Foto Dr. Soebandi didapat dari BeritaJatim Dotkom
Siapakah Dr. Soebandi? Jarak antara SDN Patrang Satu dengan RSUD Dr. Soebandi Jember hanya sekitar satu menit dengan berjalan kaki. Dulu saya sekolah di SD tersebut. Ketika saya naik ke kelas lima, kelas berpindah ke lantai dua, berdempetan dengan ruang perpustakaan. Di waktu istirahat, saya bisa leluasa memandang Rumah Sakit Dokter Soebandi. Hanya orang hebat yang namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit di sebuah daerah dan nama sebuah jalan, seperti Dr. Soebandi. Itu yang saya pikirkan sejak kecil. Tapi kenapa ketika dulu saya bertanya, siapakah Dr. Soebandi? Saya selalu dan selalu mendapat jawaban singkat. Bahwa beliau adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang, titik. Jawaban serupa juga saya dapatkan (dari orang-orang dewasa) ketika saya bertanya tentang nama-nama orang hebat yang lain. Misalnya, kenapa di depan kantor PEMDA Jember didirikan monumen berupa patung Letkol Sroedji? Kenapa bukan patung orang lain yang hanya warga sipil? Bapak penjual tape ketan misalnya. Dan itulah jawabannya. Karena mereka adalah para pejuang. Jawaban tersebut seperti tidak bisa digugat (tapi masih bisa diganggu). Kelak ketika saya sudah besar dan pindah posisi menjadi dewasa, saya tahu alasannya. Ternyata orang dewasa lekas merasa capek saat menghadapi pertanyaan beruntun dari anak kecil. Pertanyaan Itu Terbawa Hingga Saya Besar Haripun berlalu, saya lulus dari SDN Patrang Satu dan merangkak menjadi dewasa. Tapi pertanyaan tersebut tak pernah hilang. Dia sama seperti bayang-bayang diri saya. Sayangnya saya tak pernah menemukan jawaban yang sip tentang siapa sebenarnya Dr. Soebandi. Buku-buku beraroma sejarah dari buku panduan SD hingga novel berlatar history, tak ada yang berkisah tentang kehidupan beliau. Waktu bergerak begitu cepat, tiba-tiba saya sudah ada di jaman klak klik klak klik alias jaman internet. Dimulai dari jaman friendster, saya terhipnotis dengan sebuah situs bernama google. Maka googlinglah saya di sana dengan kata kunci Dr. Soebandi Jember. Hasilnya mengecewakan. Tapi lumayanlah, ada sedikit titik terang. Satu persatu blogger Jember mulai saling menyulam sejarah. Saya masih ingat, dulu google pernah mengantarkan saya ke sebuah situs milik Alumni SMA 1 Jember. Mereka menuliskan nama-nama Pahlawan Lokal Jember. Senang sekali membacanya, juga membaca komentar Kang Ekozguevara yang ternyata juga seorang kompasianer. Tapi kesemuanya masih belum mengerucut ke satu titik. Siapa sebenarnya Dr. Soebandi? Seumpama saya tahu Dr. Soebandi memiliki kerabat (dan saya mengerti alamatnya), tentunya akan lebih mudah. Tapi justru itulah masalahnya. Di catatan saya sebelumnya, saya posting sebuah tulisan berjudul Taman Makam Pahlawan Patrang. Di sana saya bercerita tentang masa kecil saya yang rumahnya dekat sekali dengan TMP, dan sebuah nisan bertuliskan nama seseorang, yaitu Dr. Soebandi. Kabar Baik Dari Mesin Pencari Setelah saya klik kotak kecil di kompasiana yang bertuliskan publish, iseng saya googling. Haha.. tidak kapok-kapoknya saya menyematkan kata kunci Dr. Soebandi di kolom penelusuran. Tapi, eits.. Kali ini ada yang berbeda. Ndilalah kedua mata saya berbinar. Google mengantarkan saya pada sebuah tulisan milik seorang kompasianer (yang juga seorang jurnalis di Jember) bernama Elita Sitorini. Tulisan yang bermanfaat tersebut berjudul, "Napak Tilas Dokter Soebandi, Pejuang Sekaligus Dokter di Medan Perang." Sekarang saya tahu, Dr. Soebandi lahir di Klakah - Lumajang, pada 17 Agustus 1917. Tanggal lahir yang cantik, sepertinya saya akan dengan mudah mengingatnya, bahkan meskipun saya pelupa. Nama istri dari Dr. Soebandi adalah Rr Soekesi. Pasangan Dr. Soebandi dan Rr Soekesi memiliki tiga orang putri, yaitu Widiyastuti, Widiyasmani, dan Widorini. Senang sekali, akhirnya saya mengerti. Lebih menyenangkan lagi, Mbak Elita Sitorini memaparkan juga perihal siapa sebenarnya Dr. Soebandi. Dimulai dari pendidikannya. Dr. Soebandi termasuk lelaki yang beruntung di zamannya, karena bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Setelah menjalani pendidikan di HIS, MULO, dan NIAS, putra pertama dari dua bersaudara ini berhasil masuk di Ika Daigoku (sekolah kedokteran di Jakarta). Kemudian pada 2 November 1943, Soebandi melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Eise Syo Dancho hingga selesai. Setelah lulus, Dr. Soebandi diangkat sebagai Eise Syo Dancho (entah apa artinya, saya tidak tahu). Indonesia di Bulan Agustus 1945 Ini adalah masa yang paling banyak ditulis oleh para sejarawan Indonesia. Dimulai pada 6 Agustus dan 9 Agustus, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo). Jepang gelagapan, ibarat seseorang yang sedang diserbu koloni lebah. Finalnya, pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat. Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah. Sementara di Indonesia, meskipun tak ada pemberontakan, ada sebuah revolusi di bulan Agustus 1945. Sesuatu yang besar telah terjadi, sesuatu yang sudah lama diperjuangkan. 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Lalu semuanya menderap ke arah revolusi. Itu adalah masa dimana Dr. Soebandi bertugas sebagai tentara dan juga sebagai dokter tentara. Dokter Belia Yang Sering Berpindah Tugas Jabatan awal Dr. Soebandi sebagai Eise Syo Dancho yang ditempatkan di Daidan Lumajang (Daidan adalah kelompok bentukan Jepang yang bergerak di bidang pendidikan), berubah dua hari setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan. Saat itu PETA dibubarkan, Dr. Soebandi dipindahtugaskan ke RSU Probolinggo, sebagai dokter. Pada tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumumkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat. Pada waktu pembentukan BKR, Soebandi yang sudah berpangkat letnan kolonel dipanggil ke Malang. Di sana dia ditugaskan menjadi dokter di RST Claket Malang dengan pangkat kapten. Jalannya sejarah berubah begitu cepat. Melihat adanya ancaman mempertahankan status quo (dari pihak Belanda), Pemerintah bersegera memanggil pensiunan Mayor KNIL Urip Sumoharjo ke Jakarta. Beliau dberi tugas membentuk tentara kebangsaan Indonesia. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat. Sejarah memiliki harapan lain pada Dr. Soebandi. Ketika BKR diubah menjadi TKR pada 5 Oktober 1945 dan berubah menjadi TRI , Dr. Soebandi diberi pangkat mayor. Di tahun 1946, beliau kembali berpindah tugas. Kali ini Dr. Soebandi ditugaskan di Jember sebagai kepala DKT. Pada rentang 1945 hingga 1947, Dr. Soebandi sering berpindah tugas. Beliau banyak bertugas di front pertahanan Surabaya Selatan, Sidoarjo, Tulangan Porong, dan Bangil. Bahkan, Dr. Soebandi pernah ditugaskan di front pertahanan Bekasi Jawa Barat sebagai dokter perang. Jember di Tahun 1947 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, sejarah mencatat adanya aksi polisional Belanda I, atau lebih dikenal dengan nama Agresi Militer Pertama. Mayor Soebandi dipindahkan ke resimen IV Divisi III, yang kemudian berubah menjadi Resimen 40 Damarwulan Divisi VIII. Pada tahun 1947, setelah tentara Belanda menduduki Jember, Dr. Soebandi pernah ditangkap dan dijadikan tahanan kota, hanya karena terpergok menolong seorang prajurit yang terluka di DKT. Ceritanya, Dr. Soebandi sedang menolong seorang prajurit yang terkena tembak pihak Belanda. Kemudian Dr. Soebandi bermaksud mengoperasi prajurit yang terluka itu. Melihat hal tersebut, Belanda tidak suka. Ketidaksukaan itu membuat mereka menangkap dan menjadikan Dr. Soebandi sebagai tahanan kota. Tentang kedatangan Belanda ke Jember pada 1947 juga diperkuat oleh sebuah foto yang saya temukan di situs kitlv, yang berangka tahun 1947. Tepatnya di bulan Juli 1947.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H