Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang Hanya waktu saja belum tepat merasakan semua Pernikahan dini sebaiknya janganlah terjadi Namun putih cinta membuktikan dua insan tak dapat dipisahkan Masih ingat lagu di atas? Yup, lagu tersebut adalah saundtrack sinetron Pernikahan Dini yang diperankan oleh Agnes Monica dan Syahrul Gunawan  tahun 2001 silam. Lagu ini juga dijadikan soundtrack yang dinyanyikan ulang oleh Rossa dalam kampanye stop pernikahan dini oleh Bandan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasiona (BkkBN). Berbicara tentang sinetron yang dua kali berturut-turut menjadi Drama Seri Favorit Panasonic Award ini, maka saya pun langsung membayangkan sosok Dini yang diperankan Agnes. Akibat kesalahan yang dilakukannya dengan Gunawan, ia harus bersusah payah mengurus anak dan suaminya dalam usia yang sangat muda. Saat itu Dini baru saja lulus SMP dengan predikat yang sangat memuaskan. Sebagai hadiah, orang tuanya mengizinkan ia liburan ke luar kota. Di sana ia bertemu dengan Gunawan dan  keduanya pacaran sampai melewati batas. Akibatnya, bisa ditebak. Mereka harus menikah di usia muda karena "kecelakaan" dan menghadapi berbagai masalah dalam berumah tangga serta ketidaksetujuan orang tua keduanya, sampai akhirnya hampir terjadi perceraian, tetapi hal itu tidak terjadi. Hmm.. menikah dalam usia muda, tanpa persiapan apa-apa, lalu punya anak, sedang hidup mereka belum mandiri sungguh menjadi beban. Menikah yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan malah sebaliknya, menimbulkan penyesalan dari kedua pasangan. Sebenarnya kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di sinetron. Dalam kehidupan sehari-hari pun kerap kita jumpai. Sebagai seorang dokter, sudah beberapa kali saya mendapatkan kasus remaja usia 15-19 tahun yang hamil di luar nikah datang ke rumah sakit tempat saya bertugas. Ia tidak sendiri, melainkan ditemani orang tua, dan polisi. Tak lupa pula surat permintaan visum et repertum tindakan asusila dibawa sang penyidik tersebut. "Visum, dok! Kasus asusila," begitu jelas Pak Polisi sambil menyerahkan surat permintaan visum. Setelah melakukan visum yang diminta, rata-rata tidak ada tanda-tanda kekerasan yang saya temukan. Tidak sedikit pula kasus yang si remaja mengaku hamil dan test pack positif. Setelah dirujuk ke dokter spesialis kandungan dan dilakukan pemeriksaan, memang benar anak tersebut hamil. Usut punya usut, kebanyakan mereka minta visum karena orang tuanya tidak percaya atas apa yang terjadi pada anaknya atau si cowok yang menjadi pasangan si anak tidak mau bertanggung jawab. Jadi, laporan yang mereka lakukan ke pihak berwajib semata-mata hanya untuk menggertak si cowok agar mau bertanggung jawab dan  menikahi anaknya. Lain lagi dengan cerita pernikahan dini ala kampung saya. Di kampung saya yang terletak di pedalaman Aceh, anak gadis yang memiliki paras rupawan biasanya lebih cepat menikah. Tamat SMP, mereka langsung dilamar dan dinikahkan. Kadang ada yang belum tamat sekalipun, asalkan sudah menstruasi maka mereka sudah pantas berumah tangga. Alasan orang tua mereka simpel saja, cantik banyak yang incar. Jadi dari pada terjadi apa-apa lebih baik dinikahkan terus, orang tua pun menjadi tenang. Soal sekolah? Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya juga jadi istri. Istilah lebih cepat lebih baik menjadi pegangan kuat para orang tua. Sedangkan si anak, ya harus nurut dengan keinginan orang tua. Sempat terkejut juga kalau sewaktu-waktu saya pulang ke kampung dan bertemu dengan teman-teman yang melakukan pernikahan dini. Mereka sudah memiliki anak tiga atau empat di usia mereka yang baru menginjak 25 tahun. Anak-anaknya pun sudah besar dan masuk SD. [caption id="" align="aligncenter" width="479" caption="sumber : bkkbn.go.id"][/caption] Tingginya Pernikahan Dini = Rapor Merah BkkBN Ternyata, fenomena pernikahan dini ini tidak hanya terjadi di kampung atau di wilayah tempat saya bertugas. Seluruh Indonesia pun mengalaminya. Seperti yang dilansir Kompas (30/08/14) bahwa perempuan yang melahirkan pada usia dini, yakni antara 15 tahun sampai 19 tahun tergolong cukup tinggi di Indonesia. Kondisi ini terlihat merata bukan hanya di perkotaan, tetapi juga terjadi di perdesaan. Kasus pernikahan dini menjadi penyumbang rapor merah untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Oleh karena itu, Kepala BKKbN, Fasli Djalal, mengemukakan bahwa untuk mengantisipasi hal ini, lewat Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) berusaha mengevaluasi penyebab tingginya angka pernikahan dini. Untuk mengurangi rapor merah yang dipicu pernikahan dini itu, BKKBN melaksanakan program Generasi Berencana (GenRe) guna menjangkau remaja untuk mencapai kematangan usia perkawinan, sekaligus mencegah pernikahan usia dini. Implementasinya, yakni dengan menggandeng siswa, mahasiswa, organisasi pemuda, karang taruna, termasuk yang di luar sekolah untuk mengembangkan pusat informasi dan konseling.
"Anak-anak sekarang memang cenderung menikah di usia dini. Mereka memiliki anak saat usia 15-19 tahun, terutama di perkotaan. Data yang masuk ke kami tergolong cukup mencengangkan. Kami tak hafal, tetapi penyebab nikah dini rata-rata karena kecelakaan (hamil duluan)," imbuhnya.
KB dan GenRe Selama ini, kalau mendengar kata KB (Keluarga Berencana) pasti kesannya agak kuno. Tidak sedikit anak-anak muda yang mendengar nama KB, mereka kerap bilang, "Ah, itu buat ortu gue." Ya, istilah KB seakan hanya diperuntukkan untuk orang tua saja. Padahal dalam UU No 52 Tahun 1999 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, peran serta remaja dalam Program KB yang dalam hal ini diterjemahkan dalam pelembagaan keluarga kecil bahagia sejahtera menuju penduduk tumbuh seimbang 2015, sangat strategis. Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang harus dibina secara terus menerus dan dimantapkan, sehingga memiliki sikap dan perilaku yang mendukung pelembagaan sekaligus pembudayaan NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera). Harapannya, para remaja, mampu menjadikan dirinya dan anak cucunya kelak sebagai manusia Indonesia yang berkualitas, tidak saja cerdas, sehat dan terampil, namun bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki loyalitas, dedikasi, dan disiplin yang tinggi serta berbudi pekerti luhur. Sebagai subyek, remaja atau generasi muda diharapkan berperan serta aktif mendukung pembangunan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui berbagai kegiatan. Sebelumnya, kita mengetahui ada PIK-KRR, yang kini diubah menjadi Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja). Programnya pun berubah menjadi Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR). Nah, PIK Remaja dengan program PKBR nya sekarang ini diharapkan mampu memfasilitasi terwujudnya Tegar Remaja yakni remaja yang tidak saja berperilaku sehat dan terhindar dari risiko Triad KRR (Seksualitas, Napza dan HIV/AIDS) tetapi juga remaja yang mau menunda usia perkawinannya hingga mencapai kedewasaan penuh. (sumber:bkkbn.go.id) Nah, karena istilah KB terkesan kuno di kalangan remaja, maka BkkBN membuat istilah khusus yang dikenal dengan GenRe alias Generasi Berencana. GenRe, Yes! Nikah Dini, No!
Give me six hours to chop down a tree and I will spend the first four sharpening the axe. Abraham Lincoln.
Segala sesuatu dalam hidup ini dibutuhkan perencanaan. Seperti yang diungkapkan oleh mantan Presiden AS tersebut, jika ia diberikan waktu enam jam untum memotong sebuah pohon,maka ia akan menggunakan empat jam untuk mengasah kapaknya. Begitulah sebuah perencanaan. Lantas apa hubungannya sebuah planning dengan GenRe dan pernikahan? [caption id="" align="aligncenter" width="413" caption="sumber : bkkbn.go.id"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H