Saat ini sedang ramai pemberitaan mengenai pencabutan PP No 99 tahun 2012 tentang pemberian remisi bagi naripadana koruptor. Hal ini dianggap akan mempermudah koruptor untuk bebas. PP No 99 sendiri secara resmi bernama PP No 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No 99 secara khusus mengatur mengenai hak bagi Narapidana dengan tindak pidana tertentu yakni Korupsi, Narkoba, Terorisme, Kejahatan terhadap Kemananan Negara, Kejahatan HAM berat, serta Kejahatan Transnasional terorganisir lainnya. Dalam hal ini remisi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh narapidana.
      Lalu apa itu remisi? remisi merupakan pengurangan masa pidana yang harus dijalankan oleh seorang narapidana atau warga binaan pemasyarakatan (WBP). Pengurangan masa pidana tersebut bervariasi (3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dll). Apa dasar pengurangan hal tersebut? dasarnya dapat kita lihat secara historis maupun secara sosiologis. Secara historis, remisi telah berlangsung sejak zaman dahulu dalam bentuk pengampunan raja terhadap para pelaku kejahatan. Di Indonesia sendiri, raja-raja zaman dahulu biasa memberikan ampunan kepada para penjahat yang sebagai wujud dari kemurahan hati raja. Sementara pada zaman Belanda, remisi juga diberikan pada hari hari tertentu, misalnya pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Pada hari ulang tahunnya, ratu berharap bahwa kegembiraan yang dirasakannya juga dapat dirasakan oleh masyarakat, tak terkecuali kelompok masyarakat yang terhukum atau narapidana.
      Secara sosiologis, remisi merupakan instrumen yang digunakan untuk mengatur perilaku narapidana berdasarkan prinsip teori reward and punishment. Teori reward and punishment menjelaskan bahwa tindakan seseorang akan menyesuaikan dengan dampak yang ditimbulkan, apakah akan diganjar dengan reward (penghargaan) atau punishment (hukuman). Narapidana yang sedang menjalani program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dituntut untuk menjalani program pembinaan dengan baik dan menunjukan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Jika hal tersebut berhasil ia tunjukan, maka ia akan diganjar dengan remisi. Sebaliknya, jika tidak, maka ia tidak akan memperoleh remisi. Jika remisi ini ditiadakan, maka tidak ada stimulus dari narapidana untuk mengikuti pembinaan dengan baik karena ia tidak diganjar reward apapun, hanya menunggu masa pidananya selesai. PP No 32 maupun PP No 99 pun sudah mengatur bahwa salah satu syarat mendapatkan remisi adalah berkelakuan baik selama menjalani masa pembinaan (tidak pernah melanggar aturan).
Kontroversi Justice Collaborator
      Selain mengatur tentang remisi, PP 99 tahun 2012 juga mengatur mengenai Justice Collaborator (JC) atau Kesediaan untuk bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum untuk dimintai keterangan mengenai kasus kejahatan yang cukup pelik atau sulit untuk diungkap. Dalam PP 99 tahun 2012, selain harus berkelakuan baik, narapidana juga harus bersedia menjadi JC. Kesediaan menjadi JC ini dibuktikan melalui surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Institusi Penegak Hukum yang memiliki kewenangan dalam tindak pidana yang dimaksud. Dalam PP tersebut diatur instansi yang dimaksud di antaranya POLRI, Kejaksaan Agung, BNN, BNPT, dan KPK. Jika Institusi Penegak Hukum tidak mengeluarkan JC, maka narapidana tidak berhak mendapat remisi.
      Jika dilihat dari sisi tujuan, maka tujuan JC ini sangat bagus yakni agar mempermudah Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani kasus pidana yang cukup pelik. JC dapat menjadi sumber informasi bagi APH baik pada tingkat pencegahan, pemeriksaan, maupun penindakan. Namun penempatan JC menjadi syarat bagi pemberian remisi dianggap tidak berada pada tempatnya karena menyalahi tugas dan wewenang masing-masing lembaga. Narapidana yang telah berada dalam Lapas sepenuhnya berada pada tanggung jawab Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham. Maka pemberian remisi menjadi sepenuhnya tanggung jawab Ditjen Pas karena berkaitan dengan tugas pembinaan kepada narapidana atau WBP. Keterlibatan lembaga lain akan mempengaruhi efektivitas pembinaan yang dilakukan sehingga berpotensi kontraproduktif dengan tujuan dari Pemasyarakatan itu sendiri.
      Hal inilah yang juga menjadi dasar putusan MA membatalkan PP 99 tahun 2012 tersebut karena adanya syarat JC yang dikeluarkan oleh lembaga lain. MA menganggap hal ini kurang sesuai dengan politik pemidanaan di Indonesia saat ini yakni Pemasyarakatan.
PP 99 tahun 2012 dicabut, koruptor meningkat?Â
      Terlalu dini jika menyimpulkan bawa dicabutnya PP tersebut akan berdampak pada peningkatan jumlah koruptor hanya berangkat dari asumsi bahwa semakin ringan hukuman semakin besar pula peluang untuk melanggar hukum. Penyebab seseorang melakukan tindakan pidana korupsi tidak hanya disebabkan oleh faktor ancaman hukuman yang dikenakan, melainkan juga faktor pengawasan dan pengendalian dari APH dalam hal ini adalah KPK, Polri, dan lembaga terkait lainnya. Artinya, penguatan fungsi pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan pemerintahan itu juga berperan penting untuk menekan tindak pidana korupsi yang dilakukan.
      Sementara itu penerapan PP 99 tahun 2012 terbukti telah menimbulkan beberapa masalah. Pertama, meningkatkan overcapacity yang dalam Lapas. Kedua, overcapacity tersebut menyebabkan program pembinaan tidak berjalan dengan maksimal. Ketiga, overcapacity menyebabkan standar kehidupan narapidana di dalam lapas sangat rendah karena fasilitas yang tersedia sangat terbatas. Keempat, borosnya anggaran negara yang diberikan untuk pembiayaan narapidana (uang makan untuk narapidana kurang lebih 1,6 triliun pertahun). Kelima, kondisi lapas yang demikian mengakibatkan meningkatnya residivisme (pengulangan tindak pidana) setelah narapidana tersebut bebas, karena selama di Lapas narapidana tidak memperoleh pembinaan dengan maksimal. Akhirnya Lapas dianggap sebagai Sekolah Tinggi Kejahatan dimana orang justru semakin buas setelah keluar dari Lapas dan yang dirugikan akhirnya masyarakat sendiri.
Penguatan Multisektor
      Berangkat dari kodisi tersebut di atas, remisi memberikan manfaat bagi narapidana secara khusus dan masyarakat secara umum sehingga pencabutan PP 99 tahun 2012 sudah tepat. Yang menjadi persoalan adalah masing-masing lembaga harus memperkuat dirinya sendiri untuk menjalankan peran dan fungsi yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang. Khusus untuk Ditjen Pas sendiri, dicabutnya PP 99 tahun 2012 hakikatnya harus menjadi ajang pembuktian bahwa pemberian remisi kepada narapidana sudah tepat sesuai dengan penilaian selama proses pembinaan yang dilakukan. Jangan sampai kewenangan pemberian remisi ini disalahgunakan oleh oknum-oknum terkait di Ditjen Pas untuk mengambil keuntungan pribadi. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat selama ini muncul stereotype di masyarakat tentang praktek pungutan liar yang ada di Lapas. Stereotype tersebut nantinya akan hilang sendiri dengan kinerja terbaik yang diberikan oleh insan Pemasyarakatan selama menjalankan tugas dan tanggungg jawabnya tersebut.
Lutfi Ramdani (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Pusat)
*Tulisan ini adalah murni opini pribadi, tidak merepresentasikan pendapat lembaga