Mohon tunggu...
Acerevan
Acerevan Mohon Tunggu... -

Bukan bisa atau tidak bisa, melainkan mau atau tidak mau.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia — Beragam

11 Agustus 2014   23:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari di sebuah negeri yang kaya dan makmur, terdapat enam jenis warna yang mengisi negeri tersebut: merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu; begitulah mereka menyebut diri mereka. Di negeri tersebut, kaum merah dan ungu adalah pendatang yang mendiami negeri tersebut untuk maksud berdagang. Sementara oranye, kuning, hijau, dan biru sudah sejak lama menjadi empat kaum besar pendiri negeri tersebut.

Sampailah di suatu hari, enam wakil dari tiap kaum warna berkumpul dan berbincang.

"Warna di kaumku adalah yang terbaik di negeri ini. Lihatlah, hampir sebagian besar tumbuhan adalah hijau. Jangan lupa, hijau melambangkan hal-hal positif bagi negeri kita."

Mendengar hal tersebut, warna biru tak mau kalah, "Eits, jangan begitu. Kau lupa ya bahwa kaumku adalah pemberi rasa teduh dan dingin bagi negeri kita? Air dan langit semua berwarna biru, kami tenang dan sabar. Kau boleh berwarna hijau, tapi tanpa air, kau bukan apa-apa!"

Warna ungu pun menyela, "Ckckckck.. Negeri ini tak pernah berkembang tanpa aku! Kalian ini hanya tinggal saja di negeri ini, tak bisa berkreasi. Warna ungu adalah warna kemuliaan, gagah dilihat. Bahkan, di era modern seperti ini hampir sebagian besar barang yang kalian pakai adalah produksi kaum ungu."

Tentu saja, warna merah tak mau menghentikan percakapan, "Wahai ungu, kau sendiri yang bilang -hampir- sebagian besar. Tentu saja kau benar, soalnya sebagian besar produksi kaumku ada di negeri ini. Dari mainan sampai teknologi, bangsaku yang menguasai. Bahkan, kami tak hanya pintar produksi, tapi juga mengakali pengunjung agar membeli produk kami, entah baik ataupun tidak. Usaha dong, baru bicara!"

Warna kuning hanya diam, tanpa sepatah kata.

***

Cerita singkat di atas adalah gambaran negeri kita, bahkan ironisnya dunia kita saat ini. Tidak hanya di negara maju, bahkan di desa terkecil di Indonesia pun sudah mulai 'gengsi' untuk meninggikan rasnya. 'Ras ku yang paling baik!" pikirnya. Bangsa asli Indonesia di bagian barat membanggakan kedaerahannya yang masih kental, serta rasa persaudaraan yang kuat. Kaum Jawa membanggakan kelemah lembutannya. Orang-orang Dayak menjunjung tinggi kekuatannya. Gadis Sulawesi adalah yang terbaik, pikir beberapa orang. Papua kaya akan keanekaragaman hayati di sana.

Mungkin penulis tak sepenuhnya benar dengan pernyataan di atas. Mungkin kedaerahan di Sumatera bukan yang dibanggakan. Mungkin lemah lembut orang Jawa tidak dibanggakan. Mungkin di Kalimantan kekuatan tidak dijunjung tinggi. Mungkin juga orang Sulawesi bilang orang Jawa lebih baik. Mungkin juga Papua lebih membanggakan hal lain. Penulis tak tahu. Tetapi satu hal yang pasti, Indonesia bukanlah Indonesia tanpa orang Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Negara ini lahir dari rahim yang sama, rahim seorang ibu. Manusia. Apakah sang Pencipta membedakan seorang dilahirkan dari rahim yang lain? Tidak! Bahkan tak satupun dari manusia yang menghembuskan nafasnya di bawah matahari dapat keluar dari kandungan secara otomatis. Pastilah seorang ibu yang membantu. Pastilah seorang bidan ataupun dokter mengoordinir. Pastilah ada seseorang di sampingnya yang menjaga.

Bagaimana dengan orang Tionghoa? Hindustan? Timur Tengah? Kaukasia?

Apakah sebuah lukisan akan bagus bila dilukis hanya dengan satu warna? Tentu tidak. Seperti yang sudah digambarkan oleh penulis, setiap ras yang sudah dianugerahkan Tuhan adalah sama, dan perbedaan itu tidak dapat dibandingkan. Penulis boleh menyukai warna merah, tetapi tidak berarti warna hijau lebih buruk daripada warna merah, bukan?

Berhentilah berkata "Orang Israel itu pembunuh!" "Orang Tionghoa penipu!" "Orang Jawa pemalas!"
Tuhan menciptakan ras bukan untuk membedakan. Jika seseorang berbuat salah, itu bukan mewakili tradisi ras tersebut. Pilihan orang untuk berkelakuan, bukan ajaran ras untuk berbuat jahat.

Memang, kita semua bukan sedarah. Tapi.... Kita sebangsa dan satu kesatuan, MANUSIA. Kemanusiaan kita akan terus berada di dalam diri kita selama kita masih bernafas. Kita sama-sama tak sempurna, kita sama-sama memiliki kelebihan tersendiri. Mari, kita bangun kembali Indonesia yang satu, Indonesia yang beragam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun