Di sisi lain, lembaga pendidikan yang diharapkan menggantikan peran orang tua dalam melakukan pendidikan kepada anak, dihadapkan pada paradoks. Pendidikan dalam masyarakat industri sangat berorientasi pada kecerdasan otak dibanding etika dan moral.Â
Di Indonesia, meskipun tujuan utama pendidikan dalam kurikulum Sisdiknas ialah menciptakan peserta didik yang bermoral dan bertakwa pada tuhan YME, tapi implementasi dari tujuan tersebut sangat jauh.Â
Contoh kecil ialah durasi jam pelajaran agama di sekolah sangat sedikit. Begitupula, ujian pelajaran agama tidak masuk kedalam Ujian Nasional sebagai standar kelulusan siswa. Akibatnya, sekolah banyak menghasilkan siswa-siswa cerdas secara otak namun kurang memiliki etika yang sesuai dengan nilai dan norma yang hidup di masyarakat Indonesia.Â
Tentu tidak ada diantara kita yang menginginkan kasus yang menimpa AY terulang kembali. Meskipun, mungkin kasus yang menimpa AY hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang menimpa anak atau dilakukan oleh anak. Namun, melihat perkembangan masyarakat seperti sekarang, sangat mungkin kasus-kasus serupa tetap terjadi.Â
Solusi yang mungkin bisa dilakukan untuk bisa menghindari, mengurangi, atau jika bisa mengehentikan perilaku menyimpang bisa dilakukan dengan dua cara, yakni secara legal-formal dan sosial-kultural.
Cara legal-formal yakni meninjau kembali kurikulum pendidikan nasional kita yang pada prakteknya ternyata jauh dari tujuan pendidikan yang menciptakan peserta didik yang bertakwa kepada Tuhan YME.Â
Cara legal-formal yang lain ialah meninjau kembali UU Perlindungan Terhadap Anak dengan memeperkuat aspek hukuman bagi pelaku agar menimbulkan efek jera, baik bagi orangtua maupun anak. Kabarnya revisi UU ini masih menjadi pembahasan di DPR.Â
Sementara, cara sosial-kultural yang dilakukan ialah memperkuat kembali pengawasan dan perhatian keluarga kepada anak, khususnya dari orang tua. Sesibuk apapun orang tua di luar rumah, pendidikan dan perhatian terhadap anak tetap menjadi aspek penting yang tidak boleh diabaikan.Â
Jangan sampai orang tua menyesal di kemudian hari setelah melihat anaknya terlibat dalam perilaku menyimpang atau perilaku kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban.
Tentu solusi diatas masih sangat terlalu umum, akan tetapi dua solusi diatas adalah pintu masuk bagi kita untuk menganalisa agar kasus kekerasan terhadap anak tidak terulang kembali. Karena, melihat perkembangan masyarakat seperti dijelaskan di atas, kita semua bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi terjadinya kekerasan tersebut.Â
Maka sudah seharusnya kita merenungkan dan meninjau kembali peran yang bisa kita lakukan, terutama melalui cara-cara sosial-kultural, sambil menunggu dan mengusahakan perubahan legal-formal yang akan memperkuat perlindungan terhadap anak.Â