan pencakar langit yang kokoh sekalipun, bukankah diawali dari membentuk fondasi yang kuat terlebih dahulu? Sama halnya jika ingin memberikan perubahan terhadap negeri ini, seharusnya dimulai dari memperhatikan masyarakat kelas bawah dalam negeri. Namun, sayangnya masyarakat kelas tengah cenderung bersikap oportunis dan mencari titik aman. Masih minimnya kesadaran untuk bersikap menjadi motor revolusi dan demokratisasi dalam negeri.
Menyikapi hal tersebut, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa data statistik masyarakat kelas menengah itu hanya menjadi sasaran empuk bagi kelas atas. Mengapa? Sebab pertumbuhan kelas menengah yang signifikan akan meningkatkan daya beli dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk produk-produk milik kelas atas.
Berbagai brand produk, lifestyle, dan pusat perbelanjaan yang menawarkan hingar-bingar lengkap dengan prestise yang melekat erat di dalamnya, seolah berlomba-lomba untuk mengeruk keuntungan dari kelas menengah yang sedang haus akan pengakuan eksistensi mereka. Kondisi yang demikian rasanya mustahil untuk berharap genderang revolusi segera ditabuh. Akhir kata, masihkah peningkatan statistik masyarakat kelas menengah dalam negeri dapat dikatakan suatu keberkahan dan tonggak revolusi bagi Tanah Air?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI