Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... Guru - Guru

www.berandaedukasi.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sinergitas Tri Pusat Pendidikan dalam Pembentukan Karakter Anak

14 Agustus 2018   08:31 Diperbarui: 14 Agustus 2018   09:36 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis mulai opini ini dengan sebuah narasi.

Tiga orang siswa berjalan beriringan dari sekolah menuju rumah masing-masing. Di tengah perjalanan itu mereka mendengar azan zuhur  berkumandang. 

Anak pertama berkata pada dua temannya lalu mengajak salat ke masjid---sesuai dengan nasihat-pelajaran dari guru di sekolah---apabila azan berkumandang untuk segera melaksanakan salat. 

Anak kedua menyahut dan memprotes ajakan anak pertama dengan alasan ia melihat masyarakat di lingkungan tempat tinggal tidaklah merespon panggilan salat itu. Anak kedua tersebut berkata, "coba perhatikan bapak-bapak di warung itu, mereka asik duduk di warung bermain, padahal mereka sadar azan telah terdengar, tapi toh mereka acuh saja!"

Anak ketiga berkata pula, "iya, ya, begitupun orangtuaku, ketika azan berkumandang, orangtuaku masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah asikan nonton televisi sedangkan ibu bergelut dengan gadged sambil cengar-cengir entah. 

Ketiga anak itu pun sepakat bahwa nasihat guru tidak begitu penting bila orang-orang yang terdekat---sering mereka jumpai tidaklah sepenuhnya mengamalkan apa yang diajarkan guru tersebut dengan sebenar-benarnya. Ketiga anak tersebut memutuskan untuk pulang saja. Dari kejauhan guru melihat anak-anak didiknya dengan tatapan iba.

Narasi ini adalah fenomena paling sederhana yang sering dijumpai anak-anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikannya. Tapi berdampak besar dalam perkembangan psikologis dan keyakinannya terhadap nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai keagamaan. 

Meskipun dalam menempuh pendidikan di sekolah atau madrasah anak-anak selalu diajarkan tentang nilai-nilai karakter  dan ajaran agama dengan baik, tapi bila lingkungan keluarga dan masyarakat tidak mendukung perkembangan pengetahuan anak dengan realita yang sebenarnya, hasilnya pun tidak maksimal diperoleh anak didik. 

Karenanya, peran keluarga dan masyarakat sangat-sangat dibutuhkan untuk membantu perkembangan kognitif, afektif serta perkembangan spritualitas anak-anak dalam masa pertumbuhannya menjalani pendidikan di sekolah.

Orang tua dan masyarakat tentu menginginkan anak-anak mereka menjadi generasi penerus masa depan lebih baik lagi dalam mempersiapkan tantangan kehidupan. Apakah itu tantangan dalam bentuk ekonomi, politik, dan agama. Apalagi tantangan terhadap dekadensi moral anak-anak zaman kini yang jauh dari nilai-nila kehidupan itu sendiri. Hal tersebut menjadi impian setiap orang terkhusus keluarga bagi tiap anak. 

Maaf, sejahat-jahatnya orangtua akan memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Begitupun dengan kondisi masyarakat yang buruk akan merindukan generasi yang baik-baik. Itu pasti dan faktanya memang begitu. 

Tapi sungguh disayangkan sekali, mereka lupa atau tidak paham bahwa keberhasilan anak-anak dalam menempuh pendidikan itu tidak sepenuhnya diharapkan kepada lembaga pendidikan khususnya guru. Ada peran yang lebih besar yang harus mereka perbuat untuk menunjang keberhasilan anak-anak dalam masa pertumbuhan pendidikannya.

Lembaga pendidikan di satuan pendidikan dan guru yang mendidik mereka tidak mampu berperan terlalu jauh dalam membentuk karakterisitik anak-anak. 

Para guru hanya melakukan kerjanya sesuai kapasitas dan waktu yang mereka miliki. Seperti mentransef pengetahuan, menanamkan nilai-nilai kebaikan, memberikan nasihat-nasihat dan memfasilitasi belajar anak di lingkungan sekolah.  

Anak-anak memiliki waktu 1/3 di sekolah dan 2/3 lagi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Bila di lingkugan keluarga dan masyarakat yang presentasinya 2/3 tentu mempunyai waktu lebih banyak bersama anak. 

Besar kemungkinan akan memberikan pengaruh lebih besar terhadap perkembangan kehidupan anak. Nah, dari sini mulai disadari bahwa keluarga bilkhusus orangtua dan masyarakat harus bersinergi dengan lembaga pendidikan sehingga terbentuknya tri central education (tiga pusat pendidikan).

Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak dan orangtua sebagai pendidik utama yang akan menentukan perkembangan fisik, psikis, dan karakter anak. 

Baik-buruknya karakter seorang anak ditentukan oleh orangtua. Meminjam istilah Ramayulis (2015)[1], orangtua bisa menjadikan anaknya masuk surga atau neraka. Sejalan dengan perkataan Nabi Muhammad Saw, bahwa orangtualah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi[2] Sedangkan lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan kedua bagi anak untuk memproses dan meningkatkan kompetensi dan membentuk karakter anak ke arah yang lebih baik. 

Di sekolah anak dibekali dengan berbagai macam pengetahuan. Diberikan pengalaman-pengalaman edukasi, serta difasilitasi untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak. Dan masyarakat sebagai lahan bagi anak untuk mengaplikasikan nilai pengetahuan, pengalaman, dan keterampilannya. Dalam lingkungan masyarakat anak juga akan memperoleh pendidikan dan pengajaran yang tidak ia dapat di lingkungan keluarga maupun sekolah.

Analogikanya seperti ini, sekolah adalah tempat mencari bibit-bibit unggul dan lingkungan masyarakat sebagai lahan menanam, guru dan orangtua adalah petani. 

Ketiga unsur tersebut harus bekerja sama membentuk dan menjadikan bibit tersebut menghasilkan tanaman-tanaman yang bermanfaat. Jika salah satu unsur itu tidak berperan dengan baik dan melepaskan diri dari peran mereka masing-masing, alamat tanaman tidak akan berbuah. Agaknya analogi ini mampu mendeskripsikan bahwa ketiga unsur (tri pusat pendidikan) itu mampu saling bersinergi dan bekerjasama.

Ketiga sektor tersebut merupakan sebuah lingkaran yang kait-mengait, bertautan, berkesinambungan dalam membentuk karakter anak. Jika salah satu di antara ketiga lingkungan itu putus dan melepaskan perannya sebagai lingkarangan dalam pendidikan anak maka aka dipastikan bahwa perekembangan pendidikan anak pun akan timpang dan rusak.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan dan mencetak generasi muda yang intelektual, berkarakter, bermanfaat dan berguna maka perlu diterapkannya nilai-nilai pendidikan tersebut dalam setiap sektor atau lingkungan tersebut.

Internalisasi nilai-nilai dalam lingkungan keluarga dan masyarakat adalah parameter untuk menetukan keberhasilan anak dan membantu mewujudkan misi sekolah dan tujuan pendidikan. 

Perlunya internalisasi nilai-nilai tersebut dalam lingkungan keluarga dan masyarakat adalah sebuah jawaban atas ketimpangan pendidikan yang terjadi belakangan ini. Dimana peserta didik dalam masa pendidikan yang ditempuhnya itu terjadi kerusakan-kerusakan moralitas dan integritas dalam kehidupan yang dijalaninya.

Sebagai contoh banyaknya terjadi tawuran antar pelajar, perbuatan asusila, kriminalitas dalam bentuk yang halus sampai kasar, dan kualitas pendidikan yang merosot. Terjadinya dekadensi moral dalam pribadi anak adalah bias dari pendidikan keluarga dan masyarakat yang tidak sejalan dengan misi pendidikan di lembaga pendidikan. 

Penulis berani menekankan di sini dan sesuai deskripsi dari narasi yang penulis singgung di awal opini ini adalah anak melihat banyaknya ketidak-cocokan antara teori dengan praktik, antara materi dan pengamalan yang mereka dapat di sekolah dan dibandingkan di tengah keluarga dan masyarakat. 

Di sekolah diajarkan untuk salat, di rumah orangtuanya tidak salat. Di sekolah dibekali dengan nilai-nilai kehidupan sedangkan di lingkungan masyarakat mereka kehilangan keyakinan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut.

Sebetulnya ini perihal ini sudah sangat lama disadari oleh keluarga (orangtua) dan masyarakat, namun masih belum mampu untuk menciptakan suasana yang bisa mendukung dan memberikan penguatan terhadap keyakinan dalam diri anak.

Dalam tulisan ini, penulis ingin memunculkan gagasan yang sebetulnya sudah menjadi produk lama yang dulunya dilakukan oleh orangtua dan masyarakat dalam mendidik generasi anak-anak. 

Namun seiring perkembangan zaman hal tersebu telah luntur bahkan hampir hilang warna-warni kehidupan pendidikan keluarga dan masyarakat yang bernuansa edukasi.

Untuk mengembalikan semua memori yang dulunya akrab di tengah masyarakat hal penting yang perlu dilakukan keluarga dan masyarakat adalah menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. 

Keluarga dan masyarakat berperan sebagai partner guru untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara optimal. Lalu apa saja gagasan dan ide yang dapat dilakukan kelurga dan masyarakat untuk menunjang pendidikan anak.

Pertama, Tradisi Lisan.

Tradisi lisan adalah pola pendidikan klasik yang diberikan orangtua sejak anak masa pertumbuhan pra sekolah. Dimana orangtua menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui cerita-cerita inspiratif dalam diri anak. Melalui tradisi lisan hubungan emosional antara anak dan orangtua lebih dekat dan akrab.

Menurut AA.Navis (1984) [1] dikutip Hasanuddin WS tradisi lisan adalah warisan kebudayaan yang berupa warisan moral-spiritual yang didapatkan dan diketahui melalui tradisi keyakinan masyarakat. 

Meskipun Navis berpendapat bahwa tradisi lisan adalah nyanyian, cerita, dan kisah-kisah inpiratif dalam ketika hendak menidurkan anak. Tapi penulis memahami makna dan perkembangan tradisi lisan itu adalah sebagai upaya untuk selalu memberikan nasihat, pengalaman, pengajaran, dan tata-aturan kepada anak dalam pendidikannya.

Tradisi lisan adalah suatu aset budaya yang hampir punah dengan kedatangan dan perkembangan teknologi dan telekomunikasi yang begitu hebat. Dimana peran teknologi dalam kehidupan ini memberikan dampak besar dalam mendidik anak. 

Maka usaha untuk melestarikan kembali budaya bercerita (lisan) akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan karakter generasi muda. Orantua memiliki peran yang besar untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak secara lisan melalui cerita-cerita.

Dulu budaya bercerita di kalangan orangtua adalah suatu pola dalam mendidik anak, dengan pola tradisi lisan itu anak akan mengingat dan menyimpan nilai-nilai terkandung dalam cerita-cerita yang disampaikan orangtuanya. Dari nilai-nilai itu anak tumbuh dengan karakter baik dan hati yang lembut dan bahasa yang santun.

Fenemona zaman now ini, betapa nilai-nilai hidup itu tidak lagi meresap dalam diri anak-anak. Mental lemah dan kurangnya tatakrama sopan santun dan sikap saling menghargai dalam pergaulannya di masyarakat. Oleh karenanya, orangtua harus kembali membudayakan berlisan atau bercerita dengan anak untuk menanamkan pendidikan karakter dalam kehidupan anak.

Kedua, Teladan atau Ketauladan

Setelah anak dibekali dengan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, peran orangtua dan masyarakat adalah memberikan ketauladan pada anak. Tauladan itu sangat penting bagi anak dalam rangka menemukan kebenaran dan mencocokan antara teori dengan praktik. 

Anak-anak lebih cenderung melihat mengamati kemudian menyimpulkan lalu meniru apa yang diperbuat oleh orang-orang disekitarnya. Justru itu tauladan sangat diperlukan dalam pembinaaan anak.

Ketiga, Rasa Tanggung Jawab

Menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri anak sangat perlu untuk dilatih. Bentuk mental yang positif dalam dirinya, kemandirian, berdikari, dan dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupannya. 

Saat kini banyak anak yang terlalu dimanjakan orangtua sehingga anak tumbuh cengeng, mental melow dan suka mengeluh, sehingga hilanglah tanggung jawab atas dirinya sendiri.

Sayang pada anak bukan berarti memberika pelayanan sepenuhnya kepada anak, jsutru harus melatih anak untuk bertanggung jawab atas apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Referensi:

[1]  Lihat Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Filosofis Sistem Pendiidkan Islam), (Jakarta: Kalam Mulia, 2015)

[2](HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud). Rujuklah ke sumber kitab hadits

[3]  Lihat Kata Pengantar Hasanudidin WS dalam Tradisi Lisan Maondu Pojo (Padang: Sukabina Press, 2014) dan AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: Grafiti Press, 1984)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun