Lelaki muda itu sedang duduk santai di atas lantai ruangan berukuran 7x8 meter. Ia menyandarkan punggungnya pada pintu yang terbuat dari jeruji besi yang telah dikunci. Balee Jeumpa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, Â itulah nama ruangan tempat ia dan puluhan laki-laki dewasa lainnya berada. Di antara mereka ada yang bernyanyi, berteriak, duduk menyendiri sambil tersenyum atau berbicara sendiri, dan ada juga yang mengobrol dengan penghuni lainnya seperti yang dilakukan sang lelaki muda. Pakaian mereka semua sama yaitu baju longgar berwarna merah marun dengan lengan berukuran tiga perempat dan celana dengan warna senada. Ketika si lelaki muda dan teman-temannya sedang asyik mengobrol, tiba-tiba datang seorang lelaki paro baya dengan peci putih di kepala. Ia bernyanyi lagu dalam bahasa Aceh dan kemudian ikut duduk dan melemparkan guyonan. Sayangnya, tidak ada yang mempedulikan lelaki berpeci tersebut. Lalu mereka semua terdiam. Pandangan mereka kosong. Lelaki muda itu kemudian tersenyum dan berbicara sendiri.
Hari itu, pagi menjelang siang di penghujung bulan September 2019 ketika saya menjumpai lelaki muda itu. Ia menyambut saya dengan ramah dan menjabat tangan saya dengan santun. Kemudian saya pun mengajaknya berbicara, menceritakan tentang penyakit yang ia derita sampai dirawat di RSJ.
Lelaki itu bernama MH (26 tahun), ia adalah salah satu penderita gangguan jiwa yang berasal dari Aceh Tenggara. Saat itu, sudah hampir satu bulan ia di rawat di RSJ Aceh. Sebelum dibawa ke RSJ, ia dikurung di dalam gubuk oleh keluarganya karena sering mengamuk, membawa benda tajam, memukul, serta mengganggu masyarakat di sekitarnya. Hingga pada akhir Agustus 2019 lalu, ia dijemput oleh petugas RSJ Aceh untuk mendapatkan perawatan.
Selain MH, petugas RSJ Aceh juga menjemput lima orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) lain di Aceh Tenggara yang dipasung oleh keluarganya karena melakukan tindakan yang agresif seperti mengamuk, memukul keluarga, suka berbicara sendiri, dan sering berkeluyuran pada malam hari sehingga meresahkan warga.
Penasaran dengan program penjemputan ODGJ yang dipasung, saya pun menjumpai Kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas) RSJ Aceh yang merupakan penanggung jawab program tersebut. "Kegiatan penjemputan ODGJ yang dipasung merupakan program Pemerintah Aceh dalam rangka mewujudkan Aceh Bebas Pasung 2017-2022. Sampai bulan September 2019, sebanyak 30 penderita gangguan jiwa dari seluruh Aceh yang dipasung telah dibebaskan dan dijemput oleh pihak RSJ Aceh," jelas Syamsuri, MPH menjawab pertanyaan saya. Berdasarkan paparan Pak Syam, begitu lelaki ini sering dipanggil, Â pengetahuan keluarga akan penyakit jiwa, kondisi perekonomian, dan sulitnya akses ke fasilitas kesehatan yang mampu merawat pasien dengan gangguan jiwa menjadi alasan mengapa ODGJ tersebut dipasung.
"Dari lima penderita gangguan jiwa yang dilepas pasung dari Aceh Tenggara dan dibawa ke RSJ, ada satu orang pasien (R, 40 tahun) yang kondisinya sangat memprihatinkan. Â Selama 6 bulan ia dipasung dengan rantai besi di sebuah gubuk reot dipinggir sungai. Saat kami tiba di sana, gubuk itu hanya beratap langit. Seng yang digunakan sebagai atap telah hancur. ODGJ itu hanya mengenakan sarung, tanpa baju dan celana," ungkap Sarwoidi, salah satu petugas RSJ yang ikut serta melepas pasien pasung di Kabupaten Aceh Tenggara.
Syukurnya, dengan adanya program Aceh Bebas Pasung 2017-2022 yang kembali diusung oleh Pemerintah Aceh, penderita gangguan jiwa yang kakinya selama ini dililit oleh rantai pasung, atau dikurung di dalam gubuk, dan bahkan balok kayu dapat kembali merasakan kebebasannya dan mendapatkan haknya untuk perawatan yang selayaknya.
"Semua penderita sakit jiwa yang sudah dilepas dari pasung, akan dibawa ke Banda Aceh untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Aceh dan ditangani sesuai prosedur sampai sembuh secara klinis, mandiri dan direhab secara psikosial," jelas Direktur RSJ Aceh, dr. Makhrozal, M.Kes seperti yang dikutip dari aceh.tribunnews.com.
Setelah hampir sebulan dirawat di RSJ Aceh, MH mengaku bahwa dirinya jauh lebih baik dibandingkan saat ia dipasung oleh keluarganya. Ketika saya mengajaknya berbicara, ia pun tampak koperatif dan menjawab dengan lancar setiap pertanyaan yang saya ajukan. Pun demikian ketika temannya datang dan mengajaknya bercanda, ia tertawa dengan lepas.
"Dulu, waktu di rumah saya susah kali tidur, jadinya saya keluyuran tiap malam. Sekarang enggak lagi. Terus kalau ada yang bisik-bisik, saya sudah bisa melawannya. Kata dokter itu halusinasi. Kalau saya minum obat teratur, saya bisa sembuh dan segera pulang," ungkap MH sambil mengingat-ingat kembali apa saja yang dapatkan selama masa rawatan. Ia juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh yang peduli kepada ODGJ seperti dirinya, "enggak enak dirantai dan dikurung, kaki saya sakit. Sampai sekarang masih terasa sakitnya," kata MH sambil menunjukkan bekas rantai yang melilit kakinya.
Mewujudkan Aceh Hana Lee Pungo
Pengobatan penderita gangguan jiwa berat seperti yang dialami oleh MH dan pasien lain di RSJ Aceh memang tidak seperti penyakit biasa, "Setelah mendapatkan perawatan, ketika pulang, mereka juga harus rutin minum obat agar gejala-gejala gangguan jiwa dapat berkurang. Kalau mereka tidak mau minum obat, maka ODGJ tersebut akan kembali mengamuk dan melakukan tindakan agresif lainnya," jelas dokter Suzana Oktavia, SpKJ, salah satu psikiater di RSJ Aceh saat saya menjumpainya disela-sela beliau melakukan visite pasien di ruangan. Oleh karena itu, menurut dokter Suzan, begitu sang dokter kerap disapa, penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia harus rutin berobat dan tidak boleh putus.
"Syukurnya di Aceh ada JKA yang menjamin kesehatan setiap masyarakat yang memiliki KK atau KTP Aceh sehingga tidak perlu khawatir lagi soal biaya berobat. Bayangkan saja kalau mereka tidak memiliki JKA, untuk rawat inap satu malam saja, pasien harus membayar Rp 250.000 belum lagi dengan biaya obat, biaya dokter, dan lain-lain. Pengobatan pasien jiwa juga tidak sebentar, rata-rata mereka dirawat satu atau dua bulan," pungkasnya.
Tidak dipungkiri, salah satu program unggulan Irwandi -- Nova dalam Aceh Hebat yaitu Aceh Seujahtra (JKA plus) sangat mendukung terhadap pengobatan penderita gangguan jiwa. Dari 892 Miliar angaran yang dicanangkan untuk JKA Plus, Pembangunan Pusat Rehabilitasi Psikososial dan Narkoba dan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) merupakan dua langkah nyata untuk mewujudkan Aceh hana lee pungo.
Ketika saya bertandang ke ruang rehabilitasi yang terletak tidak jauh dari Balee Jeumpa, tampak jelas bahwa kondisi ruangan tersebut tidak dapat menampung seluruh pasien ODGJ. Karenanya, menurut Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RSJ Aceh, Aisyah Djamil, daya tampung ruang inap dan rehab di RSJ sudah melebihi kapasitas dan areal RSJ di Banda Aceh saat ini tak mungkin lagi dikembangkan untuk lokasi proyek rehabilitasi psikososial. Dengan adanya pusat rehabilitasi psikososial yang baru akan sangat membantu ia dan timnya dalam melakukan rehabilitasi kepada pasien.
Selain itu, pemilihan lokasi pembangunan gedung di Kuta Malaka, Aceh Besar dengan luas areal yang mencapai 26 hektare sangatlah tepat, "lokasi gedung yang jauh dari pemukiman penduduk sehingga sangat bagus untuk melaksanakan program pelatihan kemandirian ketrampilan ekonomi pasien yang sudah hampir sembuh. Alhamdulillah, sejak September 2019 gedung rehab ini sudah bisa difungsikan," tambahnya.
Usai menjelajahi ruang rawat RSJ Aceh, hari pun mulai siang. Saya lalu singgah ke Poliklinik Rawat Jalan RSJ Aceh untuk melihat pelayanan di sana. Puluhan pasien sedang melakukan antrean untuk berobat atau mengambil resep. Menurut penjelasan Rahmad, salah satu petugas administrasi, rata-rata pasien yang berobat adalah peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dibiayai oleh Pemerintah Aceh atau yang dikenal dengan JKA.
Saya lalu duduk di bangku antrean pendaftaran pasien, di sebelah saya ada seorang laki-laki yang sedang menunggu obatnya diracik oleh petugas farmasi. Ia pun mengajak saya mengobrol, kesempatan yang bagus ini saya gunakan untuk bertanya tentang manfaat dari JKA yang ia rasakan. Lelaki itu bernama IW (35 tahun), dia adalah penderita gangguan jiwa dari Pidie yang telah didiagnosa menderita skizofrenia sejak tahun 2002. "Saya ingat sekali, dulu orang tua saya harus menjual sawah dan ternak untuk membawa saya berobat ke RSJ. Butuh biaya ratusan ribu untuk konsul ke dokter dan mengambil obat. Tapi dengan adanya JKA, keluarga saya tidak perlu khawatir lagi dengan biaya pengobatan penyakit saya ini," jelasnya. Ia menyadari betul bahwa penyakitnya bersifat kronis sehingga ia harus rutin minum obat. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas itu juga selalu berusaha untuk mengontrol penyakitnya setiap bulan ke RSJ.
"Pernah karena sudah bosan, saya tidak mau lagi minum obat. Lalu sakit saya kumat. Saya tidak bisa tidur malam, terus gelisah dan mengamuk. Akhirnya saya dirawat lagi di sini," kenangnya, "tapi sekarang saya sudah paham, bahwa saya bisa hidup seperti orang normal asalkan saya selalu minum obat. Dan buktinya sekarang saya bisa ke rumah sakit sendiri tanpa ditemani keluarga, saya juga bisa bekerja dan tidak menjadi beban orang tua."
Dengan adanya JKA, IW dan penderita gangguan jiwa lainnya yang sedang berobat di Poliklinik Rawat Jalan RSJ Aceh juga tidak khawatir sama sekali dengan kenaikan premi BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan pada tahun 2020. "Kita kan sudah ditanggung sama Pemerintah Aceh, jadi mau naik iuran atau tetap, enggak jadi masalah," ungkap IW.
Minimnya Dukungan Keluarga dan Masyarakat
Tidak dipungkiri, dari sekian banyaknya ODGJ yang dibebaskan dari pemasungan dan dirawat di rumah sakit jiwa, akhirnya kembali kambuh setelah pulang dari rumah sakit. Pun demikian dengan penderita gangguan jiwa yang dibawa oleh keluarganya dan dirawat di RSJ tetapi tidak dijemput-jemput lagi oleh keluarga karena dianggap sebagai beban. "Keadaan ini tidak cost effective, karena jika pasien sering kambuh maka biaya akan lebih sering dan lebih banyak dikeluarkan," jelas dokter Suzan.
Memang, penderita gangguan jiwa dari Aceh telah dijamin oleh BPJS Kesehatan lewat program JKA, tetapi biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya sering menjadi keluhan keluarga pasien sehingga menyebabkan mereka tidak mendapatkan pengobatan pasca rawatan.
 "Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan yang harus berkelanjutan, yaitu penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Ketika di rumah, dukungan keluarga sangat dibutuhkan agar penderita bisa menjalani proses penyembuhannya."
Menurut penjelasan psikiater lulusan Universitas Indonesia ini, dukungan keluarga dibutuhkan agar pasien dapat mengakses pelayanan kesehatan untuk mendapatkan medikasi dengan teratur dan memastikan pasien meminum obat yang sudah didapatkan sesuai dengan ketentuan. Selain itu, semakin tinggi dukungan keluarga, maka semakin tinggi pula keberfungsian sosial pasien pasca perawatan di rumah sakit, demikian pula sebaliknya.
Selain dukungan keluarga, dukungan dari pemerintah dan masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam menangani masalah gangguan jiwa. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eka Viora yang dikutip dari harnas.com (30/08/2018), pemerintah harus melakukan penguatan pelayanan dengan meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan (nakes) di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti Puskesmas.
"Selama ini nakes di FKTP seperti puskesmas masih sebatas melakukan diagnosa dan kemudian merujuk pasien penderita gangguan jiwa ke tenaga ahli atau fasilitas kesehatan tingkat berikutnya."
Begitu juga dengan peran serta masyarakat, masyarakat harus dilibatkan dalam penanganan penderita gangguan jiwa untuk menghilangkan stigma terhadap ODGJ. Saat stigma di masyarakat sudah tidak ada lagi, maka pengobatan terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin membaik.
***
Hari telah beranjak sore ketika saya selesai mengunjungi RSJ Aceh. Saat pulang, saya melewati bagian belakang Instalasi Gawat Darurat yang langsung berhadapan dengan ruangan rawat pasien laki-laki. Di halaman depan ruangan tersebut, terdapat sebuah lapangan bola voli. Para perawat dan ODGJ yang telah stabil terlihat sedang seru-serunya melakukan service dan smash bola voli. Ada ODGJ yang langsung mengambil posisi ketika bola sampai kepadanya dan ada juga yang kebingungan ketika melihat bola jatuh di depannya lalu berlari menjauhi bola. Tingkah ODGJ itu menghasilkan derai tawa dari mereka yang menonton pertandingan.
Sementara di depan IGD, terparkir sebuah ambulan dari Kabupaten Aceh Jaya. Itu pertanda bahwa petugas kesehatan dari kabupaten tersebut sedang merujuk ODGJ untuk dirawat di RSJ Aceh. Â
Ya, sejak ada JKA tidak ada lagi masyarakat Aceh yang takut untuk berobat karena tidak memiliki biaya termasuk ODGJ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H