Sebuah Kantor di Ambulu Tempo Dulu | Dari KITLV, Hulppostkantoor, sekitar tahun 1930
Kemarin, 24 September 2013, pagi-pagi sekali saya dan istri menyusuri jalanan kota Jember. Dimulai dari Patrang menuju Wuluhan, melewati Kota Ambulu. Pagi dan Ambulu, dua kata yang jika digabungkan akan melahirkan sebuah kata bernama cantik. Kita akan dimanjakan oleh pemandangan alami, dimana para pelajar sedang mengayuh sepeda menuju sekolahnya. Adalah sepeda mini dan jengki yang memadati jalanan Ambulu. Akan terasa aneh jika di antara mereka ada yang mengendarai sepeda kayuh keluaran terbaru. Benar juga kata Mas Yoyok --anggota Pastugel kabupaten Tuban, Ambulu adalah gudangnya sepeda tua. Segala merk ada di sini, mulai dari Phoenix, Simplex, hingga Gazelle. Konon kabarnya, sepeda onthel Gazelle adalah merk pertama buatan Londo yang masuk ke Indonesia. Harganya dari dulu hingga sekarang tidak semakin murah. Nominalnya bisa jauh di atas harga motor.
Memang jika dilihat dari sejarahnya, Ambulu adalah daerah yang luas dan makmur. Masyarakatnya sejahtera oleh hasil pertanian. Di akhir era 1800an, di Ambulu sudah banyak toko-toko milik pengusaha Tionghoa. Rukun dan sejahtera, begitulah sejarah mencatatnya.
Hingga tahun 1923, jika harus ke Ambulu, kita harus naik kereta api dulu dari Stasiun Jember menuju Stasiun Rambipuji. Setelah itu diteruskan naik trem menuju Balung, Wuluhan, baru kemudian Ambulu (dari catatan offline saya tentang ABD. MOEKI). Trem masa itu kecil bentuknya, tempat duduknya berada di tengah-tengah; para penumpang duduk berjajar dan beradu punggung, menghadap ke luar. Kecuali kereta kelas dua, kereta itu tidak berdinding. Jika hujan turun, layar yang semula tergulung segera diturunkan (Dari biografi Soemarno, mantan Gubernur DKI Jakarta asal Jember, saat menceritakan Ambulu tahun 1924). Ketika itu (1924) perang di Eropa telah usai. Mobil-mobil mulai berdatangan dari Eropa dan Amerika, termasuk diantaranya ada yang didatangkan ke Ambulu, untuk konsumsi orang-orang Belanda pegawai pemerintah, juga orang-orang perkebunan. Padahal jalan-jalan di Ambulu masih bolong-bolong. Sejak itu mulai ada kegiatan perbaikan jalan. Mungkin jalan-jalan yang lain juga diperbaiki sejak era ini (masih dari sumber yang sama).
Catatan: khusus untuk paragraf di atas, masih butuh penelitian lebih lanjut. Terutama untuk perbaikan jalan-jalan yang lain di luar Ambulu. Atau tentang kapan dibangunnya jembatan Jenggawah, dan sebagainya. Jika ada data yang lebih akurat (baik dokumen maupun dari sejarah lisan) akan saya sempurnakan.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Saatnya bergeser ke Kesilir (Wuluhan). Sebelum berangkat, masih saya lihat lalu lalang pelajar dan para petani yang hendak merayakan hidup. Ada terlihat juga beberapa pegawai instansi, tapi masih sedikit sekali. Mungkin masih dirasa terlalu pagi untuk berangkat kerja. Sesampainya di Wuluhan nanti, saya berencana untuk melanjutkannya ke Balung, tempat dimana kisah tentang Mbah Budeng masih lestari.
Syukurlah saya hidup di tahun 2013. Jika saya ada di zaman 1920an, mungkin ceritanya akan berbeda. Akan sedikit horor tentunya. Di era itu, jalanan masih gelap meski mentari pagi tlah menyingsing. Tak banyak rumah yang berdiri di pinggir jalan. Memang, ada sawah yang terbentang. Tapi saya masih harus melewati hutan pohon jati dan Sadeng.
Hari yang indah, 24 September 2013.
Mulai dari Jenggawah, Ambulu, hingga Wuluhan, saya berpapasan dengan banyak petani. Kami saling melempar senyum. Sepulangnya, saya baru sadar ternyata di luar sana orang-orang sedang memperingati hari tani.
Ketika sampai di SMA Muhammadiyah 2 Wuluhan, saya berhenti. Istri saya ada perlu di sana. Dapat saya lihat, tepat di samping kiri SMA ada terdapat kantor Perhutani. Akhir-akhir ini Kantor Perhutani Wuluhan mendapat banyak sorotan (dan mungkin tekanan?) oleh sebab adanya kasus penambangan emas di Gunung Manggar. Seharusnya merekalah instansi pertama yang harus segera bergerak. Semoga mereka dikuatkan dari segala tekanan kepentingan, dan berani bertindak.
Tentang WABAH PES di Ambulu Tempo Dulu
Ini juga saya temukan dalam catatan Soemarno. Tempo dulu, sekitar tahun 1924, pernah terjadi wabah pes yang merajalela di Ambulu. Ia menjadi hantu tersendiri pada masyarakat. Masing-masing dari mereka melakukan pencegahan dengan berbagai cara. Mulai dari kalangan Wedana hingga rakyat biasa sibuk mengantisipasi wabah ini. Ada yang memilih melakukan selamatan dan doa bersama, ada yang mengharusan anak-anaknya tidak tidur hingga larut malam, dan sebagainya. Jika ada yang terjangkit pes, tetangga kiri kanan diharuskan mengosongkan tempatnya. Perintah pengosongan dikeluarkan oleh Asisten Wedana --kepala Onderdistrik. Asisten Wedana Ambulu saat itu adalah Manghoeroedin Sosroatmodjo --kakek buyut dari Bimbim Slank dari pihak Bapaknya yaitu Soemarno. Sebelumnya, Manghoeroedin Sosroatmodjo bertugas di Silo.
Kembali ke wabah pes. Kebutuhan sehari-hari orang yang terkena pes dikirim dari luar, karena penderita tidak boleh keluar dari rumah. Asisten Wedana dan tokoh bidang kesehatan mengirimkan dokter muda berpakaian putih, lengkap dengan alat-alatnya. Salah satunya adalah microscoop.
Sedikit Tambahan
Sepulangnya dari Ambulu dan sekitarnya, saya membawa banyak sekali pengetahuan baru. Jadi ingat guyonan seorang teman. Carilah ilmu walau sampai ke Ambulu. Ternyata itu benar adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H