Mohon tunggu...
Lutfi Ramdani
Lutfi Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Learner

Pembelajar Sepanjang Hayat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan Untuk Logika LGBT

15 Februari 2016   15:00 Diperbarui: 4 April 2017   16:41 2202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggapan saya : Pendapat yang disampaikan oleh kaum LGBT ini didasarkan pada penerimaan kelompok mereka terhadap ‘paham LGBT’ sedangkan pendapat ini tidak bisa disampaikan pada kelompok yang menolak LGBT atas dasar ‘paham LGBT’ itu sendiri. Logika yang mereka sampaikan tidak tepat. Yang mereka sangkal adalah ’akibat buruk’ dari LGBT, yakni meningkatnya HIV/AIDS, bukan paham ‘LGBT’ nya sendiri, sehingga solusi yang mereka tawarkan adalah meningkatkan layanan kesehatan.

Sedangkan sebagian masyarakat Indonesia yang berpaham religious dan pancasilais menyangkal LGBT bukan hanya karena ‘akibat dari LGBT’ semata, melainkan ‘paham LGBT’ nya sendiri, yang tidak sesuai dengan norma budaya, susila, dan agama, sehingga solusinya paham LGBT nya sendirilah yang harus ditolak, bukan membuat solusi untuk mencegah akibat dari LGBT itu sendiri. Tanpa meningkatnya HIV/AIDS pun pemerintah tetap wajib meningkatkan layanan kesehatan untuk masyarakat.

Dalam ilmu logika, pembuatan perumpamaan harus didasarkan pada premis yang isi dan luasnya setara, jika tidak setara maka akan terjadi kekacauan dalam penyimpulan. Mereka menggunakan perumpamaan jika semakin banyaknya kendaraaan bermotor maka angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas meningkat, maka yang harus dienyahkan tentu bukan kendaraan bermotornya. Tetapi perlu dibuat peraturan yang jelas dan tegas untuk melindungi semua pihak, baik pejalan kaki, pengendara sepeda, maupun pengendara kendaraan bermotor.

Hal tersebut benar adanya, namun perumpamaan ini menjadi rancu jika diterapkan pada kasus LGBT. Masyarakat Indonesia menolak LGBT karena tidak sesuai dengan norma budaya, susila, dan agama, sedangkan masyarakat Indonesia tidak menolak kendaraan bermotor karena tidak melanggar norma budaya, susila, dan agama. Artinya dalam perumpamaan ini tidak ada kesetaraan dalam isi premis pertama, yakni pandangan masyarakat terhadap sepeda motor dan dengan pandangan masyarakat terhadap LGBT, sehingga kesimpulan yang diambil menjadi rancu dan menyimpang.

Pernyataan : LGBT ditolak karena khawatir LGBT menular

Tanggapan Kaum LGBT : Dalam demokrasi, orientasi seksual adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi oleh negara. Sepanjang negara berlandaskan pada demokrasi dan HAM, negara wajib mengakomodasi aspirasi kelompok manapun, baik mayoritas maupun minoritas. Jika seseorang individu berusia diatas 18 tahun secara sadar memilih LGBT, menurut demokrasi dan HAM pilihan ini harus dilindungi dan dihormati.

Tanggapan saya : saya melihat pendapat ini sebagai pendapat yang rancu dan fatal dalam konteks negara Indonesia. Kita semua harus menyepakati bersama bahwa Republik Indonesia bukan negara demokrasi dalam artian demokrasi yang didefinisikan oleh masyarakat barat. Indonesia memiliki definisi sendiri tentang arti demokrasi. Negara Indonesia adalah negara yang didasarkan pada ideologi Pancasil, bukan ideologi demokrasi yang didefinisikan oleh masyarakat barat. Demokrasi adalah bagian dari Pancasila, namun Pancasila bukanlah Demokrasi.

Prof. Dr. Yudi Latif, seorang pakar hukum dan tata negara, dalam buku “Negara Paripurna” menjelaskan bahwa sila dalam Pancasila bersifat kesatuan organis artinya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap sila dalam Pancasila tidak berdiri sendiri sendiri melainkn saling menjiwai dan meliputi satu sama lain dan sila yang paling tinggi ialah sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga otomatis sila sila dibawahnya harus didasarkan pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45 tidak ada kata Demokrasi, namun para pakar sepakat bahwa Demokrasi secara tersirat tercantum dalam sila ke 4 Pancasila atau aline terakhir Pembukaan UUD 1945 begitu pula HAM tidak tercatum dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 namun secara tersirat ada dalam sila ke 2 dan ke 5 Pancasila.

Namun yang paling penting untuk diingat dan diperhatikan, semua sila sila tersebut harus didasarkan pada sila pertama yakni Ketuhana Yang Maha Esa, artinya demokrasi di Indonesia harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, begitupun HAM di Indonesia harus didasarkan pada KetuhananYang Maha Esa. Wujud dari Ketuhanan Yang Maha Esa ialah agama agama yang hidup di Indonesia, artinya jika ada sebuah tindakan atau perilaku atas nama demokrasi dan HAM yang melanggar dan tidak sesuai dengan nilai nilai yang dianut agama agama yang diakui di Indonesia maka tindakan dan perilaku tersebut harus ditolak. Maka dari itu paham LGBT atas nama demokrasi dan HAM secara konstsitusional harus ditolak.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun