Tampaknya Bank Indonesia merasa gamang dengan keadaan volatilitas nilai tukar rupiah yang tidak karuan akhir-akhir ini. Karena sabtu kemarin (14/3/2015) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali terjatuh mendekati level Rp 13.200. Seperti dikutip dari data Bank Indonesia, mata uang ‘garuda’ dibuka turun ke posisi Rp 13.191 per dollar AS, anjlok 15 poin dibanding Rp 13.176. Sampai pada hari ini (18/3/2015), rupiah mengalami penguatan nilai ke posisi Rp 13.164, naik 45 poin dibanding Rp 13.209 (17/3/2015).
Indeks dollar AS yang kembali naik menjadi faktor penekan bagi mata uang rupiah hari ini. Pelaku pasar pun menunggu langkah nyata pemerintah dan otoritas keuangan terhadap pelemahan mata uang rupiah. Ketakutan terhadap liarnya ‘bola ekonomi kunci’ ini dikarenakan oleh dampak negatif yang akan ditimbulkannya, sehingga sangat dikhawatirkan oleh para pelaku ekonomi terutama pemerintah, tetapi mungkin saja tidak bagi para spekulan.
Hal lain yang semakin memicu pelemahan rupiah yaitu besarnya kebutuhan dolar oleh beberapa pelaku ekonomi kunci, seperti Pertamina dalam memenuhi pembayaran harga minyak impor akibat melangitnya harga minyak dunia. Selain itu disebabkan pula oleh kepanikan para pemegang uang yang merasa nilai kekayaannya terpangkas oleh inflasi, sehingga mereka berbondong-bondong mencari posisi aman dengan menggeser portofolio kekayaannya dari simpanan atau deposito di perbankan menjadi asset keuangan yang lebih stabil dan dapat menguntungkan, yakni memegang dolar Amerika.Â
Tindakan ini terutama dilakukan oleh pemilik ‘uang panas’ yang ditanam dalam bentuk deposito jangka pendek yang dapat ditarik setiap waktu. Jika hal ini berlangsung berkepanjangan maka jelas akan memperburuk kegiatan produktif di sektor riel, kemudian akan semakin tingginya harga barang dan lemahnya nilai tukar rupiah.
Keresahan Importir
Tidak dapat dipungkiri keresahan merebak dalam benak para importir negeri akibat penguatan nilai tukar dolar Amerika, yang telah pasti diprediksi akan menyebabkan tingginya biaya operasional impor. Sehingga dalam situasi seperti ini berbagai asumsi dan rencana yang sebelumnya telah dibuat melenceng jauh dari prediksi mereka. Intensitas fluktuasi nilai tukar rupiah yang tak menentu menyebabkan importir kesulitan membuat perencanaan keuangan dan operasional jangka panjang.
Harga barang-barang impor menjadi lebih mahal. Barang konsumsi seperti pangan dan elektronik misalnya, mengalami kenaikan harga yang signifikan. Beban industri yang bergantung pada bahan baku dan barang modal impor seperti industri farmasi dan tekstil, juga semakin berat. Agar tetap untung mereka terpaksa menaikkan harga jual produk mereka.Â
Inilah yang disebut dengan imported inflation, inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor. Situasi seperti ini tentu semakin meresahkan dan membuat tidak nyaman kalangan importir. Sehingga harapan para importir saat ini adalah pemerintah bisa memberikan kepastian ihwal nilai tukar rupiah ini.
Berkah dari Pelemahan Nilai Rupiah
Mereka yang sedikit lega dengan pelemahan nilai rupiah yaitu kalangan eksportir yang memiliki hasil pertanian dan perkebunan, seperti gambir, pinang, kakao (cokelat), dan lainnya. Gambir yang biasanya seharga Rp 22.000; per kilogram, kini naik menjadi Rp 27.000; per kilogram.Â