Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mudik Adalah Tentang Menyerahkan Segenggam Hati

26 Agustus 2012   16:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seputar Mudik Dulu saya tidak habis pikir kenapa ada begitu banyak orang yang nekad melakukan perjalanan mudik yang kadang-kadang membuat hati ini ngeri. Bukan hanya mudik antar kota, kadang juga antar pulau. Tidak sedikit yang melakukan perjalanan pulang kampung antar negara. Ngeri dengan bagaimana melihat mereka membawa barang-barangnya, dan ngeri melihat semangat 45 mereka dalam mengejar waktu. Berharap ketika hari raya telah tiba, mereka sudah ada di kampung halaman, berkumpul dengan orang-orang tercinta. Sekarang saya bisa mengerti dengan semua itu, karena saya tahu bagaimana rasanya mudik. Mudik adalah tentang menyerahkan segenggam hati, seperti seorang pendaki dan pejalan yang sedang menyerahkan kecintaannya pada alam raya. Perjalanan Paling Berkesan Jika saya ditanya, apakah di bulan ini saya memiliki kisah perjalanan yang berkesan, maka saya akan menjawab dengan lantang. Ya, saya memiliki kisah itu. Istri saya adalah perempuan kelahiran Tuban, dan dia mabuk jika harus melakukan perjalanan dengan angkutan umum seperti bus. Dua alasan tersebut cukuplah membuat saya melakukan perjalanan Jember - Tuban dengan mengendarai motor. Bukan sebuah perjalanan yang wow memang. Karena ada banyak orang yang melakukan perjalanan mudik lebih jauh dari itu. Tapi yang namanya perjalanan hebat tidak diukur dari seberapa jauh kita melangkahkan kaki, melainkan seberapa hebat kita bisa memaknainya. Pulang ke Tuban Saya memulai perjalanan Jember - Tuban pada pukul satu siang, di 18 Agustus 2012 yang terik. Saat senja mulai menunjukkan kecantikannya, saya (dan istri saya) sudah masuk Kabupaten Sidoarjo. Di persimpangan jalan yang ada papan penunjuk arah berwarna hijau putih, saya memilih untuk belok ke kiri, mengikuti arah panah menuju Krian. Berharap langsung tembus Bunder – Gresik dan tidak bertemu dengan Kota Surabaya. Pilihan yang tepat. Di sini saya bisa memandang tenggelamnya mentari, indah sekali. Di jalur ini juga saya berpapasan dengan orang-orang yang sibuk mencari sesuatu untuk hidangan buka puasa di hari terakhir. Berjarak sekitar 300 meter dari tempat saya dan istri saya menunggangi si kuda besi, ada terlihat gerbang yang melintangi jalan bertuliskan ‘Selamat Datang di Kota Gresik’. Saat itulah ada terdengar suara adzan maghrib. Sangat membahagiakan. Kami istirahat di sebuah pasar kecil yang sudah tutup. Tapi di depan gerbang pasar ada banyak para penjual makanan yang berjajar. Pilihan kami jatuh pada rombong Pak Tua penjual bakso. Tak lama kemudian saya melanjutkan perjalanan. Masih dengan embel-embel cerita tentang beberapa tempat pemberhentian. Ya, saya dan istri saya sebentar-sebentar istirahat. Mengistirahatkan bokong yang panas, juga punggung dan kaki yang menuntut haknya untuk diselonjorkan. Sungguh ini perjalanan mudik yang amazing. Ketika kau melewatkan penghujung ramadhan di jalan, ketika di atas kepalamu ada pesawat yang terbangnya rendah sekali (yang jarang terlihat di tempat tinggalmu), ketika malam-malammu dihiasi dengan percikan kembang api di kanan kirinya, ketika perjalananmu dilengkapi dengan gema takbir, maka kau akan tahu apa itu keindahan. Berangkat pukul satu siang dan tiba di tujuan pukul sembilan malam. Lumayan pas untuk 350 kilometer. Setibanya di Tuban Ini Idul Fitri pertama dalam sejarah pernikahan saya. Saya mulai belajar mengenal keluarga dari pihak istri dengan lebih baik lagi. Indah. Beberapa hari di sana membuat saya semakin mengerti mengapa orang-orang sebegitu semangatnya melakukan perjalanan mudik. Bahwa berkumpul diantara orang-orang yang kita cintai adalah sesuatu yang tak mungkin bisa dinilai dengan mata uang. Saat pulang kembali ke Jember, saya melewati jalur yang berbeda. Dari Babat - Lamongan menuju Jombang. Ketika saya ada di jalur hutan jati yang memanjang (yang hanya ada sedikit pemukiman, itupun jaraknya saling berjauhan), saya menemukan sebuah tulisan menarik yang tertulis di sebuah ban bekas, dan bertengger manis di pohon jati. Berikut adalah gambarnya.

Tambal Ban Panggilan

Mudik adalah tentang menyerahkan segenggam hati, tentang mengasah nurani, dan tentang menghargai perjalanan itu sendiri. Ketika mudik, maka kita akan lebih memahami bahwa nyawa ada di tangan Tuhan. Kita hanya harus berhati hati dalam menjaga karunia-Nya. Ketika kita ada diantara kendaraan-kendaraan besar, maka kita akan tahu betapa mudahnya malaikat pencabut nyawa dalam melaksanakan tugasnya. Sahabat kompasianer, itu adalah sekelumit cerita seputar mudik dari saya. Selamat menikmati nuansa lebaran, mohon maaf lahir dan bathin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun