Oleh Acep Jamaludin (Cepjam)
Saya memulai tulisan ini dari sebuah pengalaman pribadi yang pernah mengikuti berbagai forum diskusi, melakukan demonstrasi dan membaca dari sejak 2014. Ketika saya masuk lingkungan kampus dimana dalam beberapa pengalaman saya hingga saat ini mendapatkan sebuah kesimpulan jika kebijakan politik yang dilakukan oleh rezim jokowi menggunakan cara memaksa dan merayu agar dapat dukungan rakyat banyak padahal menindas.
Diawali pada tahun 2014 ketika saya baru masuk menjadi mahasiswa di salah satu kampus di bandung, saat itu perbincangan mengenai terpilihnya presiden Joko Widodo dianggap akan membawa angin perubahan dengan gagasannya mengenai jalan perubahan. Selain itu beliau selalu terlihat sederhana dengan selalu melakukan blusukan di gorong-gorong dan atau tempat lainnya yang tidak pernah presiden sebelumnya memiliki kesederhanaan tersebut.Â
Terlepas dari hal itu saya selaku mahasiswa baru yang tidak mengerti mengenai apa yang harus dibicarakan meskipun saat itu saya mencoblos Joko Widodo, namun saya mengingat sampai sekarang mengenai Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian'". Visi misi tersebut dimulai dengan memaparkan tiga masalah utama bangsa, yaitu "merosotnya kewibawaan negara", "melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional", dan "merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa". Ketika saya tahu hal tersebut saya langsung percaya bahwa kedepan perubahan besar akan dimulai dan ditahun ini saya hanya melakukan pendidikan serta mencari tahu saja.
Setelah itu tepatnya di tahun 2015 secara mengejutkan Joko Widodo meluncurkan paket ekonominya dari I hingga VII dengan waktu 4 bulan kurang lebih paket ekonominya berisi berbagai macam kebijakan; mulai dari deregulasi aturan, pemberian insentif pajak hingga kemudahan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB).Â
Paket-paket ini diluncurkan dimulai pada 9 september 2015 dan paket terakhir di 21 desember 2015. Kementerian desa yang secara besar besaran merombak struktur sampai tingkat desa menjadi penambah angin segar selain paket-paket tadi, yang dulunya ada PNPM digantikan dengan Pendamping Lokal Desa. Disini saya mulai melihat sebuah perombakan yang lebih baik dan akan membawa percepatan kemajuan meskipun saya belum memahami secara analisis seluruhnya, namun ditahun ini saya sudah mulai terlibat aksi-aksi di dalam kampus mengenai sistem UKT/BKT yang hasil diskusi akan merugikan bagi mahasiswa selain itu aksi aksi menolak kenaikan BBM,Masalah Beras Bulog dan lainnya.
Kemudian pada tahun 2016 tidak terlihat pergerakan yang besar yang saya ketahui hanya seputar ekonomi saja, namun di tahun 2017-2018 disini pergerakan mulai membesar pertama mengenai reforma agraria palsu dan konflik lahan yang terus menggunakan aparat bersenjata dalam penyelesaiannya. Selain itu pergerakan penolakan mengenai direvisinya UU MD3 yang dianggap akan mengancam demokrasi indonesia memancing mahasiswa untuk melakukan demonstrasi dimana-mana dan di tahun ini saya sedang menjabat menjadi ketua senat mahasiswa, maka setidaknya saya sudah mulai terlibat dalam pergerakan langsung penolakan mengenai isu nasional meskipun di tahun ini tidak mendapat dukungan dari banyak kalangan untuk sama sama menolak kebijakan pemerintah.
Selanjutnya pada tahun 2019 menjadi puncak gelombang penolakan yang sangat besar. Selain karena situasi politik pada tahun ini tidak stabil dengan menyisakan dendam bagi kedua pihak yang berkontestasi dalam pemilihan presiden, juga ada kebijakan yang menuai banyak penolakan dari semua aktivis pergerakan lintas sektor. momen ini dijuluki gerakan Reformasi Dikorupsi yang intinya Menolak Revisi RUU KUHP dan Revisi RUU KPK. Unjuk rasa dan kerusuhan terjadi di seluruh indonesia dengan memakan korban jiwa juga luka-luka. aktivis yang ditangkap serta mengalami kekerasan oleh aparat keamanan juga tidak sedikit. Semua kritik dan masukan itu totally tidak sama sekali direspon oleh pemerintah. Bahkan kebijakan-kebijakan itu masih ada sampai hari ini.
Tahun 2020 sampai 2022 di tahun ini dunia mengalami serangan pandemi covid 19 yang mengakibatkan negara melakukan kebijakan yang darurat untuk menangani badai pandemi ini, disisi lain memang ya indonesia sukses melewati badai pandemi namun disisi lain menyisakan penderitaan rakyat yang tidak akan pernah dilupakan, dimulai dari kebijakan membatasi aktivitas yang berakibat mengenai ekonomi, pendidikan dan kesehatan terlihat jelas akan ketimpangannya, lalu keputusan pengesahan UU Omnibus Law paket UU yang didalamnya memuat klaster krusial bagi masa depan generasi namun dibahas dan disahkan dengan cepat, ditambah di tahun 2022 para pejabat mengusulkan adanya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. sama halnya seperti 2019 tahun-tahun ini sangat melelahkan dan wajah rezim jokowi semakin menampakan akan keberpihakannya kepada oligarki.
Dari hal tersebut buatlah konsep oposisi biner yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan antara pro pemerintah dan tidak pro pemerintah, mengacu pada pandangan gramsci yang mengatakan bahwa kekuasaan yang langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Rezim jokowi mewujudkan kebijakan politik lewat memaksa sekaligus membujuk.Â
Perangkat yang memaksa dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pengadilan, kepolisian, TNI dan Penjara. Sedangkan perangkat membujuk dilancarkan melalui bidang pendidikan, keagamaan, kebudayaan dan keluarga. Semua itu dibantu oleh media untuk menyampaikan pesan negatif kepada rakyat yang menolak kebijakan rezim jokowi.
Perkembangan politik mutakhir melihat bahwa rezim jokowi berpotensi menjadi otoriter yang legal, hal itu terlihat dari campur tangannya dalam sengketa kepengurusan partai politik, dilakukannya politisasi hukum terhadap para ketua partai, berkumpulnya oligarki di dalam kabinet, tebang pilih terhadap para koruptor, hilangnya independensi lembaga antirasuah, pejabat yang berkuasa adalah keluarga dan masih banyak yang lainnya.Â
Dalam rangkaian perkembangan ini kita perlu menegaskan suatu kebijaksanaan, yaitu bahwa kekuasaan tidak akan bertahan lama tanpa kebenaran dan kebenaran takan terlaksana sebagaimana mestinya tanpa kekuasaan yang sejalan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebenaran yang efektif hanya akan berlaku jika adanya praktik konkrit dimana saling menghormatinya antara negara dan rakyat, meskipun negara mampu melakukan rekayasa politik yang canggih untuk memonopoli kebenaran. Akan tetapi, dalam politik nyata kebenaran adalah sesuatu yang dinamis dan terbuka serta akan menuntut partisipasi luas yang mustahil dibatasi hanya dalam legalitas dan formalitas yang melewati batas etika pejabat publik serta moral dengan pamer kemewahan dan menggunakan kekuasaan untuk suksesi di tengah penderitaan rakyat.
Kita tidak bisa memaksa orang untuk berbuat baik sebab yang namanya manusia pada dasarnya bebas untuk memilih, begitu pula pak Jokowi beliau bisa memilih. Namun beliau pun harus ingat bahwa dirinya menjabat menjadi presiden di negara dengan segudang masalah yang harus lebih banyak diperhatikan untuk diselesaikan secepat mungkin, dibandingkan harus cawe-cawe capres atau suksesi kepada presiden selanjutnya.
Saya rasa dari awal 2014 kesan baik pada pak jokowi sangat positif jangan sampai diakhir masa jabatannya. Jangan sampai kesan tersebut hilang hanya karena bisikan-bisikan yang merusak masa depan indonesia.
Bagaimanapun kekuasaan akan membawa fitnah bagi penguasa maupun rakyatnya. Penguasa dapat mempengaruhi hubungan emosi, pandangan, pengekangan dan perilaku antar aktor politik, pengikut dan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, penguasa yang mampu mengendalikan diri terhadap wewenang dan kekuasaan yang ia pegang (tidak menindas rakyat dan tidak berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok koalisi atau primordial) akan membawa kesan secara baik dan adil. Jika hal ini dibiarkan maka neo orde baru yang lebih destruktif akan terkonsolidasi, terlebih dengan gaya rezim hari ini yang melegalisasi semua keotoriterannya berdampak pada rakyat tanpa disadari dan seolah baik padahal menindas.
Setiap penguasa bagaimanapun baiknya harus dikontrol oleh rakyat (ketika wakilnya sudah menjadi bagian penguasa). Oleh karena itu penguatan civil society menjadi bagian penting dalam upaya memberikan kontrol kepada penguasa. Sebab menurut lord acton bahwa "kekuasaan itu cenderung korup" dan selain itu kekuasaan akan menggunakan hak politiknya tanpa batas seperti yang telah terjadi di rezim jokowi. Bagaimana tidak saat ini menuju kontestasi 2024 semua politisi mulai tancap gas untuk suksesi pemilu namun disisi lain Mahkamah konstitusi sedang melakukan sidang atas sistem proporsional terbuka atau tertutup dan kondisi pemerintah yang kehilangan moral telah menggunakan kuasanya demi kepentingan kelompok dan bahkan keluarga. Bahaya ini akan terus berlanjut dengan cara memaksa atau merayu jika kita kita tidak hentikan dan mengingatkan rezim jokowi
Terakhir untuk anak muda indonesia saya ingin katakan bahwa kekuasaan di negara manapun akan melakukan hegemoni untuk mempertahankan kekuasaannya hampir seluruh dunia melakukan hal tersebut dan tidak terkecuali di indonesia. Namun kita harus sadar jika kekuasaan rezim ini dibiarkan akan berdampak terhadap generasi kita kedepan, maka hanya dengan menulis dan turun kejalanlah kita terus hidup. Memperjuangkan masa depan demokrasi di negara kita sendiri agar tidak dirusak oleh pergerakan para elit politik dan oligarki di rezim jokowi adalah tanggung jawab kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H