Mohon tunggu...
Amir Hamzah
Amir Hamzah Mohon Tunggu... -

saya orang kampung yang pengen belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Nature

Konservasi Lahan Lebak di Kabupaten Ogan Ilirdengan Teknologi Budidaya yang Berkelanjutan

9 Mei 2012   09:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi tinggi tidak harus canggih dan serba modern, tetapi dapat digali dari cara-cara tradisional yang berkembang di masyarakat. Di Kabupaten Ogan Ilir, teknologi penyiapan lahan sawah pasang surut yang berkelanjutan telah diterapkan petani padi lebak secara turun-temurun ternyata yang mengandung kaidah-kaidah konservasi lahan yang bermanfaat dalam mempertahankan kesuburan tanah serta memperbaiki kualitas tanah dan air.

Setiap puncak musim kemarau, jika di lokasi lain terjadi rawan pangan karena kekeringan di Kabupaten Ogan Ilir justru terjadi kelebihan panen. Mengapa? Setelah ditelusuri, justru pada saat musin kemarau panjang tersebut, areal tanaman padi lebak yang luasnya ratusan hektar di Kabupaten Ogan Ilir justru sedang menghadapi panen raya. Dapat dimalumi, hampir 65 persen luas areal di Kabupaten Ogan Ilir merupakan areal pasang surut/lebak, yang setiap tahun mendatangkan keuntungan rupiah yang tidak sedikit bagi petani di sekitar aliran Sungai Ogan ini. Bulir emas padi yang dipanen tidak hanya bernas, namun juga organik, karena hampir 60 persen lebih lahan lebak di Kabupaten Ogan Ilir secara turun temurun tidak menggunakan bahan-bahan anorganik dalam proses pertumbuhan tanaman, sejak pengolahan tanah, pemeliharaan hingga proses pembalikan tanah untuk ditanam pada musim selanjutnya.

Di pinggiran Sungai Ogan telah lama dikenal sebagai penghasil padi lebak yang sangat terkenal di Kota Palembang. Di lokasi ini, secara turun temurun telah dikenal cara penyiapan lahan sawah lebak dengan cara ditebas, dan dikumpulkan dan dibusukkan. Pada sistem ini, areal lebak yang banyak ditumbuhi gulma dan eceng gondok ditebas dengan menggunakan peralatan tradisional semacam arit pada kondisi lahan berair. Rumput, gulma dan eceng gondok yang telah ditebas biasanya dibiarkan selama 1 sampai 1,5 bulan untuk proses pembusukan.

Setelah proses pembusukan berjalan, rumput, gulma dan eceng gondok yang telah membusuk dikumpulkan dengan cara dikukut dan dilulun. Proses ini dilakukan cara menarik potongan-potongan rumput dan gulma ke permukaan air sehingga seluruh bagian gulma tersebut tercabut dari tanah. Proses selanjutnya adalah menggumpalkan dan memadatkan potongan-potongan gulma tersebut menjadi puntalan berdiameter 40-50 cm. Gumpalan-gumpalan gulma dan rumput yang sudah mulai membusuk dibiarkan sekitar 2 minggu kemudian dibalik dan dibiarkan lagi untuk pematangan dan pembusukan lanjutan. Gumpalan-gumpalan ini selain dihamparkan ke permukaan lahan, juga dijadikan bahan untuk pembuatan tebat atau jalan di sekitar pematang sawah.

Di saat proses pembusukan ini, selain menunggu tinggi rendah muka air, petani mulai mempersiapkan bahan tanaman padi atau menyemai di lokasi lain. Istilah menyemai di Kabupaten Ogan Ilir berbeda-beda, seperti di Desa Sungai Rambutan, proses penyemaian awal tersebut dinamakan proses ”rencam” , yang berarti menanam biji padi secara bergerombol di satu lokasi (biasanya tanah yang tidak berair) tanpa memperhitungkan jarak tanam. Setelah itu proses ”pentanjaran” , yakni proses mencabut bibit padi yang telah tumbuh, kemudian ditanam pada lokasi yang berair. Proses terakhir adalah menanam padi tersebut di lokasi lahan yang telah dibersihkan.

Proses penyiapan lahan tanam masih menggunakan cara-cara dan kaidah-kaidah konservasi melalui teknologi ini yang meliputi reklamasi lahan yang ramah lingkungan dengan mempertahankan keutuhan dan keaslian lahan tanpa merusak lahan tersebut. Secara turun temurun, petani di aliran di Sungai Ogan tidak melakukan pengolahan tanah dengan mencangkul maupun dengan traktor. Pada tanah sulfat masam di lahan lebak terdapat lapisan tanah yang apabila terbongkar menyebabkan tanaman keracunan. Petani di Ulak Segelung dan desa-desa lainnya di Kabupaten Ogan Ilir dengan teknologi yang arif telah mengelola lapisan tersebut dengan cara tidak melakukan pengolahan tanah sehingga aman bagi tanaman. Gulma, eceng gondok dan rumput ditebas kemudian dibiarkan membusuk secara alami untuk selanjutnya dikembalikan lagi ke tanah.

Lahan pasang surut atau areal lebak dikenal sebagai lahan marginal karena kesuburan tanahnya rendah dan tingkat kemasamannya yang tinggi, sehingga tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Memang sampai saat ini belum ada penelitian tentang tingkat pengembalian bahan organik pada sistem pengelolaan padi lebak di Ogan Ilir ini. Namun, hasil panen dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingkat keberhasilan membuktikan bahwa tanpa dengan menggunakan bahan-bahan kimia ternyata padi dapat tumbuh dan menghasilkan bulir-bulir padi.

Namun, patut disayangkan, saat ini cara penyiapan lahan seperti yang diutarakan di atas perlahan namun pasti mulai ditinggalkan masyarakat. Hal pertama, tentu saja disebabkan oleh pemakaian berbagai peralatan moderen seperti traktor untuk proses penyiapan lahan. Anehnya, instansi yang memberikan rekomendasi untuk pemakaian traktor ini justru instansi pemerintah dengan tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Belum lagi, berbagai bahan pupuk kimia yang kemudian mulai diperkenalkan kepada petani semakin meninggalkan petani dari sistem tradisonal yang ramah lingkungan. Seperti kita ketahui, bahwa pemakaian bahan anorganik biasanya akan bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun.

Selain itu, pemakaian bibit tanaman lokal juga mulai ditinggalkan petani di aliran Sungai Ogan ini. Dulu, jenis padi yang ditanam semacam padi pegagan yang tidak berumur genjah, dengan bentuk batang yang tinggih serta tingkat kemasakan padi yang tidak seragam. Saat ini, pada yang ditanam justru padi genjah, dengan masa tanam 100 hingga 120 hari, dengan keunggulan pada batang padi yang pendek dan tingkat kemasakan yang seragam. Beberapa jenis pada ini misalnya, jenis IR 64, ciherang dan sebagainya.Tapi, padi pegagan yang dulu digadang sebagai padi lokal Kabupaten Ogan Ilir mulai jarang ditanam petani. Padahal, padi jenis ini merupakan palsma nutfah yang harusnya dilindungi oleh pemerintah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun