Sumber Foto: tumblr.com
Pemberitaan media di Indonesia sempat tercengang oleh hasil riset dan penelitian yang dipaparkan oleh McKinsey Global Institute (MGI), tepatnya pada tahun 2012 yang lalu. Pasalnya dalam hasil riset tersebut, McKinsey menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang, melampaui negara Inggris dan Jerman. MGI adalah bagian dari Mckinsey & Company, yaitu sebuah lembaga riset internasional yang kredibilitasnya tak perlu diragukan lagi. Tingkat kepercayaannya telah diakui dunia, bahkan McKinsey juga disebut oleh Vault Consulting Ranking sebagai kantor konsultan nomor satu di dunia, mengalahkan Boston Consulting Firm dan Bain & Company pada tahun 2014. Hasil riset yang telah dilakukan dalam kurun waktu enam bulan tersebut dinilai tidak berlebihan mengingat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang paling stabil di dunia pada saat itu.
Jumlah masyarakat kelas menengah di negeri ini diramalkan meroket dari yang semula berjumlah 45.000.000 orang (tahun 2012) menjadi 135.000.000 orang pada tahun 2030 mendatang. Nyaris tiga perempat penduduk Indonesia, yaitu sebesar 71% penduduk akan tinggal kota-kota besar dan turut menyumbangkan 86% Produk Domestik Bruto (PDB) bagi Indonesia. Analisa McKinsey tersebut patut dicermati dan disikapi secara kritis mengingat bahwa riset tersebut menggambarkan paradigma pembangunan yang telah dijalankan Indonesia selama ini, dimana orientasi pembangunan di Indonesia selama ini masih berporos pada urban oriented. Dari kota-kota besar, kelas menengah baru tercipta dan masyarakat berdaya beli tinggi ini pun segera terintegrasi dengan masyarakat consumer global. Dari kelas menengah baru inilah pertumbuhan PDB dipacu menjadi sebuah pertumbuhan ekonomi yang berbasis konsumsi.
Pertumbuhan Ekonomi Semu
Sebagaimana pemaparan sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kerap dipuji sebagai yang paling stabil di kawasan Asia itu, hal tersebut layaknya gedung pencakar langit yang keropos. Pertumbuhan ekonomi yang kerapkali diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP), telah mengalami penguatan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir namun hal tersebut tidak berkorelasi terhadap pengentasan masyarakat miskin, dengan kata lain yaitu sebagian besar manfaat yang ada hanya dinikmati oleh kalangan elit (Worldbank,8/12/2015). Pada kuartal pertama tahun 2016 ini misalnya, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi akan mencapai kisaran 5,1% hingga 5,2% (Kompas,21/04/2016). Akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut semata-mata didorong oleh belanja pemerintah, hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung yang menyatakan bahwa telah terjadi kenaikan belanja modal pada kuartal I 2016 hingga mencapai 161% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Selain peningkatan pengeluaran infrastruktur pemerintah, akselerasi serupa juga terjadi pada belanja barang yang mencapai 56% pada kuartal I 2016.
Sementara itu, menurut data dari Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kemiskinan absolut di Indonesia menunjukkan penurunan di tiap tahunnya. Kemiskinan absolut Indonesia pada tahun 2010 sebesar 31.000.000; pada tahun 2011 menurun menjadi 30.000.000, hingga pada tahun 2014 menurun kembali menjadi 28.000.000. Begitu pula dengan data kemiskinan relatif yang menunjukkan tren penurunan di tiap tahunnya, persentase angka kemiskinan relatif di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 secara berturut-turut adalah 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan pada bulan September 2015 meningkat tipis sebesar 11,31%.
Berbeda halnya dengan besaran koefisien gini/rasio gini Indonesia dalam lima tahun terakhir sejak 2010 sampai 2015, yaitu 0,38; 0,41; 0,41; 0,41;0,41; dan 0,40. Peningkatan koefisien gini/rasio gini tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pencapaian PDB Indonesia yang tinggi ternyata masih belum mampu menangkap dan menggambarkan fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Itulah mengapa pujian terhadap stabilnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia ibaratnya seperti gedung pencakar langit yang terlihat tinggi namun sebenarnya tak lebih daripada sekadar menara yang keropos. Meski pencapaian PDB Indonesia angkanya terlihat gemuk, namun sedikit banyak masih belum merepresentasikan aspek distribusi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Paradoks Kesejahteraan Sosial
Kita mungkin sering menjumpai paradoks yang ada di lingkungan sekitar kita, di satu sisi masih terdapat jutaan warga pedesaan yang menganggur atau mungkin hanya berprofesi sebagai petani desa. Namun disisi lain kita dengan mudahnya menyaksikan segelintir masyarakat kota yangmenikmati fasilitas modernisasi dengan berbagai surga belanja yang megah terpampang di tiap sudut perkotaan. Budaya konsumerisme tumbuh dengan subur seiring merambatnya kapitalisme di masyarakat. Realita tersebut membuktikan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menguat dalam 15 tahun terakhir ini, semata-mata manfaatnya lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sedangkan sekitar 80% penduduk sisanya atau lebih dari 205.000.000orang masih jauh tertinggal di belakang. Meningkatnya kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang, menyebabkan tingkat ketimpangan Indonesia relatif tinggi dan naik lebih cepat daripada sebagian besar negara tetangga di Asia Timur (The World Bank, 8/12/2015).
Perlu dicermati lebih dalam bahwa adanya ketimpangan yang terlalu tinggi bisa berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi, memperlambat pengentasan kemiskinan dan melemahkan kerukunan sosial. Memang data menunjukkan bahwa setelah krisis keuangan Asia, PDB riil perkapita Indonesia tumbuh rata-rata 5,4% per tahun antara tahun 2000 hingga 2014. Pertumbuhan ini membantu banyak penduduk di Indonesia keluar dari jangkar kemiskinan. Angka kemiskinan berkurang lebih dari 24% saat krisis, sehingga persentasenya menjadi 11% pada tahun 2014. Namun kelompok orang Indonesia yang mapan secara ekonomi tersebut meninggalkan 205.000.000 orang sisanya yang masih jauh di belakang. Ketika masyarakat menyadari adanya jurang pendapatan dan kekayaan, maka potensi ketegangan sosial dan ketidakrukunan sangat mungkin terjadi sehingga dapat menimbulkan konflik sosial.
Memang terbukti bahwa daerah-daerah dengan tingkat ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata di Indonesia memiliki rasio konflik 1,6 kali lebih besar dibandingkan daerah dengan tingkat ketimpangan lebih rendah. Dampak semakin buruk ketika ketimpangan disebabkan oleh perilaku cari untung sendiri, mencoba menguasai sumber daya yang ada tanpa menghasilkan kekayaan baru melalui kegiatan produktif. Oknum-oknum tertentu mencari perlakuan khusus dan perlindungan terhadap posisi mereka, sehingga menyebabkan kesalahan alokasi sumber daya, korupsi dan nepotisme yang ujung-ujungnya menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang lebih tinggi, termasuk hilangnya kepercayaan terhadap lembaga publik.
Mengurangi Ketimpangan Sosial
Hal utama yang dapat mengurangi ketimpangan adalah alokasi belanja negara yang tepat. Indonesia sejak dahulu telah menghabiskan banyak biaya untuk kebijakan yang dampaknya paling kecil untuk mengurangi ketimpangan, seperti subsidi misalnya, dan sedikit biaya untuk kebijakan yang memberi efek paling besar, contohnya program bantuan sosial seperti PKH (sejenis bantuan tunai bersyarat), BSM (sekarang Kartu Indonesia Pintar atau KIP, yaitu program beasiswa untuk siswa yang tidak mampu), dan kesehatan. Padahal penting kaitannya untuk mengalihkan anggaran ke program-program yang lebih adil semacam ini. Belanja negara harusnya dapat dibuat lebih pro kepada rakyat miskin.
Namun lagi-lagi hal ini sangat disayangkan karena anggaran pendidikan, kesehatan dan bantuan sosial yang ada saat ini tidak begitu masif dalam hal pengurangan ketimpangan sosial yang ada. Sebagian besar kenaikan anggaran kesehatan misalnya, yang dalam tahun 2016 ini lebih diusulkan untuk sistem asuransi kesehatan nasional (Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN) yang cenderung berpihak pada rumah sakit besar di kawasan perkotaan dan hanya menguntungkan rumah tangga masyarakat kalangan menengah, padahal jangkauan anggaran peningkatan pelayanan kesehatan primer seharusnya lebih pro kepada rakyat miskin yang rata-rata bertempat tinggal jauh dari perkotaan. Sekali lagi, poros pembangunan yang cenderung urban oriented ini harus dikesampingkan agar pemerataan pembangunan terjadi tak hanya di satu titik saja melainkan menyeluruh hingga ke wilayah pelosok nusantara.
Beberapa telaah lainnya dalam hal mengurangi ketimpangan sosial yang kian merebak di masyarakat Indonesia saat ini, yaitu pentingnya perbaikan pelayanan publik di daerah untuk memberi peluang yang setara bagi semua orang. Hal tersebut dapat menjadi kunci agar generasi berikutnya mendapatkan awal yang lebih baik sehingga mereka yang berada di daerah tertinggal dapat memiliki peluang untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas kesehatan yang setara. Upaya lainnya yaitu dengan menggalakkan lapangan pekerjaan dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melatih keterampilan mereka.
Saat keterampilan dan skill mereka telah meningkat, pemerintah dapat membantu dengan memastikan tersedianya pekerjaan yang lebih baik melalui iklim investasi yang lebih kondusif dan peraturan perlindungan tenaga kerja yang tidak kaku melainkan lebih efektif. Namun realita yang ada menunjukkan bahwa peraturan pasar dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia saat ini dinilai sebagai salah satu yang paling kaku secara regional, memiliki perlindungan de facto yang rendah dan menghalangi penciptaan lapangan kerja formal. Reformasi peraturan dan program tertentu secara sedikit demi sedikit sulit untuk dilakukan karena jika ada perubahan dalam hubungan industri, keuntungan satu pihak dianggap sebagai kerugian bagi pihak yang lain. Karena alasan inilah barangkali dibutuhkan grand bargain untuk melaksanakan reformasi menyeluruh yang dinilai menguntungkan bagi pengusaha, serikat pekerja, maupun pencari kerja.
Mengatasi ketimpangan sebagian besar merupakan usaha jangka panjang yang membutuhkan komitmen kebijakan jangka panjang pula. Mustahil jika mengharapkan penurunan ketimpangan sosial terjadi hanya dalam kurun waktu yang singkat, karena setiap tindakan perbaikan membutuhkan waktu agar efeknya mulai terasa, artinya aksi penanggulangan ketimpangan harus dimulai dari sekarang. Walau demikian, mengatasi ketimpangan sosial tidak dapat dilakukan tanpa memutus rantai kemiskinan dan ketidaksetaraan dari generasi ke generasi. Pemutusan rantai kemiskinan tersebut harus diusahakan secepat mungkin yang tentu saja akan membutuhkan pengumpulan pendapatan negara yang lebih tinggi, pengalihan anggaran belanja negara yang berujung pada penargetan dan penyediaan serta peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H