Seperti kemarin dan sebelumnya, aku disini, masih disini.
Diantara buritan ilalang di hamparan ladang tak berujung, bak kenari tua dirudung masa, ditinggalkan kawanan, meratap sendiri.
Sampai disuatu siang yang terik, perlahan angin berhembus menghimpun serpihan awan yang menjadi gulungan mendung kelabu, aku disini, sendiri tak mampu berdidri melawan gemuruh dan hantaman hujan dan badai.
Ingin berlari sekuat tenaga, kemudian membentangkan sayap yang sudah tak bertenaga, terbang meninggalkan tumpukan jerami yang menghalangiku dari pandangan untuk mengejarmu, disisa nafas trahir kuterjatuh, tak mampu, nyatanya ku tak sanggup berdiri, aku terkapar, kalah.
Meratapi diri, berteriak, tak ada satu pun yang peduli.
————- hening —————
Kuterjaga diantara lalu lalang warga kota ini, ditengah kerumunan pasar pagi. Aku hanya duduk bersila menahan sakit tak terperi.
Tak sadar diri, tak kenal diri.
————- hening —————
Hembusan dingin angin malam ini membangunkanku dari tidur panjangku, aku terjaga diantara mimpi didalam mimpi. Masih tak sadar diri.
————- hening —————
Fikiranku, mataku, jari-jariku sudah tidak mampu lagi berkoalisi. Bagaimana bisa aku bermimpi, nyatanya sampai detik ini masih terjaga, rasa kantuk enggan berlabuh. Sampai-sampai tak mampu membedakan nyata dan mimpi.
————- hening —————
Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz........................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H