Lama ia renungkan seorang perempuan. Perempuan berkacamata minus yang acapkali datang dalam kesendiriannya. Malam itu, hujan turun sejak senja hingga tengah malam. Lelaki penyuka hujan dan kopi itu begitu khidmat dalam lamunannya.Â
Beberapa ekor nyamuk hinggap di kening dan pipinya ia biarkan begitu saja. Kadang ia tersenyum kadang murung, kadang bergumam lirih, kadang tubuhnya gemetar menyenandungkan puisi.
Sesekali ia kibaskan nyamuk-nyamuk itu dengan bandana yang melingkar di leharnya. Kemudian ia menyelipkan rokok di bibirnya dan menghembuskan asap ke lorong meja tempat nyamuk bersarang. Ia pun kembali pada hayalan yang tidak tahu kapan akan selesai.
Sejak ia mempercayaiku sebagai teman, aku tidak meninggalkan ia dalam kesendirian. Meskipun kehadiranku hanya sekadar pendengar celoteh, puisi, dan curhatan hatinya tatkala ia sedih. Tapi ia menyukaiku sebagai teman, kadang aku merasa tak pantas ia berlebihan. Aku hanya seonggok bayang yang menemaninya dalam tiap kesendirian itu.
Dulu ia lebih suka membaca buku daripada bermenung. Aku akan menyimak banyak kisah sejarah peradaban manusia. Atau cerita-cerita pendek  dan beberapa syair dari negeri dongeng para penghayal. Ia ceritakan semua kisah yang ia temukan dalam buku-buku cerpen dan novel.Â
Aku menyimak dengan antusias. Mulutnya berdecap-decap mengisahkan tentang novel romance yang mengisahkan percintaan sepasang kekasih yang berbeda suku dan adat. Kultur dan prinsip kedaerahan itu. Begitu kagum ia pada laki-laki dalam kisah romance itu.Â
Sebuah perjalanan panjang penuh mistik yang lahir dari kebudayaan para khurafat. Tapi, bagi laki-laki itu, ia begitu yakin bahwa cinta adalah kebebasan untuk mengekspresikan pengalaman dan tekad. Ia beranikan diri mencintai perempuan yang lahir dari suku yang tidak mempercayakan tentang persamaan.
Aku terus menyimak cerita dari mulutnya. Sesekali aku harus menahan napas tatkala ia menghembuskan napas panjang dari mulut dan hidung. Asap rokok memenuhi ruangan ini. Sesekali ia teguk kopi di sebelahnya itu.
Malam kian larut, hujan belum berhenti turun. Lelaki itu tidak pernah memejamkan mata sebelum pergantian hari. Ketika pukul nol-nol berdenting satu kali, ia baru bergegas menutup buku dan menghabiskan sisa-sisa kopi. Aku tahu betul ritual lelaki itu sebelum memejamkan mata, ia akan bergumam sebelum terlelap. "Semoga esok hari lebih baik, dan menemukan seseorang untuk kuajak bermenung,".
Malam itu, hujan turun kian deras. Ia masih larut dalam lamunan panjang yang tiada berkesudahan. Seperti banyak hal yang ada dalam pikirannya itu. Apalah agaknya yang dipikirkan lelaki yang melarutkan diri dalam kesendirian, kalau bukan tentang seseorang yang telah hadir dalam kehidupannya.Â
Pada malam itu, di sehelai kertas putih, ia menulis inisial nama perempuan, "Maria dan Persuaan Dua Telapak". Aku tidak mengerti tentang Maria, juga tentang Persuaan Dua Telapak. Sejauh ini, sebagai teman akrab dalam kesendiriannya, ia tak pernah menceritakan Maria.