Mohon tunggu...
Amir Hamzah
Amir Hamzah Mohon Tunggu... -

saya orang kampung yang pengen belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Booming Harga Karet: Geliat Kesejahteraan ataukah Konsumerisme Petani

5 April 2011   17:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:05 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Booming harga karet alam akhir-akhir ini tak pelak lagi, menjadi berkah tersendiri bagi petani karet. Namun, seiring dengan kenaikan tersebut juga terselip cerita pilu betapa komsumtipnya para orang kaya baru tersebut. Ya....bak orang kaya baru. Petani yang ketiban rezeki nomplok berkah dari isu perdagangan dunia dan perkembangan industri dunia yang menggunakan karet alam sebagai bahan baku utama tersebut—tampak seperti keranjingan dengan barang-barang lux dan super mewah, yang (maaf) kadangkala tidak sebanding dengan identitas ”kepetaniannya”.Bayangkan, saat krisis ekonomi 2008 lalu harga karet alam merosot hingga level 4 ribu hingga 5 ribu perkilo, saat ini meningkat hingga 20 ribu sampai 25 ribu. Dampak dari gempa dan tsunami Jepang yang menghantam dunia ekonomi dan dunia industri Jepang sedikit banyak memang berpengaruh, namun minggu lalu ternyata harga karet alam di tingkat petani masih dianggap tinggi, walau belum setinggi beberapa saat sebelum gempa dan tsunami Jepang melanda.

***************************************

Hari masih sangat pagi, dinihari malahan. Kesibukan di rumah panggung berdinding kayu kelas tiga tersebut mulai tampak. Suhaili (40 tahun), sang kepala rumah tangga, sekaligus ayah dari empat orang tersebut mulai berkemas. Pisau sadap karet sudah ditentengnya, tak lupa sebilah golok dia selipkan di pinggangnya. Di dapur, istrinya juga ikut berkemas, bekal tak lupa disiapkan, sekaligus sarapan pagi untuk ketiga anaknya nanti saat sarapan pagi tiba. Tak berapa lama, raungan dari yamaha tua keluaran 1978 mulai terdengar, maka meluncurlah Suhaili dan istrinya ke kebun karet yang berjarak 4 km dari desanya.

Ya.....kesibukan petani karet di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan ---75 km dari kota Palembang --ini mulai terlihat saat dinihari, saat di mana sebagian masyarakat kita masih terlelap, malahan masih asyik dengan mimpinya. ”Kalau kami, karena masih ada anak usia sekolah, sekitar jam 5 pagi berangkat ke kebun karet. Namun, ada yang mulai nampas balam (menyadap karet, red.) mulai jam 9 malam,” cerita Suhaili, saat bertemu dengan penulis Minggu (3/4) lalu. Saat harga karet melambung tinggi seperti saat ini, menurut Suhaili, merupakan hal yang wajar jika banyak petani di daerahnya yang ”gila kerja” , hingga mulai bekerja saat malam ataupun dinihari. Perasaan takut atau semacamnya tak diindahkannya, karena baginya saat inilah kesempatannya untuk mengeruk keuntungan dari ladang karetnya. Dari kebunnya yang hanya 700 batang karet, menurutnya, setiap minggu, biasanya saat hari pasaran tiba (di pelosok Sumsel, biasanya di sebut kalangan, red.) dia bisa mendapatkan lebih dari 100 kilogram getah karet atau latex. Kalau per kilo harganya 17 ribu rupiah, berarti lebih dari 1,7 juta pendapatannya selama seminggu. Idem dito, saat ini lebih dari 5 juta rupiah diterimanya setiap bulan.”Itu baru 1,5 hektar, padahal banyak penduduk di sini yang mempunyai lebih dari 2 hektar kebun karet,” tambah Suhaili lagi. Perlu di ketahui, dengan jarak tanam karet 4 x 5 meter, sehektar lahan bisa ditanami hingga 500 batang tanaman yang diambil getahnya ini. Jadi, kalau 2 hektar, pohon karet yang dapat disadap tersebut mencapai 1000 batang. Kalau dirupiahkan, pendapatan kotor petani karet yang mempunyai lahan rata-rata 2 hektar mencapai 7 sampai 8 juta per bulan, 3 kali lipat dari gaji PNS golongan IIIb. Padahal, di luar pulau Jawa, rata-rata kepemilikan lahan tersebut sangat berbeda dengan rata-rata kepemilikan lahan di Pulau Jawa yang hanya 0,2 hingga 0,25 hektar per kepala rumah tangga. Di luar Pulau Jawa, Sumatera ataupun Kalimantan kepemilikan lahan rata-rata mencapai 2 hingga 3 hektar per kepala rumah tangga. Sehingga, tidaklah heran jika penduduk yang bekerja di sektor pertanian karet ini menjelma menjadi orang kaya baru. Cerita yang relatif sama dengan para petani sawit di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang sepuluh tahun terakhir dimanjakan dengan kenaikan harga komoditas pertanian non migas tersebut.

Kenaikan harga tersebut berujung dengan mulai terbukanya pintu kesejahteraan petani, khususnya petani karet. Di berbagai pelosok pedesaan di Sumatera Selatan, mulai terlihat geliat tersebut. Rumah penduduk yang tadinya masih berdinding kayu kelas III, saat ini berubah menjadi beton, dengan peralatan rumah tangga yang mewah. TV merek Jepang 32 Inc yang selama ini hanya dipunyai beberapa orang kaya di desa, saat ini mulai dinikmati banyak orang. Sepeda motor tidak lagi menjadi barang mewah, di setiap rumah, hal yang lumrah jika mempunyai lebih dari satu kendaraan roda dua tersebut. Di sudut-sudut desa, mulai muncul dealer motor Jepang, yang beberapa tahun ini hanya berekspansi di sekitar kecamatan. Perusahaan perkreditan barang elektronik dan furniture semacam columbia, colombus dan semacamnya mulai menarik minat warga desa, karena berani menawarkan jasanya dengan tanpa agunan. Perusahaan leasing mobil juga turut kebagian rezeki dengan mulai membanjirnya petani yang membeli mobil, entah apa yang ada di pikiran mereka, karena terkadang jalan yang dilewati bukanlah jalan mulus, semulus mobil baru yang dikendarainya. Maka tidaklah heran jika cerita selorohan di sekitar krisis moneter di penghujung 1998 lalu terkuak lagi, ketika masyarakat di perkotaan didera dengan kelangkaan sembilan bahan pokok (sembako) ataupun jepitan harga sembako yang mulai mencekik, terpecik cerita tentang masyarakat petani lada yang ketiban rezeki dengan boomingnya harga komoditas pertanian---membeli kulkas, namun ketika dibawa ke desanya yang belum ada listrik, peralatan tersebut tak bisa digunakan. Akhirnya, daripada tidak dapat digunakan sebagai lemari pendingin, jadilah barang tersebut menjadi lemari pakaian. Nah lho.....!

Jangan heran, jika sebuah kijang, second memang, meluncur di jalan setapak yang licin dan berlumpur, menyelinap di antara pepohonan karet, mengantar sang pemiliknya ”hanya untuk” menyadap karet.

Maka, penulis atau bagi anda yang meresapi pemandangan tersebut, mungkin mulai berfikir, booming harga karet ini, apakah geliat kesejahteraan petani ataukah gejala konsumerisme yang mulai melanda petani kita? Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun