Oleh Achazia*
Baru Baru ini masyarakat dihebohkan dengan berbagai macam isu yang hangat diperbincangkan dimedia seperti kasus pembunuhan mirna, kasus pembunuhan jamal anak kelas 1 SD di depok, banjir yang melanda ibukota dan berbagai daerah di sumatera, samapai yang terbaru kasus jatuhnya pesawat latih tempur TNI AU. Kasus yang tak kalah hebohnya ialah upaya sebagian kalangan untuk mendukung kelompok LGBT diberi ruang dan tempat untuk eksis di Indonesia seperti yang sempat menghebohkan masyarakat ketika di Universitas Indonesia terdapat organisasi yang diduga mendukung dan mempromosikan LGBT. Pada kesempatan kali ini penulis ingin sedikit membahas kasus yang terakhir ini yang akan coba dikaitkan dengan pandangan salah satu filosof terbesar asal Jerman yakni Friedrich Hegel tentang hukum dialektika. Kasus kasus yang lain mungkin dapat dibahas pada lain kesempatan.
Dari laman Wikipedia, dijelaskan bahwa “ LGBT or GLBT is an initialism that stands for lesbian, gay, bisexual, and transgender. In use since the 1990s, the term is an adaptation of the initialism LGB, which was used to replace the term gay in reference to the LGB community beginning in the mid-to-late 1980s. activists believed that the term gay community did not accurately represent all those to whom it reffered”. Dari penjelasan diatas dipahami bahwa LGBT ialah sebuah istilah yang ditujukan bagi orang orang yang memiliki orienstasi seksual yang beragam, yakni lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Istilah ini menggantikan istilah gay yang dianggap tidak cukup mewakili orientasi seksual yang lain yang disebutkan diatas. Kaum LGBT ini akhirnya popular dengan membentuk banyak komunitas dan organisasi tempat mereka berkumpul di Amerika Serikat.
Jumat 26 Juni 2015 Mahkamah Agung Amerika Serikat mengeluarkan keputusan yang membolehkan dan mensahkan pernikahan sesama jenis. Sontak keputusan ini disambut gembira oleh seluruh kaum LGBT di AS dengan melakukan parade besar besaran, mereka turun ke jalan jalan sambil memakai warna baju pelangi, warna yang merupakan symbol kaum gay dan lesbian. Bahkan keputusan inipun tak luput dari perhatian dunia internasional. Sementara Presiden AS, Barack Obama sendiri menyebut keputusan Mahkamah Agung AS tersebut merupakan Kemenangan bagi rakyat Amerika, sebuah keputusan yang monumental dan bersejarah. Obama sendiri merupakan presiden pertama dalam sejarah AS yang mendukung kaum gay.
Sebenarnya AS bukanlah Negara pertama yang melegalkan pernikahan sesame jenis, tercatat Belanda adalah negara pertama yang mengeluarkan keputusan tersebut. Negera negara lain yang tercatat melegalkan pernikahan sesame jenis diantaranya ialah Spanyol, Portugal, Perancis, Belgia, Inggris, Afrika Selatan, Brazil dan Argentina. Namun keputusan Mahkamah AS ini menjadi popular karena AS merupakan negara yang memiliki pengaruh kuat terhadap seluruh dunia baik secara politik maupun budaya sehingga legalisasi pernikahan sesame jenis dianggap merupakan kampanye besar yang juga diharapkan diikuti oleh negara negara lain.
Sementara itu beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indoenesia dihebohkan dengan sekelompok mahasiswa dan alumni UI yang tergabung dalam organisasi SGRC (Support Group and Resource Center On Sexuality Studies) yang dianggap mendukung dan mempromosikan LGBT di lingkungan kampus UI. Meskipun SGRC memakai logo UI, pihak UI sendiri menganggap organisasi tersebut berada di luar UI dan bukan berada dibawah naungan UI. Beberapa aktivis SGRC ini berdalih bahwa apa yang mereka lakukan ialah usaha untuk mendukung kesetaraan dan kebebasan HAM serta upaya untuk mencegah diskriminasi terhadap kaum LGBT. Dan ternyata SGRC ini bukan hanya ada di UI saja, melainkan juga tercatat ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sementara itu, kasus yang terbaru, Forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, and Intersexual Question (LGBTIQ) yang merupakan gabungan dari organisasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ( LBHJ), Komunitas Bumi Kecil, dan Jaringan GWL INA menuntut kepada Presiden Jokowi untuk memberikan sanksi kepada Menristekdikti Muh. Nuh, Mendikbud Anies Baswedan, dan Walikota Bandung Ridwan Kamil atas pernyataan di media yang mereka anggap menebar kebencian dan diskriminasi terhadap kaum LGBT di Indonesia dan merupakan tindakan inskonstitusional sebagai aparat negara yang harusnya melindungi dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk kaum minoritas.
Seperti diketahui, para pejabat negara tersebut sebelumnya berkomentar yang intinya menganggap bahwa paham LGBT tidak sesuai dengan nilai nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia dan berpotensi merusak moral generasi muda sehingga LGBT tidak boleh hidup dan berkembang di kampus yang merupakan tempat yang harus menjadi benteng penjaga nilai nilai budaya bangsa. LGBT sendiri saat ini juga gencar dipromosikan oleh berbagai kelompok di media social, salahsatunya media social LINE yang memuat stiker yang mempromosikan LGBT.
Lalu apa hubungannya isu LGBT ini dengan dialektika Hegel sebagaimana judul di atas?. Dialektika ialah suatu konsep yang diperkenalkan oleh salah seorang dosen pengajar filsafat di Jerman bernama George Wilhem Friedrich Hegel yang hidup tahun 1770-1831 yang memiliki pengaruh yang besar terhadap beberapa tokoh seperti Marx, Feurbach, Max Stirner, Bauer, Kierkegaard, Schopenhauer, Nietszhe, dan masih banyak lagi.. Hegel beranggapan bahwa kehidupan berjalan melalui hukum dialektika yakni pertarungan antara dua hal yang berlawanan. Kesadaran akan dicapai melalui konflik antara dua hal yang bertentangan. Ia mencontohkan misalnya seorang budak akan mempunyai kesadaran diri justru karena tekanan dari tuannya.
Selanjutnya juga ia menjelaskan bahwa semua unsure unsure dalam kehidupan selalu saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai). Semua itu adalah jalan yang akan dilalui akal budi manusia menuju kebenaran atau kesadaran yang disebut Kant telah sempurna dalam Roh Absolut. Proses dialektika misalnya sering digambarkan sebagai proses antara Sebuah Pernyataan (Tesis) berhadapan dengan Pernyataan lain yang bertentangan (Antitesis) yang akhirnya melahirkan Pernyataan Baru (Sintesis).
Meskipun begitu, dialektika bukan berarti kompromi antara dua hal yang bertentangan karena dalam kompromi salah satu pihak mencoba menghilangkan perbedaan yang ada untuk mencapai kesepakatan sedangkan dalam dialektika masih masing pihak harus berusaha mempertahankan unsure unsure yang dianggap benar yang selanjutnya masing masing pihak akan melihat unsure kebenaran pada lawannya yang tidak ada pada pihaknya. Proses dialektika tersebut akan melahirkan sintesis namun bukan dalam artian perpaduan, melainkan mengarah pada suatu pernyataan yang sama sekali baru yang disebut “rekonsiliasi” (aufhebung) yang mencangkup pengertian “pembaruan”, “penguatan” dan “perdamaian”. Dialektika menganggap bahwa setiap pemikiran selalu mengandung potensi kebenaran oleh karena itu tidak bias dihilangkan begitu saja melainkan harus berdialektika yang akhirnya melahirkan rekonsiliasi.
Kasus LGBT jika dilihat dari hukum dialektika ialah sebuah antithesis dari budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai nilai budaya dan agama. Dari 6 agama yang diakui di Indoensia tidak ada satupun yang membolehkan hubungan sesama jenis bahkan dianggap sebagai dosa besar yang dikutuk Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki laki dan perempua. Menurut fitrahnya laki laki berhubungan dengan perempuan begitupun sebaliknya. Jika laki laki berhubungan dengan laki laki dan perempuan berhubungan dengan perempuan itu artinya telah menyalahi fitrah yang telah ditentukan tuhan. Sementara orang orang yang mendukung LGBT berdalih bahwa orientasi seksual setiap orang adalah kebebasan yang merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak bisa diganggu gugat dan dirampas oleh siapapun, sehingga tidak boleh ada yang melarang jika ada seseorang yang memilih pasangan yang sesama jenis.
Kampus sebagai tempat berkumpulnya kaum intelektual yakni dosen dan mahasiswa harus menjadi tempat yang mendukung kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat karena dalam dunia akademik semua orang harus meninggalkan sejenak kultur dan kepercayaannya demi sebuah kajian yang memiliki nilai ilmiah. Termasuk dalam mennyikapi LGBT yang merupakan antithesis dari budaya bangsa Indonesia. Semua elemen kampus harus bersikap netral demi pencarian kebenaran. Akan tetapi akan menjadi masalah ketika kebebasan berfikir tersebut dibawa ke tengah tengah masyarakat umum yang memiliki standar nilai yang dijunjung tinggi yang berdampak pada kontroversi yang luas dan memunculkan sikap khawatir masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi.
Masyarakat kampus yang cerdas harus melihat bahwa, dengan hukum dialektika Hegel, LGBT memiliki potensi kebenaran sebagai ekspresi kebebasan manusia dalam menentukan pilihan hidupnya, meskipun begitu, bangsa Indonesia memiliki nilai nilai luhur yang dijunjung tinggi. Karena LGBT sendiri ialah paham yang berasal dari luar negeri khususnya eropa dan amerika yang memiliki nilai nilai luhur yang berbeda dengan bangsa Indonesia. Bangsa amerika memiliki tradisi liberalism yang sangat kuat yang telah dipraktekan masyarakatnya selama ratusan tahun serta asal usul bangsa amerika sebagai orang orang buangan bangsa eropa yang dahulu nenek moyangnya memiliki hasrat kebebasan yang sangat tinggi dengan meninggalkan bumi eropa. Sementara itu bangsa Indonesia dan masyarakat asia pada umumnya memiliki tradisi religious yang sangat tinggi yang telah dipraktekan oleh nenek moyangnya selama berabad abad lamanya sehingga budaya bangsa amerika tentu sangat berbeda dengan bangsa Indonesia dan bangsa asia.
Lalu bagaimana paham LGBT di Indonesia dapat memberikan sumbangan pemikiran yang mengandung kebenaran meskipun LGBT harus ditolak? Jawabanya dapat ditelaah dari landasan sosio-historis masyarakat Indonesia yang masih menganut budaya patriarki, pemahaman keagamaan yang konservatif, dan kebekuan dan kejumudan berfikir masyarakat yang akhirnya melahirkan berbagai macam ketidakadilan gender yang merugikan salah satu jenis kelamin yang umumnya perempuan. Dari pandangan psikologis misalnya perempuan yang memilih menjadi lesbian dapat disebabkan oleh trauma yang dialaminya ketika berhubungan dengan laki laki, apakah itu ayahnya, saudara laki lakinya, teman laki lakinya, atau pacarnya. Begitupun laki laki yang memilih menjadi seorang gay dapat disebabkan oleh perasaan superior yang dirasakannya sehingga merasa dapat melakukan banyak hal termasuk perilaku menyimpang dan tidak biasa.
Dengan pemahaman seperti diatas, semua pihak tidak lantas menolak begitu saja LGBT dengan sikap dan perasaan emosional semata, melainkan menelaah kembali kondisi sosio historis interaksi laki laki dan perempuan dalam budaya Indonesia yang boleh jadi tidak adil dan merugikan salah satu pihak dan kenyataannya memang demikian sehingga paham LGBT seolah mendapat ruang sebagai ekpresi pelarian orang orang yang menjadi korban ketidakadilan tersebut. Maka proses dialektika antara LGBT dengan Nilai nilai luhur yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia menemukan satu sintesis yakni pemahaman baru dalam bentuk rekonsiliasi yakni penguatan nilai nilai budaya bangsa dengan disertai kesadaran baru mengenai pentingnya melakukan proses rekonstruksi budaya untuk menuju terciptanya kehidupan yang lebih luhur, maju, dan adil bagi masyarakat indonesia dengan tetap berjalan diatas jalur rel sendiri, tanpa harus mengikuti jalur rel bangsa lain. Proses rekontruksi budaya sendiri dalam perjalannya juga akan melakukan proses dialektika antar berbagai pemikiran yang bertentangan yang hidup di tengah masyarakat Indonesia sendiri.
Begitulah hukum dialektika berjalan, semua unsur kehidupan saling berkontradiksi dan berkonflik. Namun dalam kontradiksi tersebut setiap unsur akan menemukan kebenarannya dan akan terwujud dalam realitas yang pada akhirnya akan menuju roh absolut yakni kebenaran tunggal yang sempurna.
*) Mahasiswa Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H